Male gaze

Kamus Feminis: Apa Itu Male Gaze? Objektifikasi Perempuan di Media untuk Penuhi Hasrat Laki-Laki

Apa itu 'male gaze'? Kamus Feminis kali ini membahas tentang 'pandangan laki-laki' di media yang membuat representasi perempuan malah menjadi objektifikasi seksual, lalu memunculkan ekspektasi tak masuk akal pada perempuan.

Konde.co menyajikan kamus feminis sebulan sekali. Kamus feminis berisi kata-kata feminis agar lebih mudah dipahami pembaca.

Bayangkan: kamu sedang menonton film yang menampilkan tokoh perempuan. Adegannya mungkin biasa saja; ia sedang berjalan di lorong atau merapikan barang. Namun sorotan kamera membuatmu sebagai penonton terfokus pada bagian tubuh si tokoh perempuan, misalnya dengan mengambil gambar zoom in ke payudara atau bokongnya. Atau, karakter perempuan tampak tak berdaya dan membangkitkan hasrat seksual laki-laki.

Situasi tersebut adalah salah satu contoh male gaze.

Istilah ini mungkin sering kita dengar saat membahas soal film. Tapi pada perkembangannya, male gaze juga muncul pada berbagai produk media lain, mulai dari karya seni hingga karya jurnalistik. Yang jelas, ketika perempuan digambarkan seolah-olah hanya hadir ‘dengan’ dan ‘untuk’ laki-laki, berarti gambaran itu datang dari konstruksi male gaze atau ‘tatapan laki-laki’.

Jadi, dari mana istilah tersebut pertama kali muncul dan seperti apa saja contohnya?

Di ‘Kamus Feminis’ kali ini, saatnya mengenali male gaze dan menyadari bahwa, jangan-jangan, lingkungan di sekitar kita masih sangat berpusat pada patriarki dengan maraknya objektifikasi perempuan di media.

Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Stereotipe Gender? Perempuan Digeneralisir dan Dibatasi Kebebasannya
Konstruksi Perempuan Berdasarkan Hasrat Patriarki

Teori ‘male gaze’ dicetuskan oleh Laura Mulvey, seorang feminis dan pakar teori film asal Inggris. Pada tahun 1973, Mulvey menggunakan konsep psikoanalisis untuk mengulik polemik feminisme dalam dinamika perfilman. Di tahun 1975 ia menulis artikel berjudul ‘Visual Pleasure and Narrative Cinema’, serta pertama kali menggunakan istilah ‘male gaze’. Artikelnya mengkritik objektifikasi perempuan dalam film dan media.

Male gaze atau ‘tatapan laki-laki’ menyoroti film dan media yang secara umum kerap memposisikan penonton, terutama laki-laki, untuk melihat dunia dari lensa patriarki. Di sisi lain, perempuan dihadirkan semata-mata sebagai objek seksual dan hiburan untuk memenuhi kepuasan visual laki-laki dan masyarakat patriarki.

Melalui tulisannya, Laura Mulvey mengkritik ketimpangan gender di industri film dan media pada umumnya. Ketidaksetaraan gender tersebut juga berkaitan dengan perbedaan kekuatan sosial dan politik antara laki-laki dan perempuan. Kekuatan sosial dapat mengendalikan representasi gender pada film, dan male gaze adalah konstruksi sosial yang diturunkan dari ideologi patriarki.

Pada bidang kajian media dan teori film feminis, konsep ini berhubungan dengan perilaku voyeurisme (melihat untuk memuaskan hasrat seksual), skopofilia (kesenangan dalam melihat), dan narsisme (kesenangan dalam menonjolkan diri).

Konsep male gaze juga membahas konstruksi sosial tentang keinginan dan pandangan seksual atas perempuan. Akibat representasi perempuan seperti demikian dalam media, munculah stereotipe yang tidak realistis terhadap perempuan. Teori ini telah menjadi titik fokus dalam analisis budaya populer dan telah mempengaruhi cara memahami representasi gender dalam media.

Tiga Perspektif Male Gaze

Teori male gaze melihat perempuan sebagai sosok ‘pasif’ dan laki-laki sebagai yang ‘aktif’ dalam film atau narasi media. Selain itu, perempuan juga menjadi objek erotik bagi aktor maupun penonton laki-laki. Menurut teori, ada tiga perspektif yang hadir dalam konstruksi representasi perempuan di media.

Perspektif yang pertama datang dari ‘the man behind the camera (laki-laki di balik kamera)’. Jadi, male gaze terjadi dari sisi pengambilan gambar atau penulisan narasi. Misalnya ketika kamera mengambil gambar payudara perempuan. Atau tulisan tentang sosok perempuan yang begitu rinci mendeskripsikan penampilan, tubuh, dan perilaku perempuan yang mengarah pada gagasan seksual.

Dari segi pengambilan gambar, perempuan diobjektifikasi dalam dua level erotisme. Yakni sebagai objek erotik bagi aktor atau tokoh laki-laki dan bagi penonton atau khalayak laki-laki. Ini berkaitan dengan dua perspektif lainnya.

Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Surrogate Mother atau Ibu Pengganti

Kemudian perspektif kedua datang dari ‘the male characters within the film’s cinematic representations (karakter laki-laki di dalam representasi sinematik film)’. Perspektif male gaze pada situasi ini terjadi dari sisi aktor laki-laki dalam film atau tokoh laki-laki dalam narasi.

Perempuan yang dikonstruksi ideal dalam film atau narasi menurut perspektif ini, adalah perempuan yang mampu menaklukkan laki-laki, terutama secara seksual. Kalau tidak, minimal perempuan dikonstruksi menarik perhatian laki-laki.

Terakhir, ada perspektif ‘the spectator gazing at the image (penonton yang menatap gambar)’. Perspektif ini berangkat dari sisi penonton atau audiens laki-laki. Representasi perempuan di media dibentuk berdasarkan keinginan atau permintaan khalayak laki-laki.

Jika khalayak menyukai perempuan yang seksi, tokoh perempuan akan ditampilkan demikian. Atau perempuan dibuat lemah tanpa keberadaan laki-laki demi memenuhi hasrat penonton laki-laki.

Dampak Male Gaze: Objektifikasi dan Ekspektasi Tak Masuk Akal Pada Perempuan

Male gaze sangat berpengaruh terhadap representasi perempuan di media. Ini juga berdampak pada ekspektasi terhadap perempuan di dunia nyata. Realitas media adalah sesuatu yang dikonstruksi. Jika dalam konstruksi media, representasi perempuan hanya sebatas menjadi objek tatapan laki-laki, orang-orang akan menganggap bahwa realitanya juga demikian.

Pandangan laki-laki cenderung memandang perempuan sebagai objek seksual atau estetika visual untuk memuaskan laki-laki. Hal ini sering kali mengurangi perempuan menjadi hanya sebuah objek yang dinilai berdasarkan penampilan fisiknya.

Representasi perempuan dalam male gaze juga cenderung menghasilkan idealisasi atau stereotipe yang tidak realistis. Perempuan sering dipresentasikan dalam gambaran yang sempurna, seksi, atau menarik secara visual. Maka masyarakat patriarki berekspektasi melihat perempuan seperti itu pula dalam kehidupan nyata.

Selain itu, male gaze kerap memberikan penekanan yang berlebihan pada penampilan fisik perempuan. Sehingga mengesampingkan aspek-aspek lain dari kehidupan dan identitas perempuan. Seperti kecerdasan, kemampuan, atau kepribadian.

Ditambah lagi, representasi perempuan seringkali terbatas pada peran-peran yang berkaitan dengan seksualitas, kecantikan, atau hubungan heteroseksual. Padahal perempuan juga punya pengalaman kehidupan sehari-hari di luar hal-hal tersebut.

Hal yang patut diwaspadai pula, male gaze dapat memperkuat struktur kekuasaan patriarki. Dalam masyarakat patriarki yang menormalkan male gaze, penempatan perempuan pada hierarki gender ada pada posisi yang lebih rendah (subordinat). 

Stop Objektifikasi Perempuan!

Sudah bukan zamannya lagi perempuan sekadar menjadi objek pemuas hasrat laki-laki di media. Pendidikan tentang konsep-konsep seperti male gaze dan bias gender dapat meningkatkan kesadaran tentang pengaruh representasi gender oleh pandangan patriarki. Pendidikan ini dapat dilakukan di sekolah, universitas, dan melalui kampanye kesadaran publik.

Tak kalah penting, pendidikan dan pengarusutamaan gender di industri media harus lebih didesak. Tim produksi atau pembuat karya media dan seni harus lebih responsif gender dan punya kesadaran akan pentingnya representasi perempuan di media.

Pelatihan berkala tentang kesadaran gender hingga penerapan SOP stop kekerasan berbasis gender di industri media dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghapus male gaze dalam produksi media.

Male gaze juga kerap terjadi di industri media yang masih sangat maskulin, patriarki, dan didominasi oleh laki-laki. Maka dari itu, perlu lebih banyak representasi perempuan sebagai produser dalam industri media dan seni. Ini dapat membantu mendorong agenda representasi yang lebih beragam dan inklusif. Selain itu, perempuan jadi punya ruang dan suara untuk mengartikulasikan pengalaman dan pandangan mereka sendiri.

Kolaborasi pun menjadi penting untuk menghapuskan bias gender dan male gaze di industri media. Kerja sama antara organisasi feminis, produsen media, aktivis, dan penulis dapat menghasilkan inisiatif bersama. Mestinya hal tersebut dapat mengubah norma-norma yang memperkuat male gaze dan mempromosikan representasi yang lebih positif dan realistis tentang gender.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!