Lagi ambil jeda nonton film-film horor yang lagi rame diputar di bioskop? Gak ada salahnya, kamu nonton film keluarga yang hangat. Penuh gejolak tapi tetap realistis dengan kehidupan hari ini. Utamanya, bagi pasangan muda yang tengah membina rumah tangga.
Film yang disutradarai oleh Gina S. Noer dan Dinna Jasanti ini merupakan lanjutan dari Dua Garis Biru yang tayang pada 2019 lalu. Dua Hati Biru menceritakan tentang kehidupan keluarga kecil Bima (Angga Yunanda), Dara (Aisha Nurra Datau), dan Adam (Farrel Rafisqy).
Sebelum menyelami Dua Hati Biru, kita perlu mengingat bagaimana akhir cerita Dua Garis Biru saat itu. Dara–saat itu diperankan oleh Adhisty Zara–yang masih berusia 17 tahun, tubuhnya belum siap mengandung dan melahirkan seorang anak. Kehamilannya cukup rentan dan berisiko.
Ternyata benar, pasca melahirkan, Dara harus menjalani operasi pengangkatan rahim. Peristiwa ini tentu sangat memukul Dara. Ia harus menerima kenyataan bahwa rahimnya diangkat di usia yang masih sangat muda.
Dara tidak ingin terus larut dalam kesedihan. Setelah melahirkan buah hatinya, Dara akan mengejar mimpinya melanjutkan pendidikan di Korea Selatan. Ia meninggalkan Adam, Bima, dan keluarganya di Indonesia.
Bima tidak ingin menghalangi mimpi Dara. Ia akan merawat dan membesarkan Adam meski tanpa Dara di sisinya.
BACA JUGA: Keluarga Isinya Tak Cuma Ayah, Ibu dan Anak, Tapi Juga Para Lajang
Akhir cerita Dua Garis Biru ini memang tidak banyak disinggung dalam Dua Hati Biru. Film ini dimulai dengan kehidupan Bima dan Adam yang tinggal bersama di rumah orang tua Bima. Secara garis besar, Dua Hati Biru menyajikan realita kehidupan pasangan yang menikah di usia dini.
Setiap hari, Adam hanya bertemu ibunya, Dara melalui video call. Mereka bersenda gurau, bercerita hingga larut malam. Sekilas memang tampak baik-baik saja. Namun, masalah justru datang saat Dara memutuskan kembali ke Indonesia.
Masalah seolah terus terjadi setelah Dara, Bima, dan Adam tinggal satu atap.
Nikah Muda: Ketidaksiapan Mental dan Finansial
Bima dan Dara menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga sejak SMA, saat mereka berusia 17 tahun.
Tumbuh dari keluarga yang ber privilese secara ekonomi, Dara berkesempatan mengejar impiannya berkuliah di negeri ginseng.
Sementara Bima sibuk menghabiskan waktu untuk bekerja dan merawat Adam. Sehari-hari Bima bekerja sebagai karyawan di tempat bermain anak-anak. Ia sadar diri, ijazah SMA saja tidak cukup untuk melamar pekerjaan yang lebih layak, misalnya kerja kantoran.
Setelah kembali ke Indonesia, Dara terus berupaya mendekatkan diri dengan Adam. Adam yang tidak pernah bertemu dengan ibunya terus menolak kehadiran Dara. Hal ini membuatnya pesimis. Hingga akhirnya Dara memutuskan untuk mengajak Bima dan Adam pindah rumah dan memulai kehidupan yang baru.
Apakah masalah benar-benar selesai ketika Dara dan Bima pindah rumah? Tentu tidak. Mereka sering terlibat cekcok. Tak jarang Adam mendengar teriakan mereka. Dari situ, Adam sering melabeli orang tuanya “jahat” karena sering bertengkar.
Kondisi ini tidak baik bagi tumbuh kembang anak. Tanpa disadari, anak seringkali merasa sensitif apabila mendengar orang tuanya bertengkar. Jika dibiarkan, maka ini dapat berujung trauma yang dibawa seumur hidup oleh sang anak. Ia menjadi sering murung, menghindari kedua orang tuanya, hingga mengalami stress.
Antara Dara dan Bima, keduanya sama-sama belum bisa mengontrol ego. Mereka sering memaksakan kehendak masing-masing dan menuntut pasangan untuk menurutinya alih-alih berdiskusi agar mendapatkan solusi.
BACA JUGA: Film ‘Mothers Instinct’ Peliknya Persahabatan Perempuan dan Kehidupan Ibu Rumah Tangga
Mereka juga sering mengambil keputusan secara sepihak. Mulai dari keputusan Bima untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya sampai Dara yang harus kembali ke Korea Selatan setelah mendapatkan tawaran dari bosnya.
Komunikasi mereka semakin memburuk ketika Dara membawa Adam pergi dari rumah. Mereka berpisah rumah dengan Bima. Belum lagi keluarga Dara yang juga sedang berada di tepi jurang. Ayahnya sudah lama menghilang dari rumah, meninggalkan ibu Dara (Lulu Tobing) sendirian terlilit hutang.
Menurut Bima—dan orang tuanya—Dara terlalu dominan dalam mengambil keputusan. Kehidupan Dara seringkali dianggap beruntung dalam segala hal. Tanpa disadari, kehidupan itu membuat Bima minder. Ia merasa gagal menjadi kepala keluarga karena tidak bisa memberi nafkah dan mengambil keputusan.
Namun, satu kalimat yang paling menenangkan datang dari ayah Bima (Arswendy Bening Swara). Ia memberikan satu pertanyaan yang membuat Bima berpikir keras: “di mana letak harga diri seorang lelaki?”
Dibalik sakit yang dideritanya dan ketidakmampuan memberi nafkah, ia tetap berusaha menjadi kepala keluarga yang baik. Ia tidak menyingkirkan peran istri dan anak sulung perempuannya. Ia juga tidak pernah merasa superior, karena sejatinya rumah tangga adalah kerja sama antar anggota keluarga.
Cawe-Cawe Orang Tua dalam Rumah Tangga Anaknya
Bima merasa bersyukur dengan apa yang diperolehnya saat ini. Setidaknya hasil keringatnya cukup untuk membiayai Adam. Meski begitu, kedua orang tuanya pun tidak lepas tangan begitu saja. Mereka juga ikut membantu Bima merawat Adam. Bahkan, ibu Bima (Cut Mini) sering memanjakan Adam.
Keharmonisan berubah menjadi penuh masalah ketika Dara kembali ke Indonesia. Dengan tabungan yang dimilikinya, Dara merasa bisa hidup mandiri bersama Bima dan Adam tanpa bantuan finansial dari orang tua maupun mertuanya. Sudah saatnya mereka menjalani kehidupan rumah tangga sendiri, berpisah rumah dari orang tua masing-masing.
BACA JUGA: Laki-Laki Mesti Ambil Peran di Keluarga, Karena Perempuan Berbeban Ganda
Pemikiran ini umum ditemui pada pasangan suami istri, terutama yang baru saja menikah. Selain ingin hidup mandiri, kekhawatiran akan hubungan tidak baik antara menantu dan mertua juga seringkali jadi soal. Hal ini dapat terlihat dari sikap mertua yang ikut campur atau mengkritik apapun yang dilakukan menantu. Sikap tersebut tentu membuat tidak nyaman.
Evitasanti Risma Nur Afifah dan Siti Ina Savira menuliskan dalam penelitiannya yang berjudul “Adaptasi Wanita di Awal Pernikahan” bahwa banyak perempuan yang mengalami kesulitan menyesuaikan diri di awal pernikahan. Hal ini mempengaruhi tingkat kepuasannya dalam pernikahan.
Proses penyesuaian diri ini akan semakin sulit jika masih berada satu atap dengan orang tua. Dara yang ingin mengajarkan kemandirian pada anaknya justru dianggap berlebihan oleh ibu Bima.
Konflik semakin memuncak ketika Adam hilang. Seluruh anggota keluarga mencari keberadaan Adam. Saat ia ditemukan, ibu Bima justru membawa Adam ikut bersamanya dan tidak tinggal bersama Bima dan Dara lagi. Alasannya agar mereka berdua bisa belajar menjadi orang tua.
Cawe-cawe mertua dapat memicu pertengkaran dalam rumah tangga. Sebab, pasangan merasa tidak adil. Apalagi jika ia sedang berusaha mendekatkan diri pada anaknya, malah justru dibatasi ruang geraknya. Bagaimana mereka bisa belajar menjadi orang tua jika tidak diberi kesempatan untuk mempraktikkannya?
Belajar Parenting Itu Penting
Satu hal yang menarik dalam Dua Hati Biru adalah kesadaran Bima dan Dara untuk belajar parenting lebih giat lagi. Di awal memang mereka sempat bertengkar karena keterbatasan Bima dalam berbahasa Inggris ketika mengikuti kelas parenting berbahasa Inggris.
Namun, Bima akhirnya mengikuti kelas parenting yang baginya lebih mudah dipahami. Ia belajar dari orang-orang terdekat dan lingkungannya.
Mereka juga tidak ragu datang ke psikolog. Di usia pernikahan–dan usia masing-masing–yang masih cukup muda, perlu pendampingan khusus dalam menghadapi pernikahan. Sebab menikah bukan soal menyatukan dua manusia saja, tetapi juga kedua keluarga, dan memiliki tanggung jawab yang besar untuk membesarkan anaknya kelak.
Hal ini membawa kita pada kutipan kalimat yang diucapkan Ibu Dara sewaktu mengetahui anaknya hamil dalam film Dua Garis Biru. Kalimat tersebut berbunyi: “menjadi orang tua itu tanggung jawab seumur hidup”.
BACA JUGA: Manifesto Sekolah Pemikiran Perempuan: Menggugat Keluarga Sebagai Agen Penindasan
Jika dimaknai lebih jauh, menjadi orang tua memang butuh belajar. Saat baru saja menikah, wajar jika masih minim pengetahuan dan tidak punya pengalaman mengurus anak. Oleh karena itu perlu learning by doing (belajar sambil melakukan).
Dua Hati Biru menekankan tidak ada salahnya mengikuti kelas parenting atau datang ke psikolog anak. Justru film ini mematahkan stigma bahwa tidak semua orang yang datang ke psikolog berarti memiliki gangguan kesehatan mental. Tidak semua yang belajar parenting harus perempuan saja.
Lebih jauh, Dua Hati Biru juga mendobrak standar-standar patriarki. Misalnya laki-laki harus bekerja, sedangkan perempuan harus merawat anak di rumah. Di sini, Dara yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Sebab ia memiliki jenjang karier dan pendidikan yang lebih tinggi dibanding Bima.
Di satu sisi, Bima yang lebih banyak mengurus anak dan rumah. Ia mengambil pekerjaan yang tidak terlalu berat dan juga bisa sambil mengajak Adam. Jadi, Adam tidak perlu dititipkan kepada babysitter atau orang tuanya.
Bagaimana hari-hari Bima-Dara kemudian berjalan? Bagaimana Adam memandang kedua orang tuanya yang tengah berproses dalam menjalani rumah tangga keluarga muda? Kelanjutan kisah Bima-Dara bisa kamu tonton lebih lengkap di bioskop.
Dua Hati Biru memang layak mendapatkan apresiasi. Bukan hanya sekadar film, Dua Hati Biru juga sarat akan nilai yang dapat dipetik dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Alih-alih mengemas cerita dengan bumbu-bumbu cinta yang lebay, Dua Hati Biru justru menampilkan fakta kehidupan rumah tangga pasangan muda yang sebenarnya.
Foto: Youtube/StarvisionPlus