Kurus atau Gemuk Apakah Penting?

Poedjiati Tan – www.konde.co

Beberapa hari lalu, saya melihat IG teman yang diolok-olok atau di-bully karena dia gemuk dan berfoto
dengan pose tertentu. Ada pula teman yang di-bully karena dia kurus banget. Saya jadi teringat ketika saya
anak-anak hingga dewasa seringkali di-bully
karena kondisi fisik saya. Ketika SD, saya anak yang kurus dengan tinggi badan
di atas rata-rata teman sebaya.

Saya sering kali diolok-olok baik di sekolah
ataupun di kampung. Diolok-olok dengan panggilan Jerapah, tiang listrik,
apalagi waktu SD saya menggunakan kawat gigi yang pada masa itu belum ngetrend seperti
sekarang, lengkaplah sudah saya jadi bahan olokan.

Waktu itu saya sering
dikatai untu kawat balung wesi koyok tiang listrik (gigi kawat
tulang besi seperti tiang listrik). Meskipun saya makan banyak badan saya tetap
kurus dan menjulang tinggi. Saya sering merasa malu dengan tubuh saya yang
tinggi kurus dan akhirnya saya sering berusaha memendekan badan saya dengan
cara agak membungkuk (hunch) atau orang Jawa sering menyebut sangkuk.
Perilaku itu terus terbawa hingga saya dewasa. 

Ketika saya masuk pelatnas Taekwondo, berat badan masih menjadi masalah
saya. Saya selalu kelebihan berat badan sehingga setiap kali masuk pelatnas,
harus lari menggunakan jaket parasit double dan diet hingga akhirnya jatuh
sakit. Teman saya bilang kalau saya lebih cocok menjadi peragawati daripada
menjadi atlet Taekwondo. Setelah tidak menjadi atlet, perlahan tapi pasti berat
badan saya mulai bertambah, bertambah dan bertambah hingga tak terkendali.

Saya
pernah ikut perawatan tubuh Marie France Bodyline. Dengan menghabiskan uang
jutaan rupiah, berat badan saya memang turun beberapa kilo. Dan ketika
perawatan berhenti, berat badanpun kembali naik. Berat badan saya seperti yoyo,
kadang naik kadang turun dan sepertinya lebih banyak naiknya daripada turunnya.

Kadang saya berpikir, mana yang lebih parah, diolok kurus atau gemuk?
Mungkin waktu kecil diolok kurus tidak terlalu berat buat saya daripada ketika
sudah dewasa diolok gemuk. Mungkin karena kita sudah mulai mengerti dan
pemikiran kita sudah mulai terkonstruksi.

Bayangkan tinggi badan saya 172cm dan
berat saya 80kg tentu akan terlihat seperti raksasa atau orang Jawa bilang koyok Buto meteng (seperti raksasa
hamil), karena muka saya jadi bulat dan perut saya besar. Orang sering mengira
saya hamil. Pernah ketika naik pesawat saya ditanyai sama pramugarinya. “Sedang
hamil berapa bulan bu? Soalnya harus isi form untuk ibu hamil!
 Duh!
Malunya saya, apalagi banyak didengar oleh penumpang lain. Saya dengan wajah
merah padam mengatakan saya tidak hamil cuma gemuk. Dan gantian pramugarinya
yang minta maaf.

Kejadian dikira orang hamil bukan hanya sekali. Apalagi kita tahu budaya
orang kita yang selalu suka akrab bertanya dan berasumsi. Kadang ketika duduk
dalam antrian atau berkenalan dengan orang baru, selalu ditanya, “Hamil berapa bulan mbak?” Pernah
saya iseng menjawab “Empat bulan!”
dengan maksud tidak ingin mempermalukan orang lain karena salah mengira. Tetapi
itu justru menimbulkan pertanyaan lain.

“Anak
ke berapa?
Suaminya kerja di
mana?”

Dan makin panjanglah kebohongan yang harus saya ciptakan. Sejak
itulah, saya kemudian selalu jujur mengatakan apa adanya dan disertai senyum
yang manis supaya sang penanya tidak merasa bersalah. “Saya tidak
hamil, ini cuma gemuk!
 Kadang untuk menutupi rasa bersalah, mereka lalu memberi saran gratis
bagaimana menurunkan berat badan atau minum ramuan apa agar bisa kurus.

Mereka
juga tidak bertanya apa saya mau kurus atau tidak. Apakah saya bahagia dengan
keadaan tubuh saya. Mereka berpikir, saya pasti ingin mempunyai tubuh yang
langsing. Kadang ada yang memberi saran berolahraga, “Ikut Yoga aja
bisa cepet menurunkan berat lho
!” Saya tentu hanya manggut-manggut dan
tersenyum mendengarkan sarannya tanpa berani memberi tahu kalau saya adalah
mantan atlet dan pelatih Taekwondo.

Komentar yang selalu kerap saya dengar bila bertemu teman lama  “Aduh..Ji
cek lemune kamu!”
 atau “Kamu lagi hamil tah? Anakmu
piro?”
 Atau pandangan takjub, heran dan kadang bergidik melihat
tubuh saya yang jadi melar. Sebetulnya saya jadi terbiasa dan kebal dengan itu
semua. Berat badan saya seperti yoyo yang naik turun tidak jelas, turun 2kg
lalu naik 5kg dan selalu naiknya 2x turunnya. Jadi bisa dibayangkan badan saya
yang akan menjadi lebih gemuk setelah kurus. Sekarang ini tubuh saya sedang
agak gemuk kembali.

Sebetulnya saya menguruskan berat badan bukan karena saya
terganggu mendengarkan omongan atau komentar orang dengan kegemukan saya. Tapi
saya sadar kalau usia mulai 40 rentan akan penyakit kolestrol, asam urat, dan
darah tinggi. Karena kegemukan, saya jadi sering capek bila berjalan, naik
tangga, mengepel atau melakukan pekerjaan fisik. Maka saya memutuskan
menurunkan berat badan dan mulai mengatur pola makan. Saya melakukan bukan lagi
denga terpaksa atau tertekan, tetapi saya menikmati tubuh saya, keadaan saya
dan saya tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang.

Saya jadi berpikir, orang sering berkomentar soal kegemukan saya, apakah
ini karena saya perempuan? Sehingga orang lebih memperhatikan dan tubuh menjadi
objek perhatian. Mereka menerakan standart ideal mereka kepada orang lain.
Apakah mereka ini terkena kontruksi sosial? Atau kita sudah termakan
kapitalisime. Termakan iklan tentang kecantikan dan tubuh yang ideal?

Saya
tidak tahu sudah berapa banyak obat pelangsing yang pernah saya makan? Atau
berapa banyak uang yang saya keluarkan untuk perawatan? Saya juga pernah
melakukan OCD ala Deddy Cobuzier, sampai kata teman saya OCD itu onok
camilan dimakan
. Minum segalam macam teh untuk menurunkan berat dan ramuan
herbal lainnya.

Apakah ini semua bagian dari histerisasi tubuh perempuan? Yang menurut
Foucault, tubuh perempuan dianalisis dan diintegrasikan dalam sistem medis
sebagai suatu patologi, kemudian dihubungkan secara organis dengan tubuh
sosial. Dari strategi inilah, jenis kelamin ditentukan nilai fungsionalnya
secara biologis dan sosial. Ironisnya sasaran untuk menjadi korban dari
strategis ini selalu perempuan. Sehingga perempuan yang gemuk itu dianggap
patologi dan tidak sesuai dengan standart sosial perempuan yang ideal dan
seksi. Perempuan yang terlalu gemuk atau kurus akan dianggap susah mempunyai
anak atau keturunan. Sehingga secara biologi akan susah berfungsi dengan baik
dan akan menyalahi fungsi sosialnya sebagai seorang perempuan.

Apakah tubuh perempuan ini seperti pertunjukan yang terus menerus seperti
kata Judith Butler? Gender dan seks bukanlah sebuah kondisi, melainkan adalah
pertunjukan terus-menerus yang bukan hanya membentuk keaslian jenis kelamin,
melainkan juga mematerialisasikan jenis kelamin. Seks bukanlah sebuah fakta
sederhana dan kondisi statis tubuh, melainkan proses dimana norma-norma
pengatur mematerialkan seks dan mencapai materialisasi ini melalui pengulangan
norma itu secara terus menerus dan dipaksakan.

Pengulang-ulangan ini
menunjukkan bahwa materialisasi itu tidak pernah tercapai, tubuh juga tidak
pernah berhasil benar sesuai dengan apa yang diharapkan. Kita lihat saja bagaimana
majalah mode perempuan selalu terlihat lebih cantik, lebih putih, lebih kurus,
lebih halus dan hampir tiga perempay isinya adalah iklan kecantikan untuk
perempuan. Padahal semua model yang ditampilkan itu adalah rekayasa digital
yang dipaksakan agar perempuan terlihat lebih cantik, kebih seksi dan lain
sebagainya.  

Perempuan selalu menjadi sorotan, dituntut untuk berperan, berpenampilan,
berperilaku sesuai dengan peran yang diinginkan masyarakat. Lalu kapan
perempuan bisa memutuskan tubuhku adalah milikku, mau gemuk atau kurus, mau
mempunyai anak atau tidak, mau perawan atau tidak, mau menikah atau tidak itu
adalah hakku dan aku yang memutuskan. Bukan orang lain, bukan pula negara. Jadi
kurus, gemuk atau bagaimanpun bentuk tubuh perempuan tidaklah penting.

Yang
penting adalah bagaimana perempuan dapat menerima tubuhnya, mencintai tubuhnya
tanpa takut dengan pendapat atau penilaian masyarakat. Yang penting adalah
bagaimana perempuan tumbuh dan berkembang dengan sehat, bahagia dan menjadi
dirinya sendiri. 

(foto : girlaskguys.com)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!