Luviana – www.konde.co
Jakarta, Konde.co- Apa sebenarnya human right defenders dan siapa saja yang bisa disebut sebagai human right defenders dan women human rights defenders?
The University of York di tahun 2016 ini melakukan sebuah penelitian tentang kondisi human right defenders di sejumlah negara yaitu di Meksiko, Kolombia, Mesir, Kenya dan Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi human right defenders dan bagaimana mereka mengelola resiko dan keamanan pribadi mereka?.
Human Right Defenders (HRD) adalah pembela Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu peneliti dari The University of York, Alice Nah yang hadir dalam pemaparan singkat hasil penelitian tersebut di Komnas Perempuan pada Selasa, 13 September 2016 lalu menyatakan, bahwa pembela HAM adalah siapapun yang memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan perwujudan hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Jadi intinya pembela HAM adalah orang-orang yang bekerja untuk mempromosikan dan bekerja pada isu HAM.
Pembela HAM ini terdapat di banyak tempat, di perkotaan hingga masyarakat yang bekerja dalam isu HAM di pedesaan hingga pedalaman. Alice Nah menyebutkan bahwa Munir atau Eva Bande adalah para pembela HAM Indonesia yang kemudian banyak diketahui orang, namun ada banyak ratusan pembela HAM yang bekerja di desa-desa dan tidak banyak diketahui orang.
“Ada banyak orang yang bekerja pada isu HAM, para perempuan di pedesaan dan pedalaman yang tak semua bisa kita baca apa yang sudah banyak mereka lakukan.”
Maka penelitian yang dilakukan The University of York ini kemudian ingin menyoroti apa dampak dan ancaman yang dialami para pembela HAM, langkah apa yang mereka lakukan dan apa yang harus dilakukan negara untuk para pembela HAM.
Human Right Defenders atau Pembela HAM
Deklarasi pembela hak asasi manusia sendiri dalam http://www.ohchr.org/EN/Issues/SRHRDefenders/Pages/Declaration.aspx dimulai pada tahun 1984 dan disyahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998, pada kesempatan ulang tahun kelimapuluh dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Deklarasi ini tidak hanya ditujukan untuk para pembela hak asasi manusia, tetapi untuk semua orang. Ini memberitahu kita bahwa semua orang memiliki peran untuk memenuhi sebagai pembela hak asasi manusia dan menekankan adanya gerakan hak asasi manusia.
Secara hukum, deklarasi ini berisi serangkaian prinsip dan hak-hak yang didasarkan pada standar hak asasi manusia yang tercantum dalam instrumen internasional lainnya yang mengikat secara hukum – seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Deklarasi tersebut memberikan dukungan dan perlindungan pembela hak asasi manusia dalam konteks pekerjaan mereka.
Negara kemudian memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan dan menghormati semua ketentuan deklarasi. Untuk melindungi, mempromosikan dan menerapkan semua hak asasi manusia, untuk memastikan bahwa semua orang di bawah yurisdiksinya dapat menikmati semua hak-hak sosial, ekonomi, politik dan lainnya dan kebebasan dalam praktek dan langkah-langkah yang dianggap perlu untuk memastikan pelaksanaan yang efektif dari hak-hak dan kebebasan.
Negara juga memiliki tanggungjawab untuk mengambil semua langkah yang diperlukan dalam menjamin perlindungan semua orang terhadap kekerasan, ancaman, pembalasan, diskriminasi yang merugikan, tekanan atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekuensi nya latihan yang sah dari hak sebagaimana dimaksud dalam deklarasi.
Perempuan Pembela HAM
Women human right defenders atau perempuan pembela HAM adalah orang yang melakukan pembelaan berbasis gender.
Yulianti Muthmainah dalam website Komnas Perempuan http://www.komnasperempuan.go.id/%e2%80%98menitipkan%e2%80%99-agenda-perempuan-pembela-ham-pada-aichr/#more-8634 pernah menuliskan bahwa di Indonesia, pemerintah bahkan pernah bungkam ketika para perempuan pembela HAM diperlakukan semena-mena, dikriminalisasikan, dan dibunuh. Almarhum Marsinah, salah satu aktivis buruh di Sidoarjo, Jawa Timur adalah contoh nyata.
Yulianti menuliskan bahwa kesadaran tentang pentingnya perempuan pembela HAM adalah ketika ada peristiwa meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva, dan Maria Teresa) tahun 1960 akibat pembunuhan keji yang dilakukan kaki tangan penguasa diktator Republik Dominika, Rafael Trujillo. Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik yang tiada henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan, menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran penguasa pada waktu itu. Sebelum pembunuhan, berkali-kali mereka mendapat tekanan dan penganiayaan dari penguasa.
Tragedi meninggalnya Mirabal bersaudara menjadi petanda perjuangan hak-hak perempuan, terutama dengan diakuinya kekerasan berbasis gender. Hari dimana Mirabal bersaudara dibunuh, 25 November juga diakui sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan kemudian juga diperingati sebagai hari pertama bagi ‘Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan’ hingga berakhir 10 Desember pada tiap tahunnya. Mirabal bersaudara yang meninggal akibat aktivismenya dapatlah disebut sebagai perempuan pejuang hak asasi manusia (HAM).
Hingga kini, tragedi serupa terus terjadi. Prasangka, pelecehan seksual, penganiayaan, penyiksaan, kriminalisasi akibat aktivisme para pejuang HAM, termasuk pembunuhan yang dialami perempuan pembela HAM tetap terjadi.
Di Indonesia, berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan sejak tahun 2006 hingga 2010 perempuan pembela HAM di Fatumnasi-Nusa Tenggara Timur, Serdang Bedage-Sumatera Utara, Luwuk Bangai-Sulawesi Tengah, Papua, Bengkulu, dan Riau untuk pembelaan hak-hak masyarakat adat maupun konflik sumber daya alam mengalami berbagai bentuk kekerasan dan kriminalisasi. Kekerasan berbasis gender yang dialami mereka terus berlangsung.
Sumber:
http://www.ohchr.org/EN/Issues/SRHRDefenders/Pages/Declaration.aspx
http://www.komnasperempuan.go.id/%e2%80%98menitipkan%e2%80%99-agenda-perempuan-pembela-ham-pada-aichr/#more-8634
Foto: ilustrasi/ Pixabay.com