Memahami Transmen

“Apakah sebenarnya transmen sehingga banyak orang yang kemudian membincangkan, meributkannya? Lalu bagaimana kehidupan transmen dan transwomen selama ini?.”

Poedjiati Tan – www.konde.co

Beberapa hari yang lalu seorang mahasiswi bercerita tentang temannya yang adalah seorang transmen dan ingin bunuh diri karena merasa tertekan. Dia merasa lelah dengan keadaan dirinya dan tuntutan orang tuanya untuk berubah lebih feminim dan berperilaku seperti perempuan. Bahkan dia diminta untuk bertobat dan menemui pendeta mereka.

Mahasiswi saya kemudian meminta saya untuk membantu temannya.

Berbicara mengenai transgender memang bukan sesuatu yang gampang karena ini menyangkut banyak aspek. Setiap orang trans (Transpeople) mempunyai pengalaman yang berbeda-beda tentang penghayatan tubuh biologisnya, identitasnya, gendernya, penerimaan dirinya. Seperti halnya seks secara biologi, gender secara umum dianggap sebagai konstruksi sosial yang membesarkan laki-laki dan perempuan.

Seperti pemaparan Gayle Rubin, is that gender is the “socially imposed division of the sexes that transforms males and females into ‘men’ and ‘women’ Bagaimana secara sosial dari Female dan Male menjadi perempuan dan laki-laki (Dalam bahasa Indonesia memang sulit menemukan padanan yang cocok untuk Female/Male karena untuk gender dan sex biologi semua sama menggunakan laki-laki dan perempuan, dulu ada penggunaan kata betina dan jantan tapi dianggap kasar dan seperti penggunaan untuk hewan).

Masyarakat selama ini hanya mengerti gender yang binary dan sudah terkonstruksi sejak bayi lahir. Mereka tidak memberikan ruang atau wilayah sosial bagi orang yang dengan gender atau seks biologinya yang berbeda. Misal bila seorang bayi intersex lahir, maka mereka akan segera mengadakan penyesuaian kelamin yang orang tuanya inginkan tanpa menunggu perkembangan sang anak atau menunggu anaknya besar bertanya kepada anaknya.

Kelaki-lakian dan keperempuanan seseorang seakan-akan melekat pada sex biologinya dan bila ada ketidaksamaan maka dianggap sebagai penyimpangan atau dianggap tidak normal dan dianggap harus diobati.

Seks kemudian juga hanya melibatkan tugas-tugas perempuan dan laki-laki. Ketika seseorang lahir dan kelaminnya terlihat, maka terlihat maka pada saat itu label gendernya dan seolah telah diberikan beserta peran gendernya, atribusi gender, identitas gendernya, dan juga ekspresi gendernya. 

Bagaimana orang lain memandang gender seseorang. Hal ini didasarkan pada penampilan individu dan juga pada peran-perilaku yang secara kultural dikodekan sebagai maskulin atau feminin. Atribusi gender dan peran gender mungkin tidak bertepatan dengan satu sama lain dan dengan satu gender lahir.

Itu sebabnya ketika seseorang yang menemukan dirinya tidak sesuai antara sex biologi dan identitas gendernya maka akan terjadi kebingungan.  Identitas gender mengacu pada pengertian individu tentang gendernya sendiri, yang mungkin berbeda dari gender seseorang ketika lahir atau bagaimana orang lain memandang gender seseorang.

Selama ini orang hanya tahu transgender Male to Female atau dikenal dengan transwomen atau waria. Banyak orang yang tidak tahu bahwa transgender ada juga Female to Male atau Transmen/priawan.  Transgender perempuan ke laki-laki memang visibilitasnya tidak terlalu tampak seperti waria. Banyak orang yang masih bingung apa itu priawan, atau transgender laki-laki. Apalagi buat mereka yang tidak tinggal bukan di kota besar, yang tidak mempunyai akses internet atau sosial media, informasi seperti itu makin sulit untuk didapatkan.

Berbeda dengan waria atau transgender perempuan yang lebih banyak mempunyai role model buat transgender muda. Kurangnya literatur tentang perkembangan identitas. Transgender female to male membuat para transgender tidak mengerti dan terjadi kebingungan identitas.

Menurut Lewins (1995) dalam Transsexualism in society yang meneliti Transgender Male to Female: ada 6 tahapan yang dialami individu transgender:

1.Pertama, perasaan kecemasan yang terus menerus karena merasa tidak nyaman dengan tugas gendernya.

2.Tahap kedua adalah tahap pencarian, mereka mulai belajar dan mencari tahu tentang transeksual dan menyadiri bahwa transisi gender itu memungkinkan.  

3.Namun, mereka menyangkal bahwa identitas ini berlaku untuk mereka di tahap ketiga, “menjernihkan dan penundaan. 

4.Setelah akhirnya mereka menerima diri sebagai transexual (tahap keempat),

5.Mereka mulai melakukan “sex reassignment” (tahap kelima)

6. Dan  meraih  “invisibility” sebagai individu yang ditugaskan sebagai laki-laki (tahap keenam)

Lalu tahap kehidupan mana yang paling sulit yang dialami transmen? Perubahan apa yang membuat mereka lalu mengalami diskriminasi? (Bersambung)

Reference :

–          Lewins, F. (1995). Transsexualism in society: A sociology of male-to- female transsexuals. Melbourne, Australia: Macmillan.

–          Rubin, H. (2003). Self-made men: Identity and embodiment among transsexual men. Nashville, TN: Vanderbilt University Press

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!