Lingkungan Sekolah Belum Ramah Anak

Luviana- www.konde.co

Jakarta, Konde.co – Network for Education Watch Indonesia (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia-JPPI) mengeluarkan sebuah index layanan pendidikan di Indonesia 2016, yang disebut Right to Education Index (RTEI) bekerjasama dengan RESULTS International.

Index  RTEI ini juga dilakukan di beberapa negara, yaitu Indonesia, Inggris, Kanada, Australia, Philipina, Korea Selatan, Palestina, Ethiopia, Nigeria, Honduras, Tanzania, Zimbabwe, Kongo, dan Chile. RTEI merupakan indeks yang dirancang untuk mengukur pemenuhan hak atas pendidikan, yang akan mendorong akuntabilitas dan tranparansi dalam pengelolaan pendidikan.

Dalam pernyataan persnya pada Senin 27 Maret 2017 kemarin, disebutkan ada lima indikator utama yang diukur dalam Index ini antaralain: governance, availability, accessibility, acceptability, dan adaptability.

Dari beberapa indicator tersebut, Indonesia mendapatkan skor 77%.  Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI menyatakan bahwa skor ini tidak membanggakan, karena menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia sejajar dengan negara Nigeria dan Honduras.

“Ironisnya lagi, ternyata kualitas pendidikan di Indonesia berada di bawah Philipina dan Ethiopia.”

Peringkat Kualitas Pendidikan Berdasarkan RTEI 2016:

Dalam Index ini Indonesia menempati tempat ke-7 dari 14 negara yang lain.

1. UK : 87%

2. Canada : 85%

3. Australia : 83%

4. Philippines : 81%

5. Ethiopia : 79%

6. South Korea : 79%

7. Indonesia : 77%

8. Nigeria : 77%

9. Honduras : 77%

10. Palestine : 76%

11. Tanzania : 73%

12. Zimbabwe : 72%

13. Kongo : 70%

14. Chile : 65%

Catatan Hasil Penelitian

Dari beberapa temuan penelitian, ada 3 isu strategis yang perlu mendapatkan perhatian karena skornya masih rendah, yaitu:

1.Kualitas guru (availability)

2.Sekolah yang tidak ramah anak (accepatability)

3. Diskriminasi terhadap kelompok marginal (adaptability).

Skor kualitas guru yang rendah ini disebabkan karena rasio ketersediaan guru khususnya di daerah terdepan, terluar dan terpencil. Juga, berdasarkan hasil uji kompetensi guru 2016 yang masih di bawah standar. Ini tidak sebanding dengan anggaran yang dihabiskan untuk gaji guru, tapi tidak berpengaruh banyak terhadap peningkatan kualitas.


Lingkungan Sekolah di Indonesia

Lingkungan sekolah di Indonesia yang dianggap masih belum ramah anak. Hal ini disebabkan masih maraknya kekerasan di sekolah, baik fisik maupun non fisik.

Kasus tentang bullying, kekerasan fisik, dan juga kekerasan seksual masih sering menghiasi pemberitaan media. Setidaknya ada enam tipe kekerasan utama yang terus terulang di lingkungan sekolah:

1.Penganiayaan guru kepada siswa

2.Penganiayaan siswa kepada guru

3. Penganiayaan siswa kepada siswa

4. Penganiayaan wali murid kepada guru

5. Pelecehan seksual

6. Tawuran antarsekolah

“Problem lainnya adalah akses pendidikan bagi kelompok marginal. Kelompok marginal yang masuk kategori ini adalah perempuan, anak di penjara, kelompok difabel, anak keluarga miskin, dan juga para pengungsi. Di antara kelompok marginal ini, yang paling rentan adalah pengungsi,” ujar Ubaid Matraji.

Di Indonesia, ada banyak pengungsi dari berbagai negara, antara lain Myanmar, Irak, Somalia, Afganistan, dan Palestina. Belum lagi ada juga pengungsi dari dalam negeri, akibat konflik dan kemiskinan. Penanganan pengungsi di Indonesia masih bersifat sektoral, yakni hanya berdasarkan koordinasi lintas lembaga pemerintahan tanpa dipayungi oleh kebijakan dan kerangka hukum.

Ketiadaan hukum ini menyebabkan berbagai institusi pemerintahan mencoba melakukan terobosan, namun terkendala karena keterbatasan wewenang yang dimiliki masing-masing lembaga dalam menangani para pengungsi. Akibatnya, hak pendidikan bagi anak-anak tersebut menjadi terbengkalai.


Rekomendasi Peningkatan Kualitas Pendidikan Sekolah

Berdasarkan temuan-temuan RTEI 2016, ada beberapa rekomendasi  untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia antara lain yaitu: kualitas guru harus ditingkatkan. Jangan hanya gajinya saja yang naik, kualitasnya juga harus meningkat.

“Untuk itu, pemerintah harus lebih serius dalam mengembangkan kapasitas guru. Langkah ini harus dilakukan berdasarkan roadmap yang jelas, terukur, dan berkesinambungan. Evaluasi dan monitoring juga harus dilakukan secara berkala. Lalu, menindaklanjuti temuan-temaun evaluasi di lapangan. Jika tidak, maka kualitas guru akan terus masih menjadi dilema yang berkepanjangan.”

Yang kedua, untuk menciptakan rasa aman dan ramah anak di sekolah, pemerintah dan juga pihak sekolah harus memberikan sangsi tegas kepada pihak-pihak manapun apabila melakukan kekerasan di lingkungan sekolah. Selain itu, partisipasi orang tua juga sangat penting untuk digenjot. Ini bagain dari mekanisme kontrol yang harus diperankan orang tua dan juga stakeholder lain di sekolah.

Ketiga yaitu perlunya kebijakan afirmasi untuk kelompok marginal. Diskriminasi pendidikan bagi kelompok marginal harusnya tidak terjadi. Khususnya bagi kalangan miskin, difabel dan para pengungsi. Mereka juga punya hak atas pendidikan.

“Untuk itu, pemerintah harus memberikan kebijakan afirmasi kepada kelompok-kelompok rentan. Karena masih banyak anak yang tidak bisa sekolah, disebabkan identitas yang tidak sesuai dengan domisili. Ini sering menimpa anak-anak pengungsi, baik karena konflik atau akibat kemiskinan yang mendera,” ungkap Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!