Disabilitas, Sulitnya Pulang ke Kampung Halaman

Luviana – www.Konde.co

Jakarta, Konde.co – Apakah anda, keluarga anda kesulitan dalam pulang ke kampung halaman ketika lebaran tiba? Banyak orang mengalaminya, Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang tak cukup punya uang untuk pulang karena tak diberikan THR majikan atau pemberi kerja, buruh yang tak diberikan THR oleh perusahaan, dan juga kelompok disabilitas atau penyandang cacat yang tak bisa pulang karena minimnya akses.

Selama ini banyak penyandang disabilitas yang tak bisa mudik. Macam-macam penyebabnya: arus lalu lintas yang tak ramah bagi disabilitas, transportasi yang kurang bersahabat. Hal ini mengakibatkan para disabilitas sulit dalam mengakses mudik ke kampung halaman mereka. Hal ini sudah terjadi bertahun-tahun lamanya.

Mudik Ramah Anak dan Disabilitas (MRAD) adalah sebuah advokasi yang dilakukan masyarakat sipil agar memberikan ruang bagi disabilitas untuk bisa mudik.

Dalam mudik kali ini, seperti yang dirilis oleh MRAD, didapati adanya fasilitas fisik maupun non-fisik yang tidak ramah disabilitas di Rest Area KM 19, Bekasi, Jawa Barat. Ini terjadi saat mereka beristirahat siang di tengah kemacetan perjalanan dari Wisma Mandiri, MH Thamrin, Jakarta Pusat menuju kampung mereka masing-masing.

Hal tersebut dialami penyandang disabilitas dengan kursi roda Rubini (35), peserta MRAD 2017 yang pulang ke Kebumen (23/6/2017) kemarin. Menurut perempuan yang tahun lalu sudah mengikuti MRAD 2016, situasi fasilitas Rest Area masih tidak ramah bagi disabilitas, dikarenakan untuk bisa ke toilet dan tempat makan harus naik undakan yang tinggi.

“Tangganya tinggi, kondisi WC juga sempit dan tidak ada pegangan buat kami. Jadi harus ada orang lain yang mendampingi untuk mengangkat dan bisa menggunakan toilet dengan nyaman,” sesal Rubini.

Masjid tidak Ramah Disabilitas

Masih di lokasi yang sama, untuk sampai ke masjid demi melaksanakan ibadah salat Jumat, para peserta mudik disabilitas pemakai kursi roda yang laki-laki harus menempuh tanjakan (ramp) yang cukup tinggi, curam. Sedangkan untuk memasuki masjid harus menaiki tangga (trap) sebanyak 20 undakan.

“Tangga sangat curam. Untuk bisa naik, selain sangat tinggi, ruang tangganya kurang luas, terlalu sempit,” ungkap Sigit Catur Nugroho (35), salah satu peserta MRAD dengan kursi roda yang mudik ke Kebumen, Jawa Tengah.

Dalam pernyataan pers yang dirilis MRAD, Sigit mengisahkan, tahun lalu dirinya sudah menyampaikan ke petugas jaga di masjid agar tempat berwudu dan desain bangunan masjid mudah diakses teman-teman disabilitas. Sehingga, para penyandang disabilitas tidak harus melibatkan banyak orang untuk mengangkat mereka agar bisa beribadah di dalam masjid rest area KM 19.

Penggagas Jakarta Barriers Free Tourism (JBFT) Trian Gembira menambahkan betapa masjid tersebut sulit diakses penyandang disabilitas untuk salat Jumat, karena menggunakan speaker dalam. Buat Trian yang tuna netra, suara speaker susah didengar, bahkan oleh yang pendengarannya tidak lemah sekalipun.

“Untuk menuju masjid tidak ada guiding block buat tuna netra. Begitupun petunjuk ke arah masjid yang tidak ada, menyulitkan bagi kami mencari tempat ibadah,” ujar Trian.

Dengan situasi tersebut, Watini (32) pemudik MRAD 2017 yang pulang ke Purbalingga sangat berharap pemerintah untuk serius memberi perhatian untuk memenuhi hak-hak disabilitas, termasuk ketika mereka mudik.

“Masih banyak rest area yang tidak aksesibel buat kami. Termasuk di KM. 19 ini. Untuk ke tempat-tempat makan maupun kamar mandi masih sulit seperti juga tahun lalu. Harus ada yang angkat-angkat dan mendampingi untuk ke dalam kamar mandi maupun fasilitas publik lainnya,” tutur Watini yang menggunakan kursi roda.

Ia pun meminta pemerintah segera berbenah menyediakan fasilitas-fasilitas di rest area yang mudah diakses penyandang disabilitas, terutama yang menggunakan kursi roda, misalnya penyediaan WC khusus disabilitas yang diberikan tanda khusus.

Disabilitas Banyak yang tidak bisa Mudik


Para peserta MRAD 2017 menyayangkan masih banyak rekan-rekannya disabilitas dengan kursi roda yang tidak bisa mudik bertahun-tahun ke kampung halamannya. Kondisi itu salah satunya menimpa Muhammad Subhan yang ingin mudik ke Bangka Belitung. Jujur Saragih yang juga disabilitas dengan kursi roda tidak bisa mudik ke Medan.

“Yang terdata di Jakarta saja 40 penyandang disabilitas dengan kursi roda yang tidak bisa mudik,” kata inisiator MRAD, Ilma Sovri Yanti menjelaskan kondisi kesetaraan dan pemenuhan hak-hak disabilitas yang masih jauh dari harapan.

Artinya, sambung Ilma, banyak lagi disabilitas yang tidak terdata dan berada di kota-kota besar lainnya yang kesulitan atau tidak bisa mudik yang tidak bisa kami pantau. Sementara itu, MRAD 2017 pun baru mampu mendorong pihak swasta menyediakan dua mobil akses untuk disabilitas dengan kursi roda. Daya tampung kedua mobil akses itu maksimal hanya 10 orang.

Ilma Sofri Yanti yang juga aktivis Satgas Perlindungan Anak ini merasa bingung dengan banyaknya penyandang disabilitas yang mengadu kepadanya karena tidak tahu bagaimana mereka bisa mendapatkan informasi cara mengakses satu gerbong kereta yang katanya dijanjikan Kementerian Perhubungan untuk disabilitas.

“Kapan berangkat, berapa harga dan di mana tiket bisa didapat, jurusan serta di stasiun manakah gerbong kereta api itu bisa diakses, tidak jelas informasinya,” pungkas Ilma.

MRAD 2017 ini merupakan inisiatif organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Satgas Perlindungan Anak, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Jakarta Barriers Free Tourism (JBFT), GP Ansor, Dokter Bhinneka Tunggal Ika (DBTI), Gerakan Kebhinnekaan Indonesia (GKI) dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang didukung oleh Bank Syariah Mandiri dan Kemensos RI.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!