Hari Tanpa Diskriminasi

Poedjiati Tan – www.konde.co

Tanggal 1 Maret adalah hari Zero Discrimination yang dicanangkan oleh
Persatuan Bangsa-Bangsa sejak tahun 2013. Hari Nol Diskriminasi bertujuan untuk
merayakan individualitas, inklusi dan hak asasi manusia saat mempromosikan
toleransi, kasih sayang dan perdamaian. Diskriminasi mengacu pada praktek
selektif tidak adil memperlakukan seseorang atau sekelompok orang yang berbeda
dari yang lain. Diskriminasi memiliki banyak bentuk yang sering menjadikan
penyebab diskriminasi seperti agama dan kepercayaan, jenis kelamin, ras,
seksualitas, usia dan disabilitas.

Dalam Pers release di Geneva UNAIDS mendesak semua orang untuk ikut
meramaikan, mempromosikan nol diskriminasi dan mencegah dikriminasi. “Setiap
orang memiliki hak untuk diperlakukan dengan hormat, untuk hidup bebas dari
diskriminasi, paksaan dan kekerasan,” kata Michel Sidibé, Direktur
Eksekutif UNAIDS.

Di Indonesia Zero Discrimination belum terlalu menunjukan gaungnya. Hanya beberapa
organisasi atau aktivis yang mempromosikan hal ini. Padahal disrkiminasi di
Indonesia masih sangat kental dengan kehidupan sehari-hari kta. Kita lihat saja
bagaimana agama dijadikan senjata untuk kepentingan politik. Bagaiman teman-temah
Ahmadiyah atau Syah yang mengalami diskriminasi dan kadang harus terusir dari
tempat tinggalnya. Bagaimana agama asli seperti kejawen, Sunda wiwitan yang
tidak diakomodir dalam pendidikan agama untuk anak-anak mereka.

Dalam survei yang dilakukan oleh Wahid Foundation bekerja sama dengan Lembaga
Survei Indonesia (LSI),  “Potensi
Intoleransi dan Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia”
yang melibatkan 1.520 responden yang tersebar di 34 provinsi. Responden adalah
umat Islam berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah. Survei yang digelar
dari 30 Maret sampai 9 April 2006 itu menggunakan metode random sampling dengan
margin error sebesar 2,6 persen dan tingkat keyakinan 95 persen.

Hasilnya, survei tersebut menemukan sejumlah data yang cukup
mengkhawatirkan. Dari total 1.520 responden sebanyak 59,9 persen memiliki
kelompok yang dibenci. Kelompok yang dibenci meliputi mereka yang
berlatarbelakang agama nonmuslim, kelompok tionghoa, komunis, dan selainnya.

Tidak hanya persoalan agama yang sering mengalami intoleransi. Kelompok
LGBT juga sering mengalami diskriminasi dan kekerasan dari masyarakat, aparat
negara dan juga Negara. Laporan Human Rights Watch
mencatat pasang naiknya retorika anti-LGBT pada awal 2016, serta ancaman dan
serangan kekerasan terhadap lembaga swadaya masyarakat, aktivis, dan individu
LGBT, terutama oleh Islamis militan, selama Januari hingga April 2016. Dalam
beberapa kasus, ancaman dan kekerasan tersebut terjadi ditengah-tengah
kehadiran, dan sepengetahuan pejabat-pejabat pemerintah atau aparat keamanan. 

Setiap orang bisa mengalami diskriminasi tanpa terkecuali, tetapi tanpa
disadari orang sering melakukan diskriminasi pada orang lain atau kelompok lain
karena perbedaan mereka. Setiap orang memiliki hak untuk hidup penuh dengan
martabat tanpa memandang usia, jenis kelamin, seksualitas, kebangsaan, etnis,
warna kulit, tinggi badan, berat badan, disabilitas, profesi, pendidikan, agama
dan keyakinan, atau apapun perbedaan mereka. Mari menjadikan negara Indonesia
menjadi negara yang nyaman dan aman bagi semua orang tanpa memandang perbedaan
mereka tetapi dengan melihat bahwa kita semua sama-sama manusia yang menumpang
hidup di bumi.

Sumber :

http://www.unaids.org/en/resources/presscentre/pressreleaseandstatementarchive/2017/february/20170301_zero-discrimination-day

https://www.hrw.org/id/report/2016/08/10/292707

http://nasional.kompas.com/read/2016/08/01/13363111/survei.wahid.foundation.indonesia.masih.rawan.intoleransi.dan.radikalisme?page=all

(Foto : UNAIDS & HRG)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!