Kamu Perempuan 30 Tahun? Siap-siap Kena Stigma dan Diskriminasi Usia

Mommy Jio, seorang perempuan berusia 38 tahun, menemukan tantangan besar dalam mencari pekerjaan setelah menghentikan karier selama 8 tahun. Kembali bekerja sebagai seorang ibu di usia yang tidak muda membuktikan sulitnya mengatasi ageisme dalam dunia kerja.

Pernahkah kamu mendengar cerita seorang perempuan yang ingin kembali bekerja namun terkendala oleh tuntutan mengurus anak di rumah? Jawaban seperti “Sabar aja, nanti kalau anakmu sudah bisa ditinggal, baru kembali kerja lagi”. Hal ini, sering kali menjadi hiburan yang tidak membantu. 

Namun, kenyataannya ketika mereka siap kembali bekerja, usia ibu tidak lagi muda, dan mencari lowongan pekerjaan menjadi sulit. Umumnya, persyaratan pekerjaan lebih memprioritaskan calon karyawan yang berusia di bawah 30 tahun. Kondisi ini menyebabkan para perempuan dengan usia 35 tahun atau lebih sulit mendapatkan akses yang sama. Ini dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi dan pengalaman mereka.

Menemukan Jalan Kembali: Pengalaman Mommy Jio

Salah seorang Ibu yang kembali bekerja yang sempat Konde.co wawancarai adalah Mommy Jio.

Perempuan berusia 38 tahun yang menghentikan karier sejak ia melahirkan pada tahun 2015. Setelah menganggur selama 8 tahun, ia akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan stationery di Batam. Mommy Jio mengungkap bahwa sebelumnya ia menjabat sebagai supervisor di perusahaan stationery yang berbeda pada tahun 2015. Saat ini, ia juga mengemban peran supervisor. Namun, Ia juga menangani tugas-tugas teknis lainnya.

Baca Juga: Kalimat yang Menyesatkan: Bapak Bekerja di Kantor dan Ibu Memasak di Rumah

Hal yang membuat Mommy Jio ingin kembali bekerja salah satunya adalah ia beranggapan bahwa bekerja akan membuatnya lebih aktif dan tidak cepat pikun. Selain itu kebutuhan ekonomi keluarga juga akan terbantu. 

“Karena penghasilan satu pintu itu ngga cukup apalagi anak udah sekolah, biaya sekolah di Batam itu besar,” ujar Mommy Jio.

Mommy Jio juga menginginkan suasana yang baru seperti menambah teman dan bertemu pelanggan. Sebelum dia bekerja, Mommy Jio lebih banyak menghabiskan sebagian besar waktunya dengan anaknya di rumah.

Tantangan Mencari Pekerjaan di Usia Tidak Muda

Dalam mencari pekerjaan di usia yang dianggap tidak lagi muda, apalagi sudah menikah, Mommy Jio mengatakan bahwa tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan

“Bisa dibilang susah juga sih apalagi after covid case ini banyak pengurangan bahkan perusahaan banyak yang tutup. Nah sekarang ini yang dicari kebanyakan Fresh Graduate atau untuk yang menjabat SPV atau manajer dicari yang jam kerjanya udah expert,” tambahnya.

Sebelum diterima dan bekerja di perusahaan stationery saat ini, Mommy Jio juga sempat diterima di sebuah perusahaan 

“Sempat lamar di perusahaan pipa, keterima juga jadi SPV dengan gaji yang wow, tapi berhubung jam kerja nya shift jam 00:00 – 08:00 pagi jadi suami agak berat.”

Beruntung bagi Mommy Jio yang kembali bisa bekerja, karena rekomendasi salah seorang teman lama 

“Ini perusahaan baru buka, jadi bosku yang sekarang ini berteman baik dengan temanku dulu yang di kantor lama tahun 2015 dulu. Nah, awalnya bosku ini nanyain ke temenku. Apa ada kenalan yang punya pengalaman di stationery? Terus temenku ini ngehubungin aku apakah aku masih mau kerja? Jadi istilahnya aku ngga melamar tapi direkomendasiin kali ya?.”

Ageisme dan Stigma Terhadap Ibu yang Kembali Bekerja

Banyak perempuan yang telah mengorbankan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak-anak mereka selama bertahun-tahun. Namun, ketika mereka ingin kembali bekerja dan mengembangkan karier, mereka sering dihadapkan pada stigma dan diskriminasi berdasarkan usia yang dikenal dengan istilah ageisme. 

Prasangka terhadap orang dengan usia 30-an seringkali membuat ibu-ibu dianggap kurang produktif. Juga kurang adaptif terhadap perubahan, atau memiliki kebutuhan yang lebih tinggi karena memiliki tanggung jawab keluarga.

Mengenai adaptasi, Mommy Jio yang bekerja kembali setelah 8 tahun tidak mengikuti sistem terbaru seperti  aplikasi pesanan, stock opname, kasir dan marketing, Mommy Jio mengatakan ia bisa beradaptasi dengan sistem di tempat kerjanya sekarang 

“Perubahan ngga banyak sih hanya sistem orderan dari sekolah dan perusahaan aja yang beda sekarang, kalo dulu kan dari sekolah bisa belanja langsung ke toko, nah kalo sekarang ngga bisa, mereka harus order lewat aplikasi UMKM dari pemerintah gitu. Kalau adaptasi lumayan cepat sih karena temen disini baik-baik dan mau bekerjasama.”

Otomatis setelah Mommy Jio bekerja, waktu yang ia biasa habiskan bersama anak menjadi berubah.

Baca Juga: Praktik Seksisme di Sekitar Kita, Ini Bom Waktu Yang Siap Meledak 

“Untuk Jio di rumah ada mertuaku yang bantu jaga. Untuk antar dan jemput tetap aku dan suami ganti-gantian.”

Mommy Jio mengatakan, untuk perusahaannya sekarang, usia dan status berkeluarga tidaklah terlalu dipermasalahkan 

“Saat aku wawancara, masalah umur dan keluarga sih ngga dipermasalahkan. Selama aku enjoy ngga masalah kata bosku.” 

Bahkan stigma bahwa ibu yang kembali bekerja kurang produktif tidak terbukti, Mommy Jio mengatakan tidak masalah saat diminta lembur.

Banyak perempuan yang telah mengorbankan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak-anak mereka selama bertahun-tahun. Setelah mereka merasa siap untuk kembali bekerja dan mengembangkan karier, mereka sering kali dihadapkan pada kendala-kendala yang sulit diatasi. 

Salah satu kendala utama adalah stigma dan diskriminasi berdasarkan usia yang dikenal dengan istilah ageisme. Prasangka terhadap orang dengan usia 30an seringkali membuat ibu-ibu ini dianggap kurang produktif, kurang adaptif terhadap perubahan, atau dianggap memiliki kebutuhan yang lebih tinggi karena memiliki tanggung jawab keluarga.

Upaya Mengatasi Ageisme

Di Indonesia, masih terdapat kendala dan hambatan yang signifikan terkait ageisme dalam rekrutmen pekerjaan. 

Banyak perusahaan lebih memilih karyawan yang lebih muda dengan asumsi bahwa mereka lebih mudah diatur, lebih mudah beradaptasi dengan perubahan, atau memiliki tingkat energi yang lebih tinggi, dan bisa digaji murah. 

Hal ini seringkali mengabaikan potensi, pengalaman, dan kompetensi yang dimiliki para perempuan yang sudah memiliki pengalaman mengurus anak dan memiliki keterampilan yang berharga.

Mungkin bisa mengambil contoh dari Australia yang memiliki The Age Discrimination Act 2004 (ADA) atau Undang-Undang Diskriminasi Berdasarkan Usia 2004 yang melarang diskriminasi dalam hubungan kerja berdasarkan usia. Undang-undang ini berlaku untuk pekerja muda maupun pekerja yang lebih tua.

Selain itu, ADA menjadikan tindakan pelecehan atau penindasan terhadap seseorang karena usianya sebagai perbuatan yang melanggar hukum.

Undang-Undang ini membuat diskriminasi berdasarkan usia menjadi ilegal dalam iklan lowongan pekerjaan; selama proses rekrutmen dan seleksi; dalam pengambilan keputusan tentang peluang pelatihan, mutasi, dan promosi; serta dalam syarat, kondisi, dan pengakhiran hubungan kerja.

Stereotip tentang orang muda dan pekerja dewasa dapat sangat mempengaruhi keputusan yang diambil selama rekrutmen dan di tempat kerja.

Contoh-contoh diskriminasi berdasarkan usia yang dilarang meliputi:

 1.      Tidak mempekerjakan seseorang karena mereka dianggap tidak akan ‘cocok’ dengan karyawan lain karena usia mereka.

2.     Tidak mempekerjakan pekerja muda karena asumsi bahwa mereka akan segera pindah ke pekerjaan lain.

3.     Mengiklankan posisi untuk seseorang yang berusia ‘di bawah 30 tahun’ untuk bergabung dengan ‘tim yang dinamis dan muda’.

4.     Mengambil keputusan terkait pemutusan hubungan kerja atau memaksa seseorang untuk pensiun karena usianya.

5.     Mengejek atau membully seseorang karena usianya.

Selain Australia, negara-negara lain seperti Norwegia, Islandia, dan Finlandia juga memberikan perhatian serius terhadap isu kesetaraan gender dalam dunia kerja. Mereka telah mengadopsi kebijakan inklusif yang melindungi hak-hak pekerja perempuan dan mendorong partisipasi mereka dalam tenaga kerja. 

Selain itu, mereka juga memberikan dukungan yang luas dalam bentuk program pelatihan, jaringan, dan pemagangan untuk ibu yang ingin kembali bekerja setelah mengurus anak. Dengan memberikan kesempatan yang setara bagi semua individu yang memiliki kualifikasi yang tepat, perusahaan akan mendapatkan keuntungan dalam hal keberagaman, kreativitas, dan produktivitas.

Baca Juga: Konferensi Perempuan Pekerja 2023 Merespon Situasi Krisis Perempuan

Semoga pemerintah Indonesia juga dapat mengambil langkah-langkah yang konkret dalam mendorong inklusi dan kesetaraan dalam dunia kerja.

Keberagaman dalam tenaga kerja telah terbukti memberikan berbagai keuntungan bagi perusahaan. Dengan mempekerjakan individu dari latar belakang yang beragam, termasuk ibu-ibu yang kembali bekerja setelah mengurus anak, perusahaan dapat menghadirkan perspektif-perspektif yang berbeda, ide-ide inovatif, dan solusi kreatif dalam menghadapi tantangan bisnis.

Para perempuan yang telah menjalani peran sebagai pengasuh anak biasanya memiliki keterampilan multitasking yang sangat baik. 

Mereka mampu mengatur waktu, mengambil keputusan dengan cepat, dan menghadapi situasi yang kompleks dengan efisiensi. Kemampuan ini sangat berharga dalam dunia bisnis yang serba cepat dan dinamis.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!