Poedjiati Tan – www.konde.co
Women’s March
Indonesia pada Sabtu, 4 Maret 2017 kemarin berlangsungdengan sukses, aksi jalan kaki dari pagi jam 09.00 sampai jam 13.00 WIByang digagas oleh beberapa
organisasi dan kelompok perempuan seperti Jakarta Feminist Discussion Grup,telah berhasil menggugah
kepedulian masyarakat umum. Aksiini
tidak hanya perempuan-perempuan dewasa yang ikut
berpartisipasi namunjuga perempuan-perempuan muda dan remaja.
Foto aksi Women’s March Indonesiayang berseliweran di beranda Facebook, ada satu
yang sangat menarik perhatian saya. Foto siswiSMA Santa Ursula dengan
seragam sekolahnya “putih kotak-kotak hijau” yang membawa poster dengan tulisan Just because I’m chinese, catholic and a
women doesn’t mean I can’t be a leader. Chinese, Katolik dan perempuan
adalah perpaduan diskriminasi yang komplek di Indonesia. Apalagi bila ingin
menjadi pemimpin, bahkan setingkat lurah sekalipun. Kita tahu bagaimana Lurah
Susan yang disoroti dan diminta untuk diganti karena dia perempuan dan Kristiani.
Saya juga masih ingat bagaimana mama saya yang kuatir ketika saya terlibat
dalam kampanye politik Jokowi ketika pemilihan presiden atau ketika saya akan
ikut demo bersama teman-teman aktivis. Mama saya, orang tua yang pernah
merasakan jamannya orde lama dan orde baru. Bagaimana ketakutan dituduh terlibat
dengan partai komunis terhadap kami keturunan Tionghoa terus menghantui.
Sehingga kami anak-anaknya dilarang untuk terlibat dalam politik ataupun
aktivisme. Bertahun-tahun kami dikondisikan sebagai masyarakat kelas dua yang
hanya boleh berdagang tanpa boleh berpolitik.
Sejak era
kepeminpinan Abdurrahman Wahid, tembok batas diskriminasi atas warga Tionghoa
memang perlahanmulai terkikis selapis demi selapis. Tetapi tak jarang isu rasis dan agama masih bisa dijadikan senjata yang
kuat dalam pemilihan presiden, gubernur, walikota, bupati, camat atau lurah
sekalipun. Teror ganyang orang cina masih bisa kita temui ketika ada aksi demo
atau kampanye, atau isu pribumi dan non pribumi masih saja ditiupkan dalam
masyarakat kita. Oleh sebab itu banyak keturunan Tionghoa yang kurang berminat
terlibat dalam politik.
Tetapi melihat foto di Women’s March Indonesia, dimana banyak anak muda
keturunan tionghoa yang ikut berpartisipasi menumbuhkan harapan baru.
Partisipasi mereka yang menyebut dirinya Chinese, katolik dan perempuan yang
mau menjadi pemimpin di Indonesia sungguh membanggakan. Partisipasi perempuan
muda untuk kesetaraan di segala bidang tanpa melihat agama, ras, suku dan
gender sangatlah diperlukan. Generasi yang akan mendobrak segala pakem pembelengguan
untuk maju. Harapan Indonesia kembali menjadi negara yang menghargai perbedaan
masyarakatnya, kembali mewujudkan Bhineka Tunggal Ika, harapan itu masih ada.
Foto : Poppy Louise