Pelecehan Jurnalis Perempuan di Media

Luviana –www.konde.co

Konde.co,
Jakarta – Seorang jurnalis perempuan di Jawa Timur menjadi korban pelecehan
redakturnya. Ia mengadukan pelecehan tersebut ke Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) pada awal Maret 2016 lalu dan selanjutnya melaporkan pelaku ke polisi.

Pelecehan
ini tak sekali ia terima, tetapi berulangkali. Saat ini korban sedang berjuang
untuk menuntaskan kasusnya. Terakhir pada Senin (14/3/2016) kemarin, polisi
masih melakukan pemeriksaan terhadap beberapa saksi. 

Pelecehan
seksual terhadap jurnalis perempuan bukan sekali ini saja terjadi. Dalam buku
yang dikeluarkan AJI berjudul: “ Jejak Jurnalis Perempuan di Indonesia (2012)”,
pelecehan terhadap jurnalis perempuan sudah kerap terjadi, contohnya  ketika jurnalis perempuan dirayu
narasumbernya, dirayu redakturnya, 
diminta melakukan loby pada narasumber karena dianggap cantik. Pelecehan
lain masih sering terjadi ketika perempuan dianggap lemah atau tidak mampu.

Hal inilah
yang sering terjadi hingga menjadi pola-pola dalam relasi yang tidak seimbang yang
kemudian mewujud pada pola atau relasi  penguasaan.Proses penguasaan ini sering
dilakukan oleh orang yang memegang kuasa terhadap orang di bawahnya (yang dikuasai).
 

AJI
Indonesia dalam pernyataan persnya di hari perempuan internasional 8 Maret 2016
lalu misalnya juga mencatat bahwa perusahaan media hingga saat ini belum
memiliki kebijakan dan saluran khusus bagi pengaduan intimidasi dan pelecehan seksual
di tempat kerja. Pengaduan tindakan pelecehan biasanya langsung dilaporkan pada
atasan. Kondisi menjadi menyulitkan ketika pelaku pelecehan seksual adalah
atasan. Hal ini yang mengakibatkan tidak adanya standar penanganan kasus yang
jelas bagi para perempuan pekerja media.

Dalam
catatan organisasi jurnalis, International Federation of Journalist (IFJ)
misalnya menekankan bahwa jurnalis perempuan sering merasakan rasa tidak aman. Salah
satunya karena adanya pelecehan seksual dan rendahnya perasaan aman ketika
bekerja.

Pelecehan
lain juga kerap terjadi ketika media mengeluarkan prasyarat untuk profesi
jurnalis perempuan. Prasyarat ini biasanya dikeluarkan ketika media melakukan
pencarian untuk jurnalis-jurnalis baru. Jurnalis perempuan harus memenuhi
persyaratan: cantik, menarik dan harus dandan untuk layak tampil sebagai
jurnalis televisi. Konstruksi ini kemudian menjalar ke ruang-ruang lain di
media, dalam industri yang menciptakan content di media. Lama-lama masyarakat
menganggap hal ini sebagai hal biasa: memang harus begitu untuk menjadi
jurnalis televisi, jika tidak cantik atau menarik, lalu apa yang dilihat di
televisi?. Begitulah komentar yang kerap saya dengar. Tentu ini merendahkan
jurnalisme atau content acara di televisi lainnya. Tapi, inilah yang terjadi.

Sejumlah
feminis mendeskripsikan tentang kecantikan ini. Cantik berarti menciptakan
obyek diri semu. Salah satu feminis, Simone de Beauvoir menyatakan bahwa fungsi
obyektivikasi ini justru akan semakin mengabadikan supremasi laki-laki.

Pola-pola
ini ternyata tak hanya terjadi di media, namun juga di industri pada umumnya.
Catatan Komite Aksi Perempuan (KAP) menyebutkan bahwa buruh perempuan di
Jakarta misalnya harus melakukan hal-hal diluar pekerjaanya.

Salah satu buruh di Jakarta Utara misalnya
harus mau menemani atasannya makan malam, hanya karena ia diancam, jika tidak
menemani makan malam maka ia tak akan diangkat sebagai pegawai tetap.

Pola-pola
ini kemudian terdistribusi  menjadi
praktek yang dianggap biasa terjadi yang dilakukan perusahaan terhadap buruh
atau pekerja industrinya. 

Padahal pelecehan
merupakan tindakan atau salah satu praktek yang didasarkan pada kekerasan. Tak
hanya bagian dari tindakan kekerasan, feminis radikal Kate Millet melihat hal
ini sebagai tindakan menurunkan martabat perempuan. Kultur patriarkhis telah
mendefinisikan perempuan sebagai: obyek, bisa dirayu, boleh dilecehkan atau predikat
lain yang merendahkan perempuan.  

Jika ini
dilakukan oleh atasan seorang buruh, majikan buruh, redaktur seorang reporter
di media, ini tak hanya dilakukan karena perempuan dianggap lemah namun juga
merupakan teror bagi korban, sekaligus teror kepada jurnalis perempuan atau
buruh perempuan yang lain.

Tindakan
perlawanan pasti menimbulkan reaksi baru: dipindahkan tempat kerja, diasingkan
dari lingkungan dan kemudian di PHK. Tindakan ini kerap dilakukan pada para
buruh yang melawan. Namun perlawanan harus tetap dilakukan untuk memutus rantai
kekerasan pada perempuan.

Melaporkan
ke institusi atau organisasi dan ke polisi merupakan perjuangan jurnalis
perempuan korban pelecehan yang harus didukung dan diperjuangkan bersama. Karena
dunia seharusnya adalah sebuah ruang, dengan toleransi nol pada pelecehan dan
kekerasan terhadap perempuan.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!