Sesak Napas di Jakarta: Stop Solusi Palsu, Kami Butuh Udara Bersih

Kebijakan pemerintah atasi polusi udara Jakarta banyak dikritik tidak solutif. Makanya, butuh solusi yang berbasis sumber data dan menyelesaikan “akar” masalah yang berpihak pada perempuan dan kelompok rentan.

Dalam beberapa bulan terakhir, pemberitaan dan informasi di sosial media banyak menyoroti soal isu polusi udara

Data IQAir dan Nafas Indonesia menunjukkan, polusi yang melanda Jabodetabek masuk dalam kategori “tidak sehat”. Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, sering menempati peringkat atas kota besar paling berpolusi sedunia. 

Berbagai “solusi” pun ditawarkan di situasi itu. Mulai dari membongkar jalur pedestrian untuk mengurai kemacetan, tilang kendaraan tak uji emisi dan penggunaan kendaraan listrik, sampai terbaru bekerja dari rumah (work from home) untuk pejabat negara. 

Pengacara Publik LBH Jakarta, Natalia Naibaho menilai tawaran kebijakan tersebut tidak solutif. Sebab belum membongkar “akar” masalah polusi udara termasuk Jakarta.   

“Pemerintah harus memetakan sumber polusi udara berdasarkan hasil kajian yang berbasis ilmiah. Bahkan beberapa kali ditemui kebijakan yang kontradiktif antar pemerintah sehingga bukannya menyelesaikan masalah malah menambah masalah,” ujar Natalia kepada Konde.co, Selasa (23/8). 

Natalia mencontohkan, kebijakan kontradiktif itu seperti ketika masyarakat diminta untuk menggunakan transportasi ramah lingkungan, termasuk sepeda. Namun disisi lain, PJ Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, malah membongkar beberapa jalur pedestrian dan sepeda. Ia malah menggantinya menjadi jalan raya dengan tujuan mengurai kemacetan. 

“Ini jelas suatu langkah mundur, sangat tidak efektif dan membuang-buang anggaran,” lanjutnya. 

Baca Juga: City Car, Industri dan Kebijakan Pemerintah Bikin Udara Jakarta Buruk

Begitupun soal kebijakan Pemprov DKI Jakarta sudah memberlakukan kebijakan bekerja dari rumah (WFH) sejak awal pekan ini. Sebanyak 50% staf Aparatur Sipil Negara (ASN) DKI Jakarta menjalani masa uji coba WFH. Ia menilai hal itu juga tidak akan memberi perubahan signifikan terhadap polusi udara

Apalagi, jika kebijakan itu juga “diberi keleluasaan” diberlakukan di swasta. Menurutnya, ada dampak yang harus diwaspadai. Sebab berpotensi justru bisa semakin memarjinalkan kelompok rentan. 

“Kebanyakan perusahaan memanfaatkan momen WFH untuk melepas kewajibannya. Ada yang dirumahkan, ada yang dipotong gajinya hingga dipecat. Hal ini tentu saja berdampak pada hak atas kepastian kerja dan hak atas penghidupan yang layak, itu baru satu contoh,” terangnya. 

Di sisi lain, Natalia dalam Konferensi Pers Koalisi Ibu Kota (13/8) sempat mengungkap, selama ini pemerintah sudah melanggar 4 hak warga menyoal polusi udara Jakarta. 

Pertama, hak atas informasi peringatan dini soal udara yang buruk. Harusnya informasi ini diberikan ketika ambang batas sedang, namun sudah dalam ambang batas buruk, tak juga diberikan peringatan.

Kedua, hak atas pengetahuan dan kajian atau riset yang harus diinformasikan dan disebarkan luaskan. Ketiga, hak atas ruang udara yang bersih. Keempat, hak atas partisipasi masyarakat dan harus ada pelibatan masyarakat.

Stop Solusi Palsu

Meski Koalisi IBUKOTA telah meraih kemenangan gugatan warga negara atau citizen law suit (CLS) mengenai Hak Udara Bersih, namun faktanya hingga sekarang, hampir tidak ada satu hari pun di mana para warga DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten -khususnya area Jabodetabek dan Bandung- dapat menghirup udara bersih.

Para tergugat itu adalah Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2021.

Namun Presiden dan Menteri LHK, lanjut Natalia, justru lebih memilih mengajukan kasasi dibandingkan menjalankan putusan pengadilan. Padahal, Hakim secara terang menyatakan bahwa Para Tergugat yang merupakan penyelenggara negara dinyatakan telah lalai menjalankan kewajiban hukumnya dalam pemenuhan hak atas udara yang bersih dan sehat. 

“Dengan mengajukan kasasi, Presiden dan Menteri LHK lebih mempertaruhkan jutaan warga negara yang berpotensi mengidap berbagai penyakit akibat polusi udara,” katanya. 

Hingga kini, pihaknya tengah menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung. 

“Kami mendesak para Tergugat berhenti memberikan solusi palsu dan segera menjalankan putusan pengadilan yang sudah menang hingga tingkat banding,” imbuhnya.   

Pihaknya juga menuntut adanya reformasi kebijakan dan disediakannya akses informasi yang seluas-luasnya terkait penanganan polusi udara. Salah satunya sistem peringatan dini (early warning system) ketika kualitas udara memburuk. 

Juga keterbukaan informasi publik terkait industri, pabrik, dan PLTU batubara penyumbang polusi udara. Masyarakat berhak tahu segenap upaya yang dilakukan negara dalam upaya perbaikan kualitas udara. 

Baca Juga: Kualitas Udara Jakarta Terburuk di Dunia, Aktivis: Ini Bahaya untuk Perempuan

Kemudian, seharusnya ada penyesuaian regulasi dan kebijakan antar institusi sehingga tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan polusi udara

“Mengingat informasi terbaru udah terdapat 100.000 orang terjangkit ISPA. Maka kami juga berharap Kementerian Kesehatan dapat menyediakan akses pemulihan kesehatan bagi masyarakat yang terjangkit penyakit akibat polusi udara,” ujarnya. 

Di sinilah menurutnya, masyarakat lingkungannya dekat dengan kawasan industri dan manufaktur paling merasakan dampak dari situasi ini. Bukan hanya udara yang tercemar, namun juga air sehingga mereka sulit mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. 

“Bisa teman-teman lihat dari situasi kawasan Marunda yang terdapat industri manufaktur, pelaku industri ini masih menggunakan batubara untuk bahan bakar energi listriknya,” sambungnya. 

Dikutip dari pernyataan resminya, Koalisi IBUKOTA juga mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mengatasi polusi udara Jakarta. Sebab, alih-alih fokus menangani masalah isu polusi udara di Jakarta dengan menjalankan putusan pengadilan, pemerintah justru mengeluarkan sejumlah usulan kebijakan yang sejauh ini terbukti kurang efektif. Seperti penerapan uji emisi kendaraan bermotor dan sistem 4 in 1 untuk mobil pribadi yang berasal dari luar Jakarta.

Koalisi IBUKOTA sempat menggelar aksi damai di Balai Kota DKI Jakarta pada Rabu, 16 Agustus 2023. Setidaknya ada 4 tuntutan yang disuarakan. Pertama, mendorong reformasi kebijakan dan keterbukaan informasi publik terkait industri, pabrik, dan PLTU batubara penyumbang polusi udara.

Kedua, meminta para tergugat dan turut tergugat menjalankan putusan CLS. Ketiga, Meminta pemerintah berhenti mencari alasan untuk melepas tanggung jawab pengendalian polusi udara. Keempat, meminta pemerintah berhenti memberikan solusi palsu dalam upaya memulihkan kualitas udara Jakarta. 

Dampak terhadap Perempuan dan Kelompok Rentan

Bondan Andriyanu, juru kampanye energi dan iklim Greenpeace Indonesia mengatakan, kualitas udara yang buruk juga bisa menyerang ibu hamil. Buruknya kualitas udara bisa mempengaruhi kondisi lahir bayi, seperti berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur. Kondisi ini mempengaruhi plasenta ibu hamil. 

Banyaknya anak yang sakit juga menjadi tanggungjawab ibu menjadi bertambah karena pekerjaan pengasuhan yang selama ini masih dibebankan pada ibu.

Selain itu, kualitas udara Jakarta yang buruk juga membahayakan kelompok minoritas seperti transpuan yang tinggal di dekat sumber polusi. Ditambah lagi, transpuan yang bekerja sebagai pengamen lebih terancam paparan polusi udara di jalanan saat siang dan malam hari. Beberapa mengeluhkan gejala sakit seperti sesak napas, batuk, dan radang tenggorokan selama beraktivitas di Jakarta dengan kondisi udara yang berbahaya.

Data soal buruknya udara Jakarta ini didapat Koalisi Ibukota berdasar data Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK). Namun sayangnya, kebijakan pemerintah tak juga berubah dan terkesan jika tidak viral di media sosial, maka tidak diselesaikan persoalannya.

Bondan Andriyanu menggambarkan hal ini dalam konferensi pers Koalisi Ibukota yang diselenggarakan pada 13 Agustus 2023 yang diikuti Konde.co.

“Kondisi ini seperti putar kaset setiap tahun, di setiap ada cuaca kemarau. Padahal udara yang tidak sehat selalu terjadi setiap tahunnya, tapi pemerintah selalu menjawab seperti tahun-tahun lalu dan tidak kunjung mengubah kebijakannya,” kata Bondan Andriyanu.

Kondisi putar kaset ini misalnya, pemerintah setiap tahun selalu mengajak masyarakat untuk menanam pohon, mengajak masyarakat untuk naik transportasi publik untuk mengurangi polusi, atau membuang sampah yang benar. 

Baca Juga: Nestapa Transpuan: Sudah Terstigma, Tertimpa Polusi Udara Pula

Padahal penyebab utama polusi udara buruk bukanlah masyarakat, tapi perusahaan-perusahaan yang menyebabkan polusi tinggi. Tapi seolah masyarakatlah yang diminta bergerak, sedangkan perusahaan dibiarkan saja melakukan polusi tinggi, minim tindakan dari pemerintah untuk ini.

BMKG pun sudah mengingatkan akan ada kemarau panjang dan polusi udara buruk di Jakarta di tahun 2023 ini, namun yang diajak bebenah hanya masyarakat, bukan industri yang mengubah kebijakannya.

Sibuknya masyarakat secara mandiri mencari data polusi udara untuk melindungi kesehatan diri dan keluarga tidak berbanding lurus dengan respons pemerintah. Hak warga negara untuk mendapatkan udara bersih masih terus terabaikan.

Elisa Sutanudjaja, aktivis lingkungan dan warga yang menggugat soal buruknya kota Jakarta dalam konferensi pers tersebut juga menyatakan, dulu dia menggugat soal kualitas udara buruk ini ketika kondisi kesehatannya masih sehat, dan saat ini ia sakit dan sedang dalam perawatan karena udara buruk, namun kebijakan pemerintah tak juga berubah.

“Saya mengajak warga untuk menggugat dan demo karena ini memburuk seiring waktu,” kata Elisa Sutanudjaja.

Elisa juga mempertanyakan soal warga yang diminta pemerintah untuk berpindah ke kendaraan umum dan berganti bahan bakar yang ramah lingkungan. Padahal polusi tidak hanya berasal dari kendaraan motor, tetapi dari pabrik yang besar dan banyak melakukan pencemaran.

“Ini membuat Jabodetabek mundur, tapi kenapa masyarakat yang diminta, bukan perusahaan? Selama bertahun-tahun bangun jalan tol dan kereta tak dikembangkan. Harusnya mengembalikan ini supaya lingkungan lebih lestari,” pungkasnya. 

(Foto/ ilustrasi: Freepik)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!