Aksi Komite Aksi Bersama International Women’s Day 2017
yang dilakukan di depan Kedutaan Besar Arab Saudi dan Istana Presiden (Foto: Ega Melindo) |
Febriana Sinta – www.konde.co.
Jogja, Konde.co -Selain Sumartini, Warnah dan Rusmini, sudah banyak eksekusi mati yang terjadi terhadap buruh migran perempuan.
Tentunya kita masih ingat bagaimana Siti Zainab dan Karni yang dipancung pada tahun 2015 karena membunuh majikan untuk membela diri dari siksaan majikan yang bertubi-tubi didapatnya.
Namun Indonesia tidak cukup melakukan upaya diplomasi tingkat tinggi (high level diplomacy) untuk menghentikan eksekusi. Bahkan eksekusi dilakukan Arab Saudi tanpa pemberitahuan awal kepada pemerintah Indonesia. Kejadian inipun hanya disikapi pemerintah Indonesia dengan menyampaikan surat protes keras terhadap Arab Saudi melalui Duta Besarnya Arab Saudi di Indonesia.
Upaya diplomasi dan perlindungan yang lemah ternyata tidak membuat pemerintah melakukan perbaikan. Bahkan Jokowi justru memerintahkan Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan kebijakan penghentian pengiriman buruh migran ke Negara Timur Tengah termasuk Arab Saudi melalui Kepmen No. 260/2015. Kepetusan ini mengatur penghentian dan pelarangan pengiriman tenaga kerja Indonesia Untuk bekerja pada pengguna perseorangan.
Kebijakan ini dinilai reaktif dan parsial karena tidak menyentuh akar persoalan dan memperhitungkan dampak sosial, hukum, yang kemungkinan timbul.
Faktanya, pasca kebijakan dilakukan justru angka kasus perdagangan orang (trafficking) di Arab Saudi meningkat. Data Kementerian Luar Negeri menyebutkan terjadi kasus trafficking sebanyak 548 kasus pada tahun 2015, atau meningkat 326 kasus dari tahun sebelumnya.
Situasi diatas membuktikan Kepmen No.260/2015 tidak tepat sasaran dan justru semakin membuat perempuan buruh migran rentan praktek perdagangan manusia dan pelanggaran HAM lainnya.
Selain menyuburkan praktek perdagangan manusia, kebijakan ini juga berdampak pada peningkatan kasus pelarangan pulang PBM yang habis sudah masa kontraknya oleh majikan.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy saat aksi di depan Istana Negara (2/3) lalu mengatakan tanggung jawab untuk memulangkan buruh migran terutama buruh perempuan bukan hanya menjadi tanggung jawab Negara asal tapi juga kewajiban negara tujuan , yaitu Arab Saudi.
“Arab Saudi sudah menyetujui dengan meratifikasi 5 perjanjian HAM Internasional yang menetapkan bahwa negara harus menghapus diskriminasi ras dan gender, melindungi hak anak, melarang penyiksaan, dan mencegah serta menghukum pelaku perdagangan manusia.”
Beberapa konvensi internasional yang sudah diratifikasi Arab Saudi antara lain:
1. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), yang diratifikasi Arab Saudi pada tanggal 7 September 2000;
2. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD), yang ditandatangani Arab Saudi pada 23 Oktober 1997;
3. Konvensi Hak Anak (CRC), yang ditandatangani pada 26 Januari 1996;
4. Konvensi Melawan Penyiksaan (CAT), yang ditandatangani 23 September 1997; dan
5. Protokol Mencegah, Menghambat, dan Menghukum Perdagangan Manusia Khususnya Terhadap Perempuan dan Anak, tambahan atas Konvensi PBB Melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional, yang ditandatangi Arab Saudi pada 20 Juli 2007
Instrument internasional diatas seharusnya secara otomatis menjadi bagian dari hukum domestik dan memiliki status hukum yang sama dan berlaku mengikat ke dalam system hukum di Negara yang telah menyetujui.