Kisah Para Perempuan

*Kustiah- www.Konde.co

Kisah 1:

Sebuah pesan muncul di Whatsapp tetangga yang hendak kukunjungi mengabarkan kalau dia sedang di kantor. Baru ngeh kalau hari itu hari kerja. Rupanya menjadi ibu dua anak sudah membuatku pikun.

Dan pesan lain dari seorang teman di Jakarta memintaku menemuinya.

Tak berpikir panjang, kuiyakan ajakannya dan kami pun melaju dengan ojek online menuju tempat kerjanya di kawasan Cempaka Putih, Jakarta.

Kami akhirnya bertemu di mall dan teman mengajakku makan siang di rumah makan siap saji.

Seminggu lalu aku sudah menemuinya. Waktu itu ia bercerita tentang kehidupannya yang sudah lama berantakan. Hidup bersama suaminya selama 14 tahun berakhir menyakitkan. Suaminya meninggalkannya saat ia tinggal sementara waktu di rumah saudaranga untuk menenangkan diri. Semua barang miliknya yang ia beli dari jerih payahnya yang ada di rumah kontrakannya dibawa pergi suaminya.

“Aku nggak marah. Kuikhlaskan dia membawa semua barang milikku,” ujarnya.

Yang membuatnya marah, katanya,suaminya sering menganiaya dan mengatainya secara kasar, “Perempuan setan. Perempuan macam apa yang nggak bisa memberi anak”.

Kulihat kali ini ia kuat. Tak seperti 4 tahun lalu yang kudengar di ujung telepon suaranya menangis tergugu dan parau saat bercerita. Kini kulihat dia sangat kuat.

“Aku sudah mengajukan gugatan cerai. kami sudah duduk di meja mediasi. Dan keputusanku tidak berubah. Aku ingin berpisah”.

Temanku ini bercerita, saat dimediasi suaminya meminta modal usaha pinjaman dari ibunya dikembalikan. Padahal, masih kata temanku, selama 14 tahun suaminya hanya tidur, makan, keluar malam, dan pergi sesukanya. tidak pernah bekerja.

“Bagaimana mungkin dia minta modal usaha itu kembali sementara aku menafkahinya selama 14 tahun”.

Aku mendengarkan ceritanya dengan saksama. 

Siang itu setelah aku menemaninya, hanya menjadi pendengarnya yang baik. Kami lantas bertukar pendapat dan berjanji bertemu di hari yang kami akan tentukan.

Kisah 2:
Di suatu hari dengan kisah yang tak beda.

Sore itu gerimis. Aku berbalas pesan dengan seorang teman yang ada di suatu pulau di luar Jawa. Inti dari pesan itu, ia mengatakan bahwa anak perempuannya akan ia titipkan di rumahku.

“Anakku tidak ingin ibunya menderita. tapi juga tidak ingin melihat ayahnya marah terus membabi buta”.

Lalu motorku melaju bersama seorang kenalan yang rencananya akan kumintai bantuan untuk membawa barang-barang dan mobil temanku.

Gerimis belum juga reda saat kami tiba di rumah temanku. Kulihat anak perempuan temanku masih mengenakan rok abu-abu. Anak 17 tahun itu sibuk mengemas barang-barang ibunya. Baju, sepatu ia susun di sebuah tas dengan rapi. Sesekali kulihat ia menghela napas. Menggerutu karena barang ibunya rusak setelah dibanting bapaknya.

“Ini belinya pakai uang, Bapak. Mengapa bapak setega ini sama ibu,” kata anak perempuan temanku.

Kulihat air mukanya bertambah sedih. Tapi tak ada air mata. Dan dia terus berkemas seraya berkata bahwa aku harus buru-buru pergi sebelum bapaknya pulang. Sudah dua hari bapaknya tidak pulang. Anak perempuannya di rumah sendiri dengan kekalutan dan ketakutan.

“Bapak mana berpikir tentang anak perempuannya yang sering ditinggal sendiri ini tante? Anak satu-satunya, seorang perempuan, masih gadis, sendirian yang bisa sewaktu waktu rumahnya dibobol orang jahat lalu diperkosa.”

Suaranya sedikit meninggi setengah bergetar. Lalu kami berpamitan. Kupeluk tubuh bongsornya, kukatakan supaya dia tetap kuat. Karena ibunya selalu membutuhkannya. Kurayu supaya dia ikut serta denganku, menginap di rumahku.

Jauh di lubuk hatiku aku mengkhawatirkannya. dengan emosinya yang menghadapi pertengkaran kedua orangtuanya aku mengkhawatirkannya jika terjadi apa-apa.

Belum usai kupeluk tubuhnnya, tangisnnya pecah. Kami bersedu sedan dalam pelukan sampai akhirnya ia melepaskanku dan memintaku segera meninggalkannya karena bapaknya tak lama lagi akan pulang.

“Aku kuat tante. jangan khawatirkan aku. Nanti kukabari tante terus tentang kondisiku,” ucapnya.

Kami berpisah dengan tangis sesenggukan. Dan aku meninggalkannya dengan gerimis yang masih mengguyurku. Lalu perpisahan kedua orang tuanya tetap  terjadi. Perselingkuhan suami temanku yang kesekian kali membuat tembok kesabarannya runtuh. Kebohongan demi kebohongan suaminya mmnbuatnya berkeputusan bulat untuk bercerai.

Apalagi kali ini seorang selingkuhannya adalah teman dekatnya sendiri.

Dan…

Cerita tentang kepedihan yang teman-temanku hadapi tak berhenti di situ. Seperti menjalar, kepedihan itu kurasakan dekat dengan nadiku.

Banyak perempuan yang dicampakkan, berilah mereka kekuatan untuk membesarkan baik anak-anak maupun kehidupannyanya  sendiri..

*Kustiah, mantan Jurnalis Detik.com, saat ini pengelola www.Konde.co dan menjadi pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!