Mollo, Keteguhan Hati Perempuan Penyelamat Hutan

Luviana – www.Konde.co

Aleta Baun, adalah salah seorang perempuan yang berjuang di Mollo, Nusa Tenggara Timur. Pada 25 Januari 2017, ia mendapatkan penghargaan hak asasi manusia, Yap Thiam Hien. Penghargaan ini karena Aleta Baun, selama 17 tahun berjuang bagi para perempuan dan anak-anak juga lingkungan di Mollo, Nusa Tenggara Timur.

Aleta mengajak para perempuan disana, menenun gunung batu sebagai bagian dari perjuangan untuk menolak perusahaan tambang yang akan mendirikan tambang-tambang yang akan merusak lingkungan disana.

Mollo, bagi para perempuan disana adalah hutan dimana mereka mencari makan, hidup, mengolah obat-obatan jika anak-anak mereka sakit. Bagaimanakah situasi di Mollo dan perjuangan perempuan disana?

Dulunya, Mollo merupakan Kerajaan. Netpala, kerajaan tertua di sana yang melahirkan Kerajaan Numbena. Netpala meliputi kawasan desa Lelobatan, Fatukkoto, Bose, Sebab, Leloboko, Nefukoko, Anjabaki, Enyondaki dan Obefi. Sedangkan Numbena meliputi desa Nifu Lilana, Tune, Bonleu, Fatumnasi, Kuonel dan Tunua.

Desa-desa itu hingga kini masih berdiri dengan masyarakat yang rata-rata bekerja menjadi petani dengan berladang, berkebun, beternak dan memanfaatkan hutan mereka secara bijak (Siti Maimunah, 2009).

Mollo sendiri terletak di wilayah teritori masyarakat di sekitar kaki Gunung Mutis yang tersebar, yaitu di Mollo Selatan dan Mollo Utara, dimana Nausus dan Anjaf adalah bagiannya. Gunung Mutis adalah gunung tertinggi di bagian barat Pulau Timor. Di sanalah asal-muasal aliran air di Mollo dan segala hubungan kehidupan saling bersambung, yaitu air, tanah, hutan dan bebatuan di sekitarnya.

Bagi Orang Mollo, Nausus dan Anjaf adalah alam semesta kehidupan mereka yang sempurna. Sejak jaman nenek moyang, masyarakat Mollo biasa melepas ternak dan digembalakan di kawasan itu. Banyak Orang Mollo membuka ladang dan berkebun di sana. Segala kosmologi kehidupan Masyarakat Mollo berpusat di sana. Bagi orang Mollo, air, hutan, tanah dan batu adalah bagian dari identitas mereka:

Oel nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu,
naijan nam nes on sisi, fatu nam nes on nuif.
(Air adalah darah, Hutan adalah Rambut,
Tanah adalah Daging, Batu adalah Tulang)

Gunung batu Nausus dan Anjaf adalah bagian identitas Orang Mollo berasal. Batu misalnya, dianggap sebagai fatukanaf yang adalah Batu Nama. Batu dianggap sebagai perumpamaan laki-laki karena dari sanalah marga-marga suku Mollo dikeluarkan karena mereka sudah mulai berumah tangga. Batu dianggap kekuatan dan juga sebagai tulang punggung. Jika tidak ada batu, maka alam dianggap akan lumpuh, seperti halnya manusia tidak punya tulang punggung. Selain Batu Nama, orang Mollo juga mempercayai Air Nama, Kayu Nama. Semuanya merefleksikan kayanya filosofi orang Mollo dalam menghargai alamnya.

Faktanya, data WALHI NTT menyebutkan, Gunung Mutis seperti halnya bebatuan Karst lainnya di Timor, salah satunya Nausus dan Anjaf, tidak hanya sebagai identitas sosial, lebih dari itu kawasan ini memiliki fungsi strategis yaitu sebagai daerah tangkapan air bagi wilayah daratan Timor. Terutama di Mutis ada beberapa hulu sungai besar seperti Sungai Noelmina, Benanain, dan Oebesi yang bisa memenuhi kebutuhan air bagi sebagian besar masyarakat Timor. Kawasan ini juga dinilai mempunyai keanekaragaman hayati yang menyeimbangkan kehidupan alam di sana dan Timor secara keseluruhan.

Data penelitian yang dikutip CO Sakeng dalam tulisannya, “Cagar Alam Mutis yang terusik Tambang,” menyebutkan, kawasan Gunung Mutis memiliki tipe vegetasi yang merupakan perwakilan.

Hutan homogeny dataran tinggi. Kawasan ini juga didominasi berbagai jenis ampupu (Eucalyptus urophylla) yang tumbuh secara alami dan jenis cendana (Santalum album). Selain itu di sini dapat ditemui berbagai jenis pohon lainnya seperti hue (Eucalyptus alba), bijaema (Elacocarpus petiolata), haubesi (Olea paniculata), kakau atau cemara gunung (Casuarina equisetifolia), manuk molo (Decaspermum fruticosum), dan oben (Eugenia littorale). Ada juga salalu (Podocarpus rumphii), natwon (Decaspermum glaucescens), natbona (Pittospermum timorensis), kunbone(Asophylla glaucescens), tune (Podocarpus imbricate), natom (Daphniphylum glaucescens), kunkaikole (Veecinium ef. Varingifolium), tastasi (Vitex negundo). Kemudian ada juga manmana (Croton caudatus), mismolo (Maesa latifolia), kismolo (Toddalia asiatica), pipsau (Harissonia perforate), matoi (Omalanthus populneu). Termasuk aneka jenis paku-pakuan dan rumput-rumputan.

Selain kaya dengan flora, kawasan wisata Mutis juga menyimpan aneka fauna khas Timor. Di sini pengunjung bisa menyaksikan rusa timor (Cervus timorensis), kus-kus (Phalanger orientalis), babi hutan (Sus Vitatus), biawak (Varanus salvator), biawak timor (Varanus timorensis). Di sana juga ada sanca timor (Phyton timorensis), ayam hutan (Gallus gallus), punai timor (Treon psittacea), betet timor (Apromictus jonguilaceus), pergam timor (Ducula cineracea), perkici dada kuning (Trichoglosus haematodus).


Kerusakan oleh Investor Dimulai

Namun pusat alam semesta Orang Mollo yaitu Nausus-Anjaf itu terampas, ketika perusahaan tambang yaitu PT Soe Indah Marmer Pertambangan dan PT Karya Asta Alam diijinkan masuk oleh penguasa setempat untuk mengekplorasi tempat keramat Orang Mollo (1997-2001).

Hingga perusahaan itu datang, beroperasi, tanpa masyarakat mengetahuinya. Penguasa tidak pernah menanyakan pendapat apalagi melibatkan masyarakat Mollo dan perempuan disana tentang rencana hadirnya dua perusahaan tambang tersebut. Mereka hanya tahu, sejak perusahaan tambang marmer itu datang, kehidupan mereka sudah tidak sama dengan sebelumnya.

Didukung aparat keamanan yang direstui penguasa setempat, pihak perusahaan kemudian melarang masyarakat melakukan aktivitas di sana. Tidak boleh berladang, berkebun atau melepas ternak di sana. Kawasan itu dipagar. Bahkan situs-situs ritual adat sejak nenek moyang mereka telah ada di dalam hutan dan selalu dijaga serta dipelihara dengan baik pun dirusak. Lebih dari itu, Anjaf dan Nausus dibelah, didinamit, dan jati diri asal muasal Orang Mollo terampas sejak itu.

“Seperti halnya manusia. Kawasan ini dulu bentuknya utuh sempurna. Ada rambut yaitu hutan-hutan di sini, segala pohon yang melekat. Ada darah yang menghidupinya yaitu air-air yang tersimpan dalam tanah, ada kulitnya yaitu tanah-tanah yang menghidupkan, serta batu-batu yang menjadi tulang punggung sehingga menguatkan kawasan ini.

Seperti itulah keindahan di sini dulunya.

Rupanya sempurna seperti manusia, sebelum perusahaan tambang marmer datang dan merusak alam hidup di sini. Jadi coba bayangkan, jika itu manusia, kamu tidak punya alis, rambut, seperti apa rupanya?,” jelas Petrus Almet, 63, salah satu tokoh adat dari desa Lelobatan, Kecamatan Mollo Utara, Timor Tengah Selatan.

Aleta Baun adalah seorang perempuan yang kemudian menghimpun para perempuan disana untuk melawan. Dengan keteguhan hati dan keberaniannya membuat dirinya menjadi panutan dan pemimpin dari sebuah gerakan untuk menyelamatkan alam, menyelamatkan martabat manusia, menyelamatkan lingkungan dan hak asasi manusia dari serbuan komersialisme industrialisasi, dari serbuan kerakusan dan ketamakan dunia usaha yang tidak peduli dengan lingkungan.

Ia mengajak puluhan kaum ibu di 3 suku disana untuk melakukan aksi protes dengan menenun di celah gunung batu yang akan ditambang. Saat protes sambil menenun itulah, kemudian banyak warga yang mendukung perjuangan Aleta Baun dan para perempuan disana.

Tentu saja tidak mudah bagi Aleta Baun meyakinkan orang Mollo untuk tidak pasrah dan diam melihat kerusakan alam mereka, pada awalnya. Namun orang sangat percaya bahwa Aleta memang seorang pemegang amanat yang sangat peduli dengan kehidupan orang Mollo.

Jauh sebelum kasus tambang dia juga dikenal sebagai orang yang menentang dipakainya lahan adat milik Perempuan Mollo diambil alih oleh Dinas Kehutanan. Dia bahkan sempat diseret ke pengadilan karena dianggap telah menyerobot tanah milik pemerintah.

Kendati dirinya, anak dan suaminya diancam akan dibunuh, bahkan anaknya sempat terluka dilempar batu oleh preman-preman. Namun Aleta tidak gentar. Atas kegigihannya, dia bersama warga Mollo yang peduli mulai melakukan perlawanan.

Aksi ini berlangsung selama setahun dan membuahkan hasil, dua perusahaan tambang, PT. Soe Indah Marmer dan PT. Karya Asta Alam angkat kaki dari bumi Mollo. Dan ini dilakukan Aleta Baun secara konsisten sejak 17 tahun yang lalu.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Dirangkum dari buku pemberian penghargaan Yap Thiam Hien Award, 25 Januari 2017 dan http://tenunbife.com/memaknai-perjuangan-mollo-melalui-ningkam-haumeni/

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!