Kartini (1879-1904) adalah perempuan, yang dengan berbagai cara kemudian melakukan perlawanan. Ia mencintai tradisi, namun ia juga melawan tradisi, ketika tradisi itu tak berpihak pada perempuan dan masyarakat kecil di lingkungan istana tempatnya tinggal, Jepara, Jawa Tengah. Dalam Edisi Khusus Kartini di bulan April 2017, Konde.co akan menuliskan Edisi Kartini selama sepekan, yaitu dari tanggal 16-22 April 2017. Sejumlah pemikiran akan kami letakkan dalam bingkai Kartini selama sepekan ini. Selamat membaca.
Konde.co-Bagaimana sebenarnya media membingkai Kartini? Apa yang dituliskan, dipotret oleh media tentang Kartini?
Kartini (1879-1904) adalah seorang perempuan intelektual muda Jawa yang luar biasa dengan pemikiran-pemikirannya melalui surat yang ia tulis kepada teman-temannya di Belanda. Surat-surat ini berisi pemikirannya mengenai sejumlah isu termasuk tradisi feodal yang menindas, tragedi pernikahan paksa dan poligami bagi perempuan yang terjadi di kalangan atas orang Jawa. Tulisan lain yang tak kalah penting adalah tulisan Kartini serta pentingnya pendidikan bagi anak perempuan.
Surat-surat Kartini mencerminkan pengalaman hidup Kartini dan saudara perempuannya mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Belanda. (Kumpulan surat – surat pribadi Kartini ini pertama kali diedit dan diterbitkan setelah tujuh tahun meninggal, yaitu pada tahun 1911).
Kartini diakui sebagai pelopor gerakan perempuan Indonesia, pahlawan pendidikan dan sebagai pahlawan nasional. Pada tahun 1964, Kartini secara resmi diakui sebagai pahlawan nasional Indonesia. Kartini selanjutnya menjadi satu-satunya pahlawan Indonesia yang memiliki hari nasional, 21 April.
Namun hingga kini, Hari Kartini selalu menjadi peringatan yang paling kompleks dan banyak dibicarakan, karena perayaan Kartini sering dilakukan justru sebagai ajang untuk menumbuhkan persaingan antar perempuan. Misalnya seperti kompetisi mirip Kartini seperti lomba kebaya. Perempuan diharuskan berpakaian kebaya Jawa, kain, dan memakai konde. Tidak hanya pakaian yang mirip dengan make-up dan gaya rambut, cara berjalan dan memegang tanganpun juga harus sama. Pemenangnya adalah kontestan yang dianggap paling anggun. Hal ini tidak hanya menumbuhkan persaingan, namun juga mendomestifikasi perempuan.
Kompleksnya perayaan Kartini lainnya juga ditemukan saat media-media cetak di Jaman Orde Baru misalnya, cenderung hanya mempublikasikan acara seremonial, pidato dan kompetisi yang sering disertai dengan foto-foto berwarna-warni yang mencolok. Banyak artikel yang hanya menceritakan rincian kisah dan surat kabar kehidupan Kartini dan menghubungkannya dengan lomba-lomba perempuan. Berita dan artikel ini cenderung menjadikan Hari Kartini hanya menjadi ritual nasional dan memaksa perempuan berpakaian kebaya. Kemudian perempuan yang paling anggunlah yang mendapatkan juara dalam kompetisi-kompetisi tersebut. Semuanya penuh dengan kompetisi-kompetisi yang mendomestifikasi perempuan.
Sementara makna nyata dari surat-surat Kartini justru hilang. Media banyak yang menuliskan tentang Kartini tanpa konteksnya di jaman sekarang. Padahal peringatan Kartini seharusnya menjadi teks bagaimana konteks saat ini. Hal ini banyak terjadi di media-media di jaman orde baru. Padahal Kartini seharusnya menjadi sebuah teks untuk melihat persoalan-persoalan perempuan seperti kekerasan yang terjadi pada perempuan, kesehatan reproduksi perempuan dan perjuangan perempuan lainnya.
Hari Kartini di Indonesia, dan penciptaan Kartini sebagai pahlawan nasional, merupakan produk dari tradisi yang berkelanjutan dengan tradisi yang ditulis oleh media cetak sehingga terjadi interaksi di antara keduanya. Media seharusnya mempunyai peran lebih kuat dalam memahami bagaimana cerita, surat-surat Kartini telah terbentuk dan lebih memberi arti bagi perempuan Indonesia saat ini. Namun media selalu menerbitkan artikel atau berita yang sama berulang-ulang setiap tahunnya.
Kemudian pertanyaannya “ Apakah aspirasi Kartini telah direalisasikan dengan itu?”.
Pakar sejarah dan politik tentang Indoensia Benedict Anderson, menyatakan media cetak merupakan faktor kunci yang memungkinkan penyebaran dan pengembangan pandangan masyarakat dalam sebuah imajinasi yang sama, untuk itu media seharusnya dapat bertindak sebagai ruang pertemuan untuk menyelaraskan pandangan.
(Diringkas dari tulisan Petra Mahy, http://intersections.anu.edu.au/issue28/mahy.htm Published with the support of Gender and Cultural Studies, School of Culture, History and Language, College of Asia and the Pacific, The Australian National University)
Foto : www.Pixabay.com