Febriana Sinta-www.konde.co
Jogjakarta, Konde.co – Usia senja tidak menghalangi seseorang untuk tetap menghasilkan sebuah karya.Salah satunya adalah Simbah Atemo Wiyono. Di usia 75 tahun dia tetap bekerja sebagai pengrajin dolanan (mainan) anak tradisional.
Sejak usia muda Simbah Atemo telah menekuni pekerjaannya sebagai pembuat mainan tradisional. Dari bahan sederhana yang didapat dari sekitar rumahnya, setiap hari dirinya membuat dolanan dari bahan kertas, bambu, kawat dan lem. Dolanan anak yang dihasilkan adalah otok-otok, wayang kertas , burung dan sangkarnya, kitiran, dan kipas kertas.
Dolanan kitiran |
“Ini saja pekerjaan saya, gampang , bisa dikerjakan sambil momong (menemani) cucu,” tuturnya.
Dolanan yang dihasilkan Simbah Atemo tidak setiap hari laku, karena saat ini jarang anak – anak yang memainkan dolanan tradisional. Jika ada acara Sekaten, pameran, atau acara seni, barulah dagangannya laku. Penjual akan mengambil dagangannya untuk dijual kembali.
“Jadi ada orang yang ambil dagangan untuk dijual lagi. Jarang ada pembeli yang langsung ke tempat saya. Saya sudah tidak kuat kalau jualan keliling .”
Sebenarnya di Desa Pandes, Sewon, Bantul tidak hanya Mbah Atemo saja yang menjadi pengrajin, ada puluhan pengrajin dolanan anak lainnya. Untuk itu desa yang terletak lima kilometer dari pusat Kota Jogjakarta ini disebut sebagai Desa Wisata Dolanan Anak.
Simbah Atemo bercerita dolanan anak miliknya sempat menjadi mainan yang paling dicari oleh anak – anak di tahun 80 hingga awal 90an. Namun sesudah itu mainan ini seperti hilang pamornya. Baru sekitar empat tahun lalu mainan tradisional ini mulai dilirik banyak orang.
” Katanya yang main sekarang malah bukan anak-anak lagi, tapi orang tuanya…” ujar simbah sambil tertawa. Menurutnya mainan tersebut sudah menjadi barang klangenan atau barang kesukaan.
Dia menuturkan saat ini tidak hanya warga Jogja saja yang membeli , namun juga berasal dari luar kota untuk disimpan atau dijual.
Dolanan tradisional wayang kertas
yang dihasilkan Mbah Atemo |
Untuk harga, mainan ini dijual sangat murah. Untuk pembeli eceran satu mainan hanya dihargai Rp.3.000. Jika permainan membutuhkan banyak bambu maksimal dihargai Rp.5.000. Pembeli borongan atau dalam jumlah banyak simbah akan memberikan potongan harga.
“Kalau dijual lagi bisa dihargai lebih dari Rp5.000 per mainan, tapi saya tetap berusaha tidak menaikkan harga. Tidak berani,” ujar Mbah Atemo.
Jika pesanan banyak dalam sehari simbah mampu menghasilkan seratus buah mainan. Pekerjaan itu dia kerjakan sendiri. Alasannya anak atau menantunya tidak menyukai pekerjaan menjadi pengrajin dolanan tradisional.
Saat ini Mbah Atemo berharap pemerintah banyak mengadakan kegiatan atau pameran budaya, sehingga anak – anak dapat mengenal dan kembali memainkan dolanan tradisional.
“Saya inginnya ya banyak acara , banyak yang main lagi, banyak yang kenal…,” pungkasnya sambil tersenyum.
Foto : Febriana Sinta