Mengapa Ada Diskriminasi Terhadap Perempuan di Indonesia?

Luviana- www.konde.co

Kemarin, saya bertemu dengan teman-teman yang bergabung dalam Cedaw Working Group Indonesia (CWGI) di Jakarta. CWGI adalah jaringan organisasi perempuan di Indonesia yang memantau adanya persoalan-persoalan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Kami bersama-sama membuat laporan tentang apa saja diskriminasi yang terjadi pada perempuan di Indonesia 5 tahun belakangan ini. 

Namun sebenarnya apa terminologi diskriminasi terhadap perempuan itu? Lalu apa saja yang layak kita lihat sebagai diskriminasi terhadap perempuan? Mari kita lihat.

Maggie Humm dalam buku berjudul “Dictionary of Feminist Theories” menyebutkan bahwa diskriminasi mempunyai arti sebagai perlakuan yang tidak menyenangkan terhadap perempuan yang didasarkan pada keyakinan patriarkhis bahwa perempuan memiliki atribut yang tidak dikehendaki.

Maggie Humm juga menyatakan bahwa diskriminasi secara statistik berarti bahwa setiap perempuan bisa ditolak dalam sebuah pekerjaaan bukan hanya karena dia adalah seorang perempuan, namun karena dia dianggap secara statistik lebih cenderung memperhatikan keluarga dibandingkan dengan laki—laki.

Feminis, Heidi Hartman menambahkan bahwa diskriminasi adalah sebuah proses panjang yang terjadi dalam interaksi antara patriarki dan kapitalisme. Hartman percaya bahwa diskriminasi tak akan berakhir jika tanpa penghapusan pembagian kerja secara seksual.

Di Indonesia, diskriminasi ini sering diterima perempuan dalam kehidupan sehari-hari, dalam perlakuan di dalam rumah, dalam pekerjaan, pendidikan dan lingkungan tempat ia hidup. Dari kecil, saya sering mendengar bahwa: anak laki-laki harus sekolah tinggi dan perempuan tidak usah terlalu tinggi sekolahnya karena toh nanti jika besar, ia akan menjadi ibu rumah tangga. Atau perempuan tak usah sekolah tinggi karena ia bukan penerus keturunan, jadi anak laki-lakilah yang boleh sekolah tinggi karena ia adalah penerus keturunan keluarga.

Begitu juga dalam keluarga. Laki-laki selalu dianggap sebagai orang yang mengatur, dan perempuan adalah orang yang diatur. Padahal dalam konsep rumah tangga, harusnya terjadi relasi yang saling, yaitu saling menghormati, menghargai dan memberikan ruang pada yang lain.

Solidaritas Perempuan menyebutkan bahwa ada sebuah budaya patrilinial yang mengatur kehidupan anak-anak perempuan. Banyaknya kasus pernikahan di bawah umur bagi anak-anak perempuan di Indonesia misalnya dilakukan atas alasan norma-norma budaya yang cukup kental. Tradisi atau budaya yang sudah turun-temurun menganggap perkawinan usia anak-anak sebagai sesuatu yang wajar. Dalam masyarakat Indonesia, jika anak perempuan tak segera mendapatkan jodohnya, maka orangtua merasa malu karena anaknya belum menikah dan akan mendapatkan stigma terlambat menikah dari masyarakat sekitar.

Yang lain, dengan alasan kepentingan ekonomi keluarga, anak perempuan juga sering dianggap sebagai aset orangtua sehingga mereka dipaksa menikah atau dijodohkan oleh orangtunya tanpa melihat bahwa orang yang dijodohkannya sudah menikah atau belum.

Budaya masyarakat Indonesia juga sering masih menganggap bahwa pendidikan tinggi bagi anak perempuan dianggap tidak penting sehingga ketika orangtua tidak mampu menyekolahkan anaknya, maka anak perempuan terpaksa mengalah untuk tidak sekolah dan harus mau dijodohkan oleh orangtuanya.

Walau kemudian banyak juga nilai-nilai di masyarakat yang juga lahir untuk menyelesaikan persoalan perempuan, yaitu dengan kebajikan-kebijakan dan kearifan lokal. Misalnya dengan memberikan ruang pada perempuan untuk berbicara, juga memberikan ruang bagi perempuan untuk memilih.

Kelompok-kelompok perempuan tertentu selain menderita diskriminasi yang diarahkan pada mereka karena mereka adalah perempuan, mungkin juga menderita berbagai bentuk diskriminasi karena ras, identitas kesukuan, usia, kelas, kasta, perempuan diffable dan sejumlah faktor lainnya.

Dalam pekerjaan, kita juga mendapatkan data bahwa laki-laki pekerja akan mendapatkan tunjangan dan fasilitas, namun perempuan pekerja tidak karena dianggap bukan sebagai kepala keluarga. Hal inilah yang menyebabkan para perempuan janda pekerja misalnya tidak punya akses yang sama dengan laki-laki pekerja, padahal mereka adalah para kepala rumah tangga.

Dalam identitas di lingkungan mereka, perempuan juga harus bekerja keras untuk menunjukkan kemampuannya, maka perempuan kemudian mati-matian membagi waktu dan melakukan tugas publik maupun domestik, agar diakui keberadaannya.

Contoh kejadian lain, karena telah dibebani pekerjaan publik dan domestik, maka banyak perempuan yang kemudian habis waktunya mengurus semua ini. Maka ketika harus menjadi pemimpin, banyak perempuan yang dianggap tidak percaya diri, tak pantas memimpin dan selalu dianggap sebagai orang yang terlalu sibuk mengurus pekerjaan rumah.

Konstruksi ini kemudian membesar di dalam lingkungan masyarakat dan menjadi norma maupun peraturan yang mendiskriminasi perempuan atau menempatkan perempuan sebagai kelas kedua di dunia ini. Solidaritas Perempuan menuliskan bahwa hal lain yang sering terjadi yaitu adanya nilai-nilai yang terjadi di masyarakat yang seringkali menghambat aktivitas perempuan.

Dalam peraturan yang dibuat pemerintah misalnya, diskriminasi tersebut  terus berkembang dan kemudian mewujud di beberapa kebijakan negara seperti semakin banyak munculnya Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap perempuan. Komnas Perempuan di tahun 2014 mencatat ada sekitar 365 Perda yang mendiskriminasi perempuan. Hal ini juga menunjukkan menguatnya nilai-nilai fundamentalisme yang berkembang pesat di tengah masyarakat

Pemerintah dan Ratifikasi CEDAW

Secara internasional, pemerintah Indonesia sebenarnya telah meratifikasi landasan Cedaw (Convention of the ellimination of all forms of discrimination againts Women) atau Landasan anti diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini telah mengikat negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Tepatnya pada 18 Desember 1979, Majelis Umum PBB menyetujui sebuah rancangan Konvensi CEDAW (Convention of Elimination of All Forms of Discrimation Against Women) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi pada Perempuan. Konvensi CEDAW dikeluarkan untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan di seluruh dunia.

Pemerintah Indonesia kemudian menandatangani konvensi ini pada 29 Juli 1980 dan kemudian mengesahkan konvensi CEDAW pada tanggal 24 Juli 1984. Negara-negara peserta Konvensi kemudian wajib membuat peraturan dan kebijakan untuk menghapus diskriminasi pada perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negara, khususnya menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks hak asasi manusia, yaitu meliputi: hak untuk bekerja, hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama, menerima upah dan tunjangan yang sama, perlindungan kerja dll.

Dengan ditandatanganinya Konvensi CEDAW seharusnya diskriminasi tidak akan terjadi, namun fakta membuktikan bahwa perempuan masih mengalami banyak diskriminasi di lingkungannya. Yaitu berupa nilai-nilai yang masih mengekang, norma dan aturan yang menjadikan perempuan sebagai warga negara kelas dua.

Kemajuan dan Kemunduran di Indonesia

Sejumlah capaian dalam pembangunan, pemerataan dan persamaan untuk perempuan terlihat dari beberapa data dalam 5 tahun belakangan ini. Dokumen CSO Forum Asia Pasifik dari Indonesia dalam Beijing+20 menyebutkan bahwa sejumlah reformasi hukum dan kelembagaan telah dilakukan, menguatnya peran masyarakat sipil dalam memperjuangkan persamaan dan kesetaraan perempuan, mengintegrasikan isu gender dalam sejumlah kebijakan, dibuatnya gender analysis Pathway (PAG) sebagai petunjuk praktis pelaksanaan analisis gender dalam kebijakan, serta dibuatnya strategi nasional  percepatan pengarusutamaan gender. 

Namun kemunduran-kemunduran tetap banyak terjadi. Padahal kedudukan perempuan tidak akan baik membaik selama penyebab yang mendasari diskriminasi tidak disikapi secara efektif.

Maka sebagai negara yang sudah meratifikasi CEDAW, pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan untuk menjelaskan mengapa diskriminasi ini terjadi lalu mengambil tindakan khusus untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan ini.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay.com)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!