Perempuan dan Media, Bukan Sekedar Klise

Luviana – www.konde.co

Konde.co, Afrika Barat – Pagi itu sudut kota Lome, Togo Afrika Barat. Perbincangan
seru tampak terasa. Sebanyak 39 perempuan pekerja media tampak hadir disana. Pada
25 November 2015, diadakanlah sebuah
Konferensi nasional perempuan di
Lome yang diadakan oleh Francophone Press Union (UFP). 39 perempuan ini
masing-masing mewakili pengambil kebijakan media di kawasan Afrika dan
sekitarnya. Konferensi ini mengambil judul: persoalan perempuan di media, bukan
sekedar Klise.

Apa saja persoalan yang menimpa jurnalis perempuan dan
pekerja media perempuan secara umumnya dalam konferensi tersebut?

Dalam pertemuan yang dilakukan selama 2 hari hingga 27
November 2015 tersebut rata-rata para peserta menyatakan bahwa hanya 27%
jurnalis perempuan yang menempati pos-pos penting di media. Maka penting bagi
media untuk memberikan porsi bagi perempuan untuk menempati posisi posisi
penting di media. Karena jurnalis dan pekerja media yang menempati posisi
penting ini akan dipercaya untuk membawa misi dalam menolak kekerasan,
diskriminasi dan stereotype, begitu salah satu bunyi resolusi dalam konferensi
tersebut.

Para peserta Konferensi juga menyayangkan kurangnya
transparansi dalam tawaran pekerjaan untuk perempuan, tidak adanya kebijakan
kesetaraan gender dalam perusahaan dan kebutuhan pelatihan kepemimpinan bagi
jurnalis perempuan.

“ Banyak orang mempertanyakan legitimasi kuota yang akan
bertentangan dengan kriteria perekrutan tradisional berbasis kompetensi. Namun kami
mengajukan ini karena kami mengejar ketertinggalan yang terjadi pada pekerja
media dan para jurnalis perempuan.”

Tuntutan lain yaitu soal agar diberikannya pelatihan dan dukungan
keamanan bagi jurnalis-jurnalis peliput perang. Kebutuhan pelatihan keamanan
bagi jurnalis perempuan yang bekerja di zona perang membutuhkan dukungan
keamanan yang mendesak.

Solange Lusiku Nsimire dari Republik Demokratik Kongo (RDC)
menggambarkan soal hambatan yang sering harus dilewatinya dan dengan risiko besar
di hidupnya yaitu ketika ia melakukan peliputan perang.

“Ada tekanan dan ancaman, kita juga kadang harus melakukan penyamaran
agar tidak tertangkap,” paparnya.

Konferensi kemudian menawarkan solusi agar media memberikan
ruang bagi para jurnalis perempuan untuk mengeskpresikan pandangan-pandangan
sekaligus usulan mereka untuk keamanan para jurnalis di medan perang.

 

Untuk soal kekerasan dan diskriminasi terhadap pekerja media dan jurnalis
perempuan ini, International Federation of Journalist (IFJ) sebuah organisasi
internasional jurnalis, di hari perempuan internasional perempuan 8 Maret 2016
kemarin juga menyoroti soal kekerasan dan diskriminasi yang terjadi pada
pekerja media di seluruh dunia.

IFJ melansir pemantauan yang dilakukan Global Media monitoring project
(GMMP) di tahun 2010. GMP merilis data di tahun 2010 bahwa hanya 24 persen
perempuan di seluruh dunia yang bisa membaca koran, melihat tv dan mendengarkan
radio . Sedangkan di tahun 2015 yang membaca media online hanya sekitar 26%
perempuan di dunia. Ada persoalan kemampuan dan selebihnya adalah persoalan
akses bagi perempuan di dunia.

Temuan Gender IFJ Council menyebutkan bahwa di banyak daerah masih
terdapat masalah kekerasan, keselamatan, bullying dan pelecehan yang terus
melemahkan peran perempuan dalam media. 

Di beberapa daerah, perempuan pekerja media mendapatkan
perilaku seksisme dan diskriminasi di ruang-ruang  berita atau
news room
. Praktik ini terjadi dari perekrutan jurnalis perempuan hingga
mereka bekerja di ruang redaksi.

Sementara di luar itu adalah kurangnya akses ke promosi dan
pekerjaan, atau terus meningkatnya pengangguran pekerja media perempuan karena
harus keluar dari pekerjaannya. Hal ini disebabkan oleh kondisi pekerja
perempuan yang tidak stabil karena harus mengurus urusan publik dan domestik.

IFJ menyerukan perusahaan media untuk meningkatkan jumlah
jurnalis perempuan di newsroom dan
dalam posisi-posisi sebagai pengambilan keputusan di media. Hal ini juga
mendorong untuk terus mempromosikan kesetaraan gender dalam organisasi mereka
sendiri dan mewakili persoalan mereka di media yaitu untuk menghentikan
pelecehan, bullying dan kekerasan yang menimpa para jurnalis perempuan dan
pekerja media umumnya.

Jadi persoalan perempuan di media bukan sekedar klise. Butuh
banyak perubahan di media dan pengambil kebijakan di media untuk memutus rantai kekerasan,
stereotype dan diskriminasi di ruang-ruang redaksi.

(Sumber dan foto: IFJ dan Ifex.org)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!