Bagaimana Jika Korban Kekerasan Seksual Yang Berupaya Membela Diri Dikriminalisasi?

Belakangan viral perempuan di Palembang korban kekerasan seksual yang dijerat pidana akibat menyiramkan air keras ke terduga pelaku. Padahal, hal itu Ia lakukan untuk membela diri. Mengapa kriminalisasi itu bisa terjadi? Bagaimana agar korban bisa terlepas dari itu?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya: 

Halo Klinik Hukum Perempuan. Saya Adinda, kemarin saya membaca artikel tentang kriminalisasi korban kekerasan seksual di Palembang karena menyiram air keras kepada pelaku kekerasan seksual. Jujur, saya masih bingung, kenapa yang diutamakan adalah kasus penyiraman air kerasnya dan cenderung mengesampingkan kasus kekerasan seksual yang terjadi. Bagaimana sebenarnya kriminalisasi bisa terjadi? Dan apakah Korban bisa terlepas dari jerat pidana? Saya ingin menanyakan hal ini kepada tim Klinik Hukum Perempuan. Terimakasih.

Jawab:

Halo Kak Adinda. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Tentu sangat memprihatinkan melihat banyaknya korban kekerasan seksual terutama perempuan dikriminalisasi, sedangkan haknya sebagai Korban kekerasan seksual justru dikesampingkan.

Kriminalisasi Adalah Tanda Minimnya Pemahaman Tentang Karakteristik Kekerasan Seksual

Dalam berbagai artikel berita, korban menyampaikan bahwa penyiraman air keras merupakan tindakan yang dilakukan setelah korban mengalami kekerasan seksual fisik. Atas penyiraman air keras tersebut, Korban dilaporkan tindak pidana penganiayaan berat sebagaimana Pasal 351 ayat 2 KUHP. 

Sementara, pihak kepolisian menyampaikan bahwa belum ada pengaduan terkait tindak pidana kekerasan seksual dari korban maupun keluarganya. Media sosial pun ramai, warganet terbagi dua, apakah ini bentuk kriminalisasi korban kekerasan seksual atau bukan?

Kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan, pada dasarnya adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat atas penegakan hukum yang dilakukan seolah-olah bertujuan untuk menegakan hukum. Namun, sebenarnya tidak karena mewujudkan keadilan. Jelas, motif dari kriminalisasi pada dasarnya adalah untuk merugikan korban. 

Baca Juga: Apa yang Harus Kamu Lakukan Jika Kamu Jadi Saksi Kasus Kekerasan Seksual?

Lalu, bagaimana sebenarnya cara mengetahui, apakah hal tersebut adalah bentuk kriminalisasi terhadap Korban? 

Unsur yang paling penting untuk menentukan apakah ini “kriminalisasi” atau bukan adalah dengan melihat secara rinci latar belakang perkara. Khususnya hubungan atau konflik antara korban (pihak yang dilaporkan kepada penegak hukum) dengan pelapor atau pihak lain yang diduga berada dibelakang pelapor, atau konflik antara korban dengan pihak penegak hukum itu sendiri. 

Dalam kasus ini, Aparat Penegak Hukum (APH) perlu lebih dalam melihat latar belakang kasus khususnya kekerasan seksual yang memiliki karakteristik tersendiri.

Penting untuk diketahui, kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Juga sebagai bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. 

Kekerasan seksual semakin marak terjadi di Masyarakat yang menimbulkan dampak luar biasa kepada korban. Dampak tersebut meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. 

Selain itu, dampak kekerasan seksual juga sangat memengaruhi hidup korban. Dampak kekerasan seksual semakin menguat ketika korban merupakan bagian dari masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial, dan politik, atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus, seperti anak dan penyandang disabilitas.

Bentuk dan karakteristik kekerasan seksual sudah lama ada dalam masyarakat. Meskipun, frasa “Kekerasan seksual” baru diformalkan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”). 

Baca Juga: Dikriminalisasi Karena Posting Chat Perselingkuhan Suami Di Medsos, Apa Yang Harus Dilakukan?

Kekerasan seksual memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam pembuktian pidananya. Karakter tindak pidana kekerasan seksual biasanya:

Pertama, minim saksi tindak pidana. Biasanya hanya diketahui korban dan pelaku. Sebesar 95% kekerasan seksual terjadi di ruang privat, tempat tertutup, tanpa diketahui oleh siapapun.

Kedua, ragu dengan kredibilitas cerita korban. Keraguan ini disebabkan karena kurangnya saksi dan bukti, ditambah prasangka bahwa korban juga bersalah misalnya berpakaian terbuka, keluar malam, atau pun tidak langsung menegur pelaku saat kekerasan seksual terjadi.

Ketiga, bias penilaian terhadap korban dan pelaku biasanya didasari atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual Korban.

Kriminalisasi adalah tanda minimnya pemahaman tentang karakteristik kekerasan seksual. Seharusnya, untuk menunjukkan keberpihakan pada korban kekerasan seksual. 

Pihak kepolisian mendalami latar belakang kasusnya. Bukan sekadar menyebut kekerasan seksual yang terjadi hanya sebagai alibi dan dianggap tidak terjadi hanya karena korban tidak melaporkan hal tersebut. 

Padahal, kekerasan seksual fisik bukanlah delik aduan sehingga pihak kepolisian bisa secara aktif menindaklanjuti tindak pidana tersebut. Lebih jauh, pihak kepolisian alih-alih menyebutnya sebagai alibi, mengapa tindakan penyiraman air keras kepada pelaku tidak dianggap sebagai tindakan pembelaan diri yang dapat digunakan sebagai alasan pembenar untuk menghapus tindak pidana?

Mempertanyakan Alasan Pembenar Sebagai Penghapus Tindak Pidana

Alasan pembenar adalah suatu keadaan atau situasi yang dapat dipertimbangkan dalam menilai tindakan pidana seseorang. Jika suatu tindakan pidana dilakukan dalam keadaan yang memenuhi kriteria alasan pembenar, maka orang tersebut tidak akan dikenai sanksi pidana. 

Alasan pembenar ini kemudian menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Meskipun, perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Jika perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. 

Pembelaan Terpaksa diatur dalam Pasal 49 KUHP di antaranya, tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

Sementara itu, pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Tapi, mengapa untuk kekerasan seksual fisik yang bukan perkosaan, pembelaan terpaksa dengan menyiram air keras bukankah tindakan melampaui batas?

Baca Juga: Dikriminalisasi Karena Posting Chat Perselingkuhan Suami Di Medsos, Apa Yang Harus Dilakukan?

Seperti yang sudah disampaikan di atas, bahwa dampak kekerasan seksual sangat memengaruhi hidup korban. Korban biasanya mengalami trauma yang disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena kekerasan seksual. Perbuatan Korban melakukan penyiraman air keras (penganiayaan) terhadap pelaku dilakukan karena:

1.   Adanya kekerasan seksual secara fisik yang dilakukan Pelaku kepada Korban selama dalam perjalanan.

2.  Dilakukan semata-mata untuk mempertahankan kehormatan kesusilaan diri Korban yang telah berumah tangga sehingga kekerasan seksual fisik yang terjadi akan berdampak terhadap kehormatan diri Korban dan keluarga.

3.   Korban tidak seketika melakukan pembelaan diri karena takut dan bingung atas kekerasan seksual yang terjadi, sehingga menuntut pembuktian layaknya kejahatan biasa tidak tepat dan tidak menunjukan keberpihakan kepada Korban mengingat kekerasan seksual meninggalkan trauma psikologis yang sangat memengaruhi hidup korban.

Upaya UU TPKS Mencegah Kriminalisasi Korban Kekerasan Seksual

Pemerintah melalui UU TPKS memberikan perlindungan kepada korban dan/ atau pelapor dan keluarga dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang telah dilaporkan (Pasal 69 huruf g UU TPKS).  

Hak atas perlindungan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kriminalisasi. Sejalan dengan Pasal 23 UU TPKS, Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. 

Namun, sebagaimana kita ketahui bersama, dalam tindak pidana kekerasan seksual, pilihan melaporkan kasus kekerasan seksual kepada kepolisian bukanlah hal yang mudah bagi korban. 

Baca Juga: Kurir Sebar Foto Pelanggan Tanpa Consent Untuk Objek Pelecehan, Gimana Melaporkannya?

Korban perlu waktu lama untuk untuk mempertimbangkan kondisi dan kebutuhannya karena dampak kekerasan seksual sangat memengaruhi hidup korban. Nah, dalam situasi inilah seringkali, berkejaran dengan pelaku yang biasanya melaporkan korban atas pencemaran nama baik karena menuduh pelaku melakukan kekerasan seksual. 

Hal ini juga sering diperburuk dengan belum meratanya perspektif gender bagi para APH sehingga implementasi pasal ini belum dirasa maksimal dan belum dirasa melindungi Korban kekerasan seksual dari kriminalisasi.

Lalu, bagaimana jika pihak kepolisian tetap menunggu Korban melapor? Apa yang dapat dilakukan oleh Masyarakat?

Partisipasi Masyarakat untuk Mendukung Pemulihan Korban Kekerasan Seksual

Pada Pasal 85 ayat (3) partisipasi masyarakat dalam pemulihan korban diwujudkan di antaranya dengan memberikan informasi adanya kejadian Tindak Pidana Kekerasan Seksual kepada aparat penegak hukum, lembaga pemerintah, dan lembaga non pemerintah.

Selain itu, juga memantau penyelenggaraan pencegahan dan pemulihan korban. Di samping memberikan dukungan untuk penyelenggaraan pemulihan korban.

Masyarakat juga bisa berpartisipasi dalam memberikan pertolongan darurat kepada korban, membantu pengajuan perlindungan, dan berperan aktif dalam penyelenggaraan pemulihan korban. Seperti dapat secara aktif melaporkan tindak pidana kekerasan seksual kepada pihak kepolisian demi mewujudkan keadilan dan mencegah keberulangan kekerasan seksual.

Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim Kolektif Advokat Keadilan Gender (KAKG) melalui bit.ly/FormAduanKAKG atau email: konsultasi@advokatgender.org.

Tutut Tarida

Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!