Catatan Hitam Buruh Perempuan merupakan catatan tahunan yang dikeluarkan oleh sejumlah organisasi seperti www.Konde.co, JALA PRT, Solidaritas Perempuan, Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Institut Perempuan, Perempuan Mahardhika, Kapal Perempuan, Kalyanamitra, Cedaw Working Group Indonesia (CWGI), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Jaringan Buruh Migran (JBM), Migrant Care setiap tahunnya menjelang hari buruh internasional atau May Day. Kami akan menuliskan hasil Catatan Hitam ini selama 4 hari, yaitu dari Minggu hari ini, 29 April-2 Mei 2017.
Luviana- www.Konde.co
Jurnalis dan pekerja kreatif adalah orang yang banyak mengalami over work atau kelebihan beban dan kelebihan jam kerja. Mereka bekerja melebihi rata-rata orang bekerja perharinya. Pekerja kreatif diduga banyak mengalami depresi karena kelebihan kerja ini.
Banyak perempuan pekerja kreatif namun tidak terlindungi oleh sistem tenaga kerja. Banyaknya perempuan yang bekerja secara online juga tidak mendapatkan perlindungan ini. Jurnalis yang bekerja secara online maupun kontributor/ koresponden adalah orang yang bekerja tanpa perlindungan. Terlebih, banyak pekerja kreatif dan jurnalis di masa kini yang cenderung bekerja secara informal tanpa tempat kerja yang jelas.
Data Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) memaparkan soal jam kerja yang panjang, lembur tanpa kompensasi, minimnya perlindungan kesehatan, tingkat stress tinggi, dan ancaman kekerasan menjadi gambaran rentannya para pekerja kreatif dalam kesehariannya. Lembaga pemerhati K3 Local Initiative for OSH Network (LION) menganggap pemerintah gagap dalam melindungi para pekerja kreatif. Ini karena banyak pekerja kreatif cenderung berada di ranah informal. SINDIKASI menyerukan agar ada kerjasama antara berbagai sektor pekerja kreatif untuk menyusun standar-standar kerja yang lebih manusiawi.
Hal lain, kekerasan terhadap jurnalis perempuan juga menjadi catatan hitam bagi buruh perempuan yang terjadi di pertengan tahun 2016. Pengusiran terhadap jurnalis perempuan dari Rappler.com, Febriana Firdaus yang terjadi pada Kamis 2 Juni 2016 dilakukan saat Febriana sedang meliput Simposium Nasional Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain di Balai Kartini, Jakarta. Pengusiran yang dilakukan oleh beberapa orang beratribut Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Bela Negara dinilai oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta tidak bisa ditoleransi karena telah mengancam kebebasan pers dan nilai-nilai demokrasi. Padahal kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Pekerja Lesbian, Biseksual dan Transgender (LBT)
Sampai dengan tahun ini banyak transgender perempuan atau waria yang tidak dapat bekerja di sektor formal seperti institusi pemerintahan dan sektor formal lain. Dan jika mereka bekerja di sector informalpun, gaji mereka berada di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Data Arus Pelangi menyatakan bahwa 60% buruh Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) mendapatkan gaji di bawah UMR.
Sanggar SWARA Muda sebuah organisasi waria muda di Jakarta mendampingi 300 lebih waria muda di Jakarta dan mencatat 55% dari mereka bekerja sebagai pekerja seks, 27% nya sebagai pengamen, 10% bekerja di salon rumahan, 11% dari mereka bekerja sebagai karyawan dan sisanya sebagai karyawan lepas seperti make up dan penghibur di klub malam.
Pengamatan yang kami lakukan menunjukkan bahwa banyak diskriminasi yang dialami oleh kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Hal yang sama juga terjadi pada laki-laki priawan.
Tuntutan Komite Aksi Perempuan (KAP):
Atas sejumlah catatan hitam yang menimpa para buruh perempuan di Indonesia, maka Komite Aksi Perempuan (KAP) menyatakan sikap sebagai berikut:
1.Menuntut pemerintah melaksanakan kebijakan dengan standar Hak Asasi Manusia (HAM) bagi perempuan buruh, karena selama ini pemerintah terbukti memudahkan investasi dan usaha yang berakibat pada peminggiran kesejahteraan ibu dan para buruh perempuan di Indonesia.
2. Menuntut pemerintah menyelesaikan persoalan perempuan buruh di Indonesia secara fundamental dengan menggunakan gagasan kritis dan terintegrasi dengan standar Hak Asasi Manusia perempuan seperti The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), dengan tidak melakukan kekerasan dan diskriminasi pada para buruh perempuan Indonesia. Serta memastikan tidak ada lagi prasyarat kerja yang melanggar hak dan mendiskriminasi pekerja perempuan dalam sektor industri bahkan lembaga-lembaga pemerintahan.
3. Menuntut kepada pemerintah untuk meratifikasi konvensi International Labour Organisation (ILO) No.183 tahun 2000 yang menjelaskan standar komprehensif perlindungan hak maternitas, memastikan adanya keputusan bersama tentang perlindungan maternitas diantara 3 kementerian yaitu Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Kesehatan
4. Mendesak DPR dan pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan melakukan pembahasan sekaligus pengesahan RUU PPRT. Dan menciptakan perlindungan yang komprehensif bagi perempuan buruh migran melalui Revisi UU No. 39 tahun 2004 dengan mengacu pada Konvensi Migran 90, dan CEDAW, Ratifikasi Konvensi ILO No. 189, serta menghapuskan diskriminasi terhadap Pekerja Rumah Tangga Migran dengan mencabut Roadmap Zero Domestik Workers.
Foto : www.pixabay.com