Perempuan berpendidikan

‘Percuma Sekolah Tinggi, Nanti ke Dapur Juga’: Stop Ungkapan Jadul untuk Perempuan

Perempuan berpendidikan tinggi tidak melulu untuk kebutuhan domestik mendidik anak-anak. Sebab tanggung jawab pengasuhan adalah pada kedua orang tua. Perempuan yang mengupayakan pendidikan tinggi untuk keberdayaan dirinya sendiri, harus didukung.

“Ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya. Jika engkau mempersiapkannya (dengan baik) maka engkau telah mempersiapkan generasi yang baik pula.” 

Setidaknya begitulah kira-kira kutipan yang sebagian besar dari kita, barangkali pernah mendengar atau membacanya. 

Masa awal saat mengetahui kutipan tersebut, rasanya tidak ada yang mengganggu pikiran saya. Sepintas kalimat itu, seakan ingin menunjukkan bahwa peran pendidikan yang dimiliki perempuan memiliki bagian penting terhadap generasi selanjutnya. 

Di samping, hal itu juga seringkali menjadi semacam pengingat, bahwa pendidikan bagi perempuan adalah penting. 

Namun, pelan-pelan saya menyadari bahwa kutipan tersebut tampaknya tidak sejalan dengan situasi yang terjadi di masyarakat. Perempuan masih memiliki belenggu dan hambatan untuk bisa mengakses hak pendidikan yang setara. 

Dan tentu saja, bukan cuma ibu yang bisa menjadi pendidik bagi anak-anaknya, tapi ayah juga. Karena jika dibiarkan, pendidikan seolah semua diserahkan pada perempuan, sedangkan laki-laki dianggap tak mampu untuk mendidik dan menyerahkan pada perempuan.

Realita Pemenuhan Hak Pendidikan Perempuan

Mari kita melihat realita pendidikan bagi perempuan di masyarakat (patriarki) saat ini. Masih banyaknya perempuan yang harus putus sekolah akibat terbelenggu kemiskinan dan pernikahan usia anak. Hingga kesempatan dalam dunia pendidikan yang belum merata didapatkan oleh perempuan. 

Belum lagi, adanya narasi misoginis dan seksis yang tak dipungkiri banyak terjadi terhadap perempuan. Perempuan juga masih dikungkung dengan pembakuan peran gender yang mendomestikasi.

Kira-kira begini bunyinya:

“Percuma perempuan sekolah tinggi-tinggi, nanti juga ujung-ujungnya ke dapur.”

“Perempuan jangan sekolah tinggi-tinggi, nanti gak ada cowok yang mau deketin.” 

“Sudah berkeluarga, punya suami dan anak, ngapain sih sekolah lagi? Nanti keluarganya jadi gak keurus lho.”

Jika refleksikan, bisa-bisanya selama ini, kita (masih terus) mengamini dua hal yang kontradiktif sekaligus. Benar-benar jenaka.

Hak Pendidikan Setara 

Kalimat kutipan yang saya tulis di awal, saya setuju jika pemaknaannya diletakkan pada semangat pendidikan untuk perempuan supaya diletakkan pada posisi dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Sebab, memang kenyataannya pendidikan adalah hak bagi semua insan. 

Dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW menekankan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi tiap diri seorang muslim. Tentu saja, itu berlaku tidak berhenti hanya untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan.

Memang, tidak mengapa jika perempuan memilih menuntut ilmu dengan memegang prinsip bahwa ia harus cerdas. Sebab akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Dengan begitu, ia bisa saja akan merasa bahwa ilmunya berguna. 

Sebaliknya, akan jadi persoalan, jika ada paksaan/tuntutan yang seolah mengkonstruksikan perempuan berpendidikan hanya terbatas untuk keperluan pengasuhan anak-anak. Di satu sisi, menempatkan perempuan hanya di ranah domestik seperti agar ‘pintar melayani suami’, bisa ‘mengatur rumah tangga’, dan lain sebagainya. 

Dengan kata lain, perempuan berhak untuk berpendidikan tidak terikat dengan konstruksi sosial yang patriarki. 

Terlepas dari menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak, hasil dari perempuan yang mengenyam pendidikan juga tetaplah valid. Dari diri yang berpendidikan, ia bisa membantu dirinya sendiri untuk berdaya. Bahkan bisa memberi kebermanfaatan seluas-luasnya pada sesama manusia dan bumi. Sehingga, tidak hanya berhenti pada lingkungan rumah atau domestik.

Baca Juga: Single Parent Butuh Dukungan, Bukan Stigma Soal Pendidikan Anak

Kita semua pasti setuju bahwa menempuh pendidikan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani dan diraih. Sehingga, ketika suatu jenjang pendidikan telah tercapai, akan sangat tidak etis jika kita mengatakannya sebagai suatu pencapaian yang sia-sia jika ia tidak menurunkannya ke anak-anaknya sendiri. 

Padahal, alasan perempuan tidak memiliki anak, bukan hanya sebatas keputusan sepakat untuk tidak memiliki anak (childfree), akan tetapi ada alasan lain seperti belum mempunyai diri baik secara fisik, mental, dan finansial, atau sebab adanya masalah kesehatan yang menjadikannya tidak bisa memiliki anak. 

Belum lagi perihal adanya perempuan yang memang memilih untuk tidak menikah. Tentu saja, capaian pendidikan yang ia raih tidak serta-merta kemudian menjadi sesuatu yang sia-sia dan tidak berarti.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa tuntutan masyarakat terhadap perempuan amat besar. Di mana soal pendidikan saja perempuan masih dilekatkan pada ranah domestik. Seakan-akan capaian pendidikan terhadap perempuan termarginalkan fungsinya dalam ranah domestik.

Belum lagi, apabila terjadi sesuatu yang kurang pada anak, maka sosok perempuan yang dianggap kurang cakap soal pengasuhan dan pendidikan pada anak. Padahal pendidikan dan pengasuhan anak adalah mutlak tanggung jawab ayah dan ibu. 

Keduanya perlu sama-sama berilmu dan saling bersinergi untuk kepentingan anak. 

Baca Juga: Jangan Lewatkan 5 Hal Penting Ini Saat Kamu Belajar Pendidikan Seksual

Terbentuknya anak-anak yang hebat terletak pada pola pendidikan dan pengasuhan yang tepat dari kedua orang tua. Di mana hal tersebut tidak sepatutnya hanya dibebankan pada satu orang yaitu perempuan.

Kita perlu terus memupuk rasa peduli dan saling menghargai antar sesama manusia termasuk perempuan dalam pendidikan. Sehingga, kita tidak bisa secara serampangan menghakimi keputusan seseorang. 

Saya percaya, tidak ada hal baik yang kita usahakan termasuk pendidikan bagi perempuan, lantas menjadi sia-sia. Hanya karena ia tidak bisa memenuhi ekspektasi masyarakat yang hanya sebatas konstruksi sosial.    

Perempuan berhak berpendidikan dan berdaya dengannya!

Dini Damayanti

Seorang perempuan biasa, sekaligus EXO-L, yang sedang menikmati hidup di umur 20 tahunan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!