Kelas Bahasa Isyarat, Membangun Harapan dan Keadilan bagi Difabel Tuli

Estu Fanani, www.konde.co

Jakarta, Konde.co-  Pertemuan pertama kelas
bahasa isyarat di Rumah Kemuning sore itu terlihat hening, sesekali terdengar
perbincangan dari para murid. Ya, kami murid kelas bahasa isyarat ini
diharapkan untuk tidak bersuara ketika berbahasa isyarat, agar bisa ikut
merasakan keheningan yang dialami oleh kawan-kawan difabel tuli. Baru kali ini
saya mengikuti kelas yang dalam proses belajar – mengajaryang tidak banyak perbincangan secara verbal,
namun semangat belajar sangat terasa sekali dalam ruangan.

Kelas Bahasa Isyarat Dasar 2017. Foto: Yohanna TW

Kelas pertama ini mempelajari perkenalan dan huruf abjad
dalam bahasa isyarat dengan diampu oleh dua orang guru. Komunikasi dengan
bahasa isyarat dan membaca gerak bibir. Sebelum kelas dimulai, guru mengajak
murid-murid melakukan senam jari dan tangan. Sempet berpikir, apakah sangat
diperlukan pemanasan tangan ini? Kami baru merasakan manfaatnya di tengah
proses belajar. Kami yang awam dengan bahasa isyarat yang banyak menggunakan
gerak tangan dan jari, langsung merasakan capek dan pegalnya jari. Melihat
huruf abjad dari A sampai Z dan mengucapkannya, kami tentu akan melakukannya
dengan mudah. Namun ketika kami harus melafalkan dengan menggunakan bahasa
isyarat, tentunya ini merupakan suatu hal yang memerlukan konsentrasi dan
keluwesan jari tangan. Kami jadi semakin memahami tantangan ini.

Kelas bahasa isyarat dasar yang merupakan hasi kerjasama
antara Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat Indonesia (PLJ) dan Gerakan untuk
Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), sudah dimulai beberapa tahun
terakhir ini. Dan untuk 2017 ini, angkatan pertama dilaksanakan di bulan Februari
2017, dan angkatan kedua bulan April 2017. Sebelumnya, PLJ dan Gerkatin sudah
pernah bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia mengajar
mata kuliah pilihan Bahasa Isyarat. Awalnya peminatnya banyak, namun kemudian
menyusut dan bertahan pesertanya tidak lebih dari 5 orang. Hal ini karena
bahasa isyarat bukan bahasa utama bagi orang hearing (yang bisa mendengar).

Menurut Phieter – salah satu pengajar bahasa isyarat di PLJ,
kelas bahasa isyarat ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan
kepedulian masyarakat terhadap kebutuhan kawan-kawan difabel tuli. Saat ini,
baru ada sekitar 40 penerjemah bahasa isyarat di seluruh Indonesia. Penerjemah
di sini adalah penerjemah bahasa isyarat yang bersertifikat. Hal ini
disampaikan dalam pertemuan perkenalan kelas pertama bahasa isyarat dasar pada
21 Februari 2017 lalu di PLJ.

Kelas Bahasa Isyarat Dasar 2017. Foto: Myrna MS

Dari jumlah penerjemah yang ada, berarti hanya ada 1 atau 2
orang penerjemah di setiap propinsi di Indonesia, dan bisa jadi bahkan ada
propinsi yang tidak ada penerjemah bahasa isyaratnya. Bisa dibandingkan dengan
jumlah difabel tuli dari hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang
dilaksanakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 yang berjulah 472.855
orang, atau sekitar 12,7% dari jumlah difabel di Indonesia (6.008.661 orang). Sungguh
sanga tidak mencukupi keberadaan penerjemah itu. 

Kebutuhan akan penerjemah bahasa isyarat yang dapat
mendampingi difabel tuli dalam mengakses hak-haknya ini ditegaskan juga oleh
ibu Juniati Effendi, pengurus Gerkatin Pusat. “Kebutuhan akan penerjemah bahasa
isyarat ini sangat besar, terutama ketika mendampingi difabel tuli dalam
mengakses pendidikan, kesehatan, maupun ketika di peradilan. Apalagi masih
banyak difabel tuli yang belum mengetahui bahasa isyarat Indonesia (Bisindo) dan
tidak dapat atau terbatas dalam berkomunikasi dengan oran lain.”

Dari fakta di atas, maka sangat penting adanya kelas bahasa
isyarat untuk umum ini, agar semakin banyak difabel tuli yang dapat mengakses
dan mendapatkan pemenuhan hak-hak nya sebagai warga negara maupun sebagai
anggota masyarakat untuk hidup setara dengan yang lain. Apalagi, Bisindo masih
belum diakui sebagai bahasa isyarat resmi di Indonesia. Gerkatin sendiri sudah
menjadikan Bisindo sebagai bahasa isyarat bagi difabel tuli sejak 2015 dalam
Kongres Geerkatin keenam.

Angkatan pertama di tahun 2017 ini diikuti oleh sekitar 50
orang peserta yang terdiri dari mahasiswa, pekerja, maupun orang tua dari anak
difabel tuli. Harapannya, jumlah ini tetap bertahan hingga akhir dan dapat
berlanjut ke kelas berikutnya sebagai penerjemah bahasa isyarat.

Menurut Anna Amalia salah satu murid kelas bahasa isyarat
2017, dia tertarik mengikuti kelas bahasa isyarat karena sering melihat
penerjemah bahasa isyarat di televisi dan tertarik mempelajarinya. Fakta masih
terbatasnya tenaga penerjemah bahasa isyarat semakin menguatkan niatnya
mendalami bahasa ini.

Kursus bahasa isyarat ini juga dapat diakses oleh masyarakat
di daerah luar Jakarta dan sekitarnya, di mana terdapat cabang Gerkatin,
seperti Solo, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan kota-kota lainnya. Bagi yang
tinggal di Jakarta dan sekitarnya, serta ingin mengikuti atau tertarik
memelajari dan mendalami bahasa isyarat, dapat mendaftarkan diri dengan mengisi
form secara online di http://goo.gl/forms/vnLJm31E7ZgtXYeU2.
Kelas bahasa isyarat dasar berikutnya akan dimulai bulan April 2017.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!