Masih ingatkah dengan film Kiblat yang sempat menyita perhatian publik beberapa waktu lalu?
Film garapan sutradara Bobby Prasetyo tersebut mendapatkan respon negatif pasca rilis poster. Respon ini datangnya dari berbagai pihak, mulai dari pemuka agama, warganet, hingga sesama pembuat film.
Film Kiblat dikecam lantaran dianggap mengandung unsur ‘penyesatan’. Sebab, kiblat sendiri berarti arah yang merujuk pada Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi. Arah kiblat menjadi penting bagi umat Islam, terutama ketika sedang menunaikan ibadah salat.
Bukan hanya judul, poster Kiblat pun tak lepas dari bulan-bulanan warganet. Dalam poster menunjukkan seorang perempuan mengenakan mukena yang tengah salat. Namun, wajah dan postur tubuh yang menyeramkan tersebut dianggap ‘menyesatkan’. Ditambah dengan judul yang cukup sensitif bagi umat Islam.
Akibatnya, Bobby Prasetyo bersama rumah produksi Leo Pictures harus menghadap Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mereka kemudian meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi pasca rilisnya poster dan trailer Kiblat.
Pihak MUI juga memberikan saran-saran positif bagi Bobby dan produser Leo Pictures, Agung Saputra. Saran ini mulai dari pembenahan terhadap tampilan poster, judul, dan lain sebagainya. Hal ini semata-mata agar kegaduhan tidak berkepanjangan dan bisa segera diatasi.
Ketua MUI Bidang Dakwah, Cholil Nafis sedari awal menyebut Kiblat sebagai film bermuatan kampanye hitam ajaran agama. Ia mengusulkan agar Agung Saputra dan tim dapat menyiarkan permintaan maaf serta mengganti judul dan posternya. Terlebih pihak produser Kiblat juga sudah menandatangani surat permohonan maaf dan berjanji mengubah judul film dan poster.
Baca Juga: Film ‘Dua Hati Biru’ Gejolak Keluarga Muda Bertarung dengan Realitas
Cholil tak banyak bicara soal isi film. Menurutnya, isi film diserahkan kepada Lembaga Sensor Film (LSF) sepenuhnya. Nantinya LSF akan memberikan sejumlah catatan apabila ada adegan film yang perlu diperbaiki, baik dari segi CGI maupun efek khusus.
Ramai-ramai Kiblat membawa publik pada satu diskursus berupa film horor yang acapkali mempolitisasi agama. Belakangan memang banyak bermunculan film-film tersebut. Tren film horor yang dibalut agama ini dimulai sejak Makmum (2019). Setelah itu bermunculan film berjudul Waktu Maghrib, Qodrat, Qorin, Siksa Neraka, dan Siksa Kubur.
Tren tersebut membuat publik merasa jenuh. Jarak waktunya tidak terlampau jauh antara satu film dengan lainnya. Hal ini membawa pada sebuah kesimpulan bahwa produser dan sutradara film horor bernuansa agama ini FOMO (fear of missing out). Apalagi dengan kenyataan bahwa masyarakat Indonesia masih menyukai film horor.
Disebut Eksploitasi Agama
Sutradara Gina S. Noer angkat bicara soal kegaduhan tersebut melalui Instagram pribadinya. Menurut Gina, kebanyakan film horor Indonesia sudah terlampau jauh mengeksploitasi agama, terutama Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia.
Gina memang tidak secara eksplisit menyebut sutradara atau film yang dimaksud. Yang jelas, ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama, khususnya bagi para filmmaker atau para pembuat film.
Menurut sutradara Dua Hati Biru tersebut, sebagai filmmaker sudah sepatutnya melakukan riset dan mengulik lebih jauh terkait karakter dan nilai yang ingin ditekankan.
“Nggak semua orang dapat pemahaman dan pengajaran agama Islam yang baik di lembaga pendidikannya dan bahkan keluarganya. Ya masa kita yang bikin film, yang berkesenian, enggak mindful sama hal ini?” tulis Gina dalam unggahannya pada Kamis (21/3/2024).
Jika menilik dari sinopsisnya, Kiblat mengisahkan seorang perempuan yang tinggal bersama saudaranya. Ia tidak tahu siapa orang tua kandungnya. Suatu ketika, perempuan bernama Ainun ini mengagumi sosok pemimpin di padepokan di Kampung Suwung.
Lelaki tersebut digambarkan sangat sakti dan bisa menyembuhkan berbagai penyakit, serta mampu menggandakan uang. Kisah ini membawa Ainun untuk mencari tahu latar belakang pemimpin padepokan tersebut. Dari situ, Ainun justru menemukan hal-hal mengganjal yang menyesatkan dan menjauhkan dari kiblat.
Sekilas ceritanya hampir mirip dengan film-film lain. Sebut saja Makmum (2019) dan Qorin (2022). Latar tempatnya sama-sama di padepokan dan mengikuti perjalanan seorang perempuan yang menjadi santri. Dalam film Qorin juga menceritakan tentang pemimpin padepokan yang mengajarkan ajaran sesat demi kepentingan pribadinya.
Baca Juga: 3 Film Ini Ajak Kita Refleksikan Soal Toleransi Beragama di Indonesia
Gina menyebut, kebanyakan film horor juga menggunakan adegan salat, doa, dan zikir untuk memberikan jumpscare (kejutan). Karakter yang memerankan adegan tersebut akan diganggu setan atau mengalami kerasukan. Ia menilai adegan ini justru menjadi plot murahan yang membuat penonton–masyarakat Indonesia–takut ketika akan menjalankan ibadahnya.
Senada, sutradara Joko Anwar saat mendefinisikan eksploitasi agama dalam film horor sebagai tindakan komersial tanpa memperlakukan agama dengan hormat. Melansir BBC, adegan seram yang dimaksud adalah yang dibuat tanpa kebenaran dan dilakukan secara berlebihan. Hal ini tentu sangat mengganggu, terlebih agama sangat dekat dengan masyarakat Indonesia.
Adegan seram yang disajikan Joko Anwar dalam Pengabdi Setan 1, Pengabdi Setan 2, dan Siksa Kubur semata-mata menunjukkan bagaimana jika seseorang beribadah bukan atas dasar percaya dan yakin kepada Tuhan, melainkan rasa takut akan setan.
Peneliti film sekaligus produser Imaginarium Pictures, Hikmat Darmawan menyebut eksploitasi agama tidak hanya terjadi dalam film horor religi, melainkan drama religi dan politik identitas. Oleh karena itu, penting adanya mekanisme dialog dan pendampingan saat proses pembuatan film berjalan.
“Kita harus membangun mekanisme dialog dan pendampingan lebih serius untuk film-film. Jadi nggak sembarangan saja gitu ambil tema (religi),” ujar Hikmat saat dihubungi Konde.co pada Kamis (4/4/2024).
Film Horor Religi Seperti Zaman Orba
Film horor Indonesia pertama kali tayang pada 1971. Di era tersebut, film-film yang dibintangi oleh Suzzana mendapat atensi baik dari masyarakat. Beberapa judul film yang diperankannya masuk dalam film populer. Hal ini membuatnya dijuluki sebagai “ratu horor Indonesia”.
Perkembangan film horor tidak lepas dari kentalnya kepercayaan masyarakat Indonesia terkait hal-hal berbau mistis. Masyarakat Jawa sangat mempercayai tempat-tempat sakral, wingit, dan angker. Alhasil, pemakaman menjadi tempat yang dianggap mistis dan banyak setannya.
Katinka van Heeren dalam risetnya berjudul Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and Ghosts from the Past (2012) menyebut film horor mulai memasukkan kiai sebagai sosok yang menang melawan kejahatan–dalam hal ini adalah setan–pada era Orde Baru. Ia berperan mengusir roh jahat yang biasanya adalah arwah-arwah yang mati tidak wajar lalu gentayangan ingin menuntut balas.
Ketatnya aturan soal penayangan film horor era Orde Baru menjadi alasan eksisnya tokoh kiai. Kode Etik Dewan Perfilman yang disusun oleh komisi film dalam ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merekomendasikan agar seluruh film harus mengarah pada pengabdian dan pujian kepada Tuhan.
Rekomendasi ini menuntut agar alur cerita disusun sedemikian rupa untuk memberi kesan baik dan buruk kepada penonton. Bahwa apa yang buruk pasti akan dibuat menderita, sementara yang baik akan mendapat pahala dan kebahagiaan.
“Tahun 1981, Dewan Film Nasional menjadikan aturan tertulis bahwa tokoh setan atau ilmu hitam dan sebagainya harus kalah dengan tokoh agama,” ujar Hikmat.
Baca Juga: ‘Siksa Kubur’, Film tentang Peringatan Penyiksaan Kubur atau Kegalauan Beragama?
Kemudian pada masa Reformasi, ada penolakan terhadap aturan yang membatasi tersebut. Tak heran jika di masa ini, film horor religi mulai jarang ditemui.
“Sekarang malah balik (ke masa Orde Baru), muncul lagi, dan malah lebih dominan tema religi atau agama Islam di dalam horor,” tambahnya.
Kelatahan ini yang membuat publik geram. Terlebih jika film tersebut menggunakan ritus salat sebagai plot jumpscare atau menunjukkan sesuatu yang seram.
Horor Religi Ritus Salat: Kelatahan Tanpa Riset
Ibarat gunung, Kiblat adalah puncak dari muaknya masyarakat terhadap film-film horor religi. Ditambah dengan posternya yang dianggap melecehkan agama dan berlebihan.
Menurut Hikmat, Kiblat bukan lagi termasuk film horor religi, melainkan sub yang berhubungan dengan ritus salat. Ritus ini menjadi bahan cerita horor.
Ia pun membandingkan dengan film sejenis berjudul Qorin (2022). Menurutnya, film yang disutradarai Ginanti Rona ini telah sesuai dengan Al-Qur’an.
“Qorin itu kan kayak pesantren, tapi terus ada ilmu hitamnya. Itu acuannya jelas juga ke Qur’an itu ada ayat yang menjadi pijakan tentang cerita ilmu hitam,” jelas Hikmat.
Selain itu, film Qodrat juga menggandeng ustad dan kiai dari pesantren selama proses syuting berlangsung. Ini dilakukan semata-mata untuk mendampingi dan menjaga agar apa yang disampaikan sesuai dengan Al-Qur’an.
Lain halnya dengan film Siksa Neraka (2024) yang disutradarai oleh Anggy Umbara. Hikmat menyebut film ini seperti dibuat asal-asalan. Tak heran jika Siksa Neraka dilarang tayang di Malaysia.
“Film horor religi yang berhubungan dengan ritus salat itu yang seringkali agak ikut-ikutan, jadi latah, dan agak sembarangan,” tambahnya.
Baca Juga: Selamat Hari Film: Produksi Film Banyak, Namun Kenapa Film Anak Sangat Minim?
Hikmat tidak membenarkan soal pemboikotan. Namun, keresahan masyarakat patutnya menjadi koreksi bersama agar perfilman Indonesia dapat semakin baik lagi.
Setelah ini, para pembuat film juga akan melakukan diskusi terkait pendampingan saat pembuatan film. Tujuannya agar kejadian seperti Kiblat dan film-film sejenis tidak terulang kembali.