Perempuan dalam September Hitam

Luviana-www.konde.co

Jakarta,
konde.co- Siapa bilang bulan september selalu identik dengan september cerita?
buat saya tidak. Itu hanya ada dalam lagunya Vina Panduwinata yang judulnya
September Ceria. Itu kata sepupu saya sore kemarin ketika kami bertemu.

Langit cerah,
tak turun hujan. Bahkan kami merasa sangat kepanasan. Ini udara paling terik
dalam sebulan ini setelah beberapakali hujan turun tak pernah terprediksi.

Vina, penyanyi
legendaris jaman tahun 80an dulu. Memang sama sekali tak ada hubungannya dengan
Vina Panduwinata. Namun saya dan sepupu saya sepakat menamai bulan september
sebagai september hitam. Lebih tepatnya, September hitam bagi para perempuan
pejuang.

Ini berasal dari
sejumlah acara berbagai organisasi yang tergabung dalam Gema Demokrasi dan
menyebut september adalah bulan yang sangat hitam bagi perjuangan kemanusiaan
di Indonesia.

Tiba-tiba kami
ingat mbak Suciwati, istri dari almarhum aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir
yang dibunuh pada September 2004 silam. Kami juga ingat ibu-ibu yang anaknya
menjadi korban peristiwa Semanggi 2 yang terjadi pada September 1999. Juga para
perempuan 65 yang stigmanya tak juga berhenti hingga kini, perjuangan yang
terus dilakukan sejak 30 September 1965 silam hingga kini. Para perempuan ini
masih berpayung hitam setiap kamis sore di depan istana. Ribuan Kamis hitam
sudah dilalui banyak perempuan.

September Paling Kelam

Gema Demokrasi
mencatat ada banyak peristiwa kelam yang masih membebani perjalanan bangsa
hingga kini. Kita mengingat pidato terakhir Presiden Republik Indonesia
pertama, Soekarno, pada 17 Agustus 1966, “jangan sekali-kali meninggalkan
sejarah,” (Jas Merah) yang dianggap sebagai pernyataan kepada rakyat Indonesia
tentang sikap politiknya dan filosofi sejarah terkait perjalanan penuh
kekerasan bangsa dan pengambilalihan kekuasaan oleh Soeharto pada waktu itu.
Ketika itu terjadi pembunuhan terhadap 6 jendral dan seorang perwira pada 30
September atau 1 Oktober dini hari tahun 1965, yang diikuti dengan pembunuhan
massal sekitar 1-3 juta rakyat Indonesia.

Di bulan
September ini pula, korban bersama perempuan dan keluarganya juga masyarakat
mengingat terjadinya pelanggaran HAM lainnya seperti Peristiwa Tanjung Priok
tahun 1984, Peristiwa Semanggi II tahun 1999, Pembunuhan Munir tahun 2004, dan
beberapa pelanggaran HAM lain mulai dari Aceh sampai Papua dengan pola yang
terus berulang hingga kini.

Mbak Suciwati,
mengasuh anak-anaknya sendiri hingga besar kini. Begitu juga para perempuan,
ibu yang anak-anaknya meninggal karena peristiwa Semanggi 2. Masih selalu
datang di kubur anaknya. Berjuang untuk penuntasan kasus mereka hingga kini.

Hal ini
diakibatkan oleh warisan praktik-praktik represif dari rezim otoriter Orde
Baru, serta belum tuntasnya penegakan keadilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM
masa lalu tersebut mempengaruhi kehidupan demokrasi.

Bentuk
pengekangan ini masih menjalar hingga kini. Maka tak mengherankan jika saat ini
kita masih menyaksikan sedikitnya 37 bentuk pengekangan kebebasan dalam
berbagai varian dan diskriminasi terhadap korban maupun masyarakat yang ingin
membuka ruang diskusi dan dnialog publik terkait peristiwa ‘65 selama
pemerintahan Jokowi-JK, sejak Oktober 2014 hingga Agustus 2016.

Belum lagi
praktik-praktik kekerasan berbentuk pembungkaman ekspresi demokrasi lainnya
seperti pelarangan terhadap perpustakaan jalanan di Bandung yang diperagakan
oleh aparat TNI. Kesemua ini menunjukan praktik-praktik yang militeristik terus
terjadi. Bahkan sejumlah institusi resmi negara seperti aparat keamanan dan
penegak hukum, yang semestinya mendukung upaya-upaya penyelesaian pelanggaran
HAM di samping melakukan pendidikan publik tentang isu HAM dan demokrasi,
justru terlibat dalam gelombang tindak kekerasan, hampir serupa dengan yang
terjadi di masa Orde Baru.

Di awal
reformasi, penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu telah menjadi agenda
nasional yang tertuang dalam Tap MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan
Persatuan dan Kesatuan Nasional. Tap MPR tersebut menghendaki adanya
langkah-langkah nyata dalam pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi, serta
perumusan kembali etika berbangsa dan visi Indonesia masa depan.

Sebagaimana kita
tahu Presiden Jokowi – Jusuf Kalla telah menyatakan komitmen untuk
menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan dalam visi-misi
Nawacita dan RPJMN 2015-2019. Presiden juga menyampaikan komitmen serupa dalam
pidato peringatan hari HAM Internasional tahun 2014 dan 2015. Namun hingga kini
komitmen tersebut belum terwujud.

Ironisnya,
Pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla malah mengangkat purnawirawan Jenderal
Wiranto yang terlibat kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur tahun 1999
dan diduga bertanggung jawab atas Peristiwa 27 Juli 1996, Trisakti Semanggi I
1998 dan Semanggi II tahun 1999 menjadi Mentri Koordinator Politik, Hukum dan
Kemananan. Hal ini menimbulkan kesedihan dan rasa tidak percaya di kalangan
perempuan dan keluarga korban juga masyarakat sipil.

Kami Menuntut di September Hitam

Bagi Gema
Demokrasi, jaringan yang terdiri dari puluhan organisasi seperti LBH Jakarta,
Kontras, Elsam, AJI, Safenet, Sejuk, Solidaritas.net dan sejumlah organisasi
sipil lainnnya, dalam pernyataan persnya menyatakan bahwa bulan september ini
adalah sebuah inisiatif untuk membuka ruang pendidikan publik tentang berbagai
kasus pelanggaran HAM masa lalu, dan tentang berbagai praktik pembungkaman
demokrasi yang berlangsung saat ini.

“Presiden
Jokowi harus segera mengambil langkah-langkah yang cermat untuk penyelesaian
pelanggaran HAM masa lalu, dengan berpedoman pada prinsip universal dan UUD
1945 yang mencakup hak korban atas kebenaran, hak atas keadilan, reparasi
(pemulihan) dan jaminan ketidakberulangan,” Kata Asep Komarudin dari LBH
Pers.

Yang kedua,
negara harus memberikan jaminan hak atas rasa aman terhadap setiap inisiatif
yang dimunculkan, baik di lingkungan masyarakat sipil di tingkat akar rumput
maupun di lingkungan akademik dalam rangka upaya pendidikan publik dan upaya
mendorong penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan/ atau isu- isu apapun
selama tidak bertentangan dengan konstitusi.

Damar Juniarto
dari Safenet juga mengajak semua pihak dan kelompok kepentingan untuk terlibat
dalam suatu dialog dan kerja sama dengan prinsip kebersamaan, kesetaraan,
toleransi dan saling menghormati, sebagai bagian dari langkah menuju
penyelesaian dan setiap penyusunan kebijakan soal kebebasan sipil.

“Sekaligus
kami juga menuntut negara untuk memberhentikan Wiranto sebagai Menkopolhukam,
serta me-non aktif-kan 4 mantan anggota Tim Mawar yang baru diangkat sebagai
Jenderal dan setiap pelaku pelanggaran HAM dari jabatan strategis dan jabatan
publik, serta meminta pertanggungjawaban secara konstitusional.”

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!