Rahim dan Revolusi Meja Makan (1)

*Siti Maimunah- www.konde.co

Tulisan ini adalah bagian pertama dari rangkaian tulisan hasil renungan interaksi dengan peserta di Jambore Perempuan
Pejuang Tanah Air di Pesantren Ath-Thaariq, Garut, Jawa Barat, 14-16 Juli 2017. Peserta jambore sekitar 165 perempuan dan
laki-laki

Berawal dari percakapan tentang cara bagaimana seorang
ibu melahirkan, lalu  menyadari
pegaruh  pangan pada dirinya hingga ia
mendeklarasikan perlunya revolusi meja makan.

“Anak ketiga saya dilahirkan dengan cara yang sulit, berdarah-darah.
Saat melahirkan Ceuceu, sulit sekali, hampir meninggal, dia akhirnya harus
sebulan tinggal di rumah sakit setelah dilahirkan. Dokter bilang dinding rahim
saya menebal sehingga tidak mudah proses bukaan mulut rahim, dari pertama, ke
bukaan kedua dan seterusnya”, cerita pembuka Nissa Wargadipura – pimpinan
pesantren Ath-Thaariq saat diskusi publik bertema Revolusi Meja Makan.

Nissa meyakini penebalan rahim itu ada hubungannya dengan makanan yang
dia konsumsi. Nissa tak sendiri. Makin lama makin banyak perempuan yang
mengalami kesulitan saat melahirkan, tak semudah dulu. Juga makin banyak lahir
bayi  yang  lemah sehingga harus tinggal di rumah sakit
beberapa waktu setelah dilahirkan. Sayangnya dunia medis juga menjadi lebih
instan menyediakan jawaban bagi problem seperti Nissa: operasi sesar.  Dulu operasi sesar itu sesuatu yang luar
biasa, jarang. Kini banyak teman-teman saya melahirkan dengan cara operasi.
Melahirkan dengan cara normal kini sesuatu yang langka.

Perubahan dalam tubuh perempuan, termasuk rahim salah satunya karena
pola konsumsi. Makanan yang dimasukkan ke tubuh kita banyak yang tidak kita
ketahui asal usulnya, kebanyakan berbentuk instan – tinggal beli dan makan, biasanya
sejenis – kebanyakan mengandung  beras, terigu
dan minyak sawit serta mengandung bahan kimia pabrik.

Beras yang subur oleh pupuk kimia dan siraman pestisida. Anak anak kita
minum minuman warna warni dengan pewarna dan pengawet kimia. Kita goreng semua
makanan kita dengan minyak sawit yang tumbuhnya ditopang pupuk dan pestisida
kimia. Belum lagi pakaian yang kita pakai juga dicuci dengan deterjen berbahan
kimia, ditambah pengharum dan pelicin bahan kimia juga. deodoran kita pun penuh
bahan kimia. Tinggal beli di Indomart 
atau Alfamart, dioleskan, mudah dan cepat.

Makanan kini bisa didapat lebih cepat lagi, tinggal pencet hape, panggil
go-food, makanan instan apapun bisa kita dapat, langsung tersaji. Bahkan,
tanpa  harus keluar rumah.  Semuanya yang kita pakai, kita makan, makin
cepat makin instan, makin pendek waktunya. Saking begitu pendek, membuat kita
bahkan tak punya waktu bercakap cakap dengan tubuh kita. Kita tak sempat
bertanya asupan apa yang dia butuhkan, apa yang dia tak suka. Kita hidup, tapi
tubuh kita sendiri kita perlakukan seperti benda mati. Semua kita masukkan,
tanpa bertanya padanya.

Siti Maimunah, Nissa Wargadipura dan Gunarti di Jambore

Saya jadi ingat mas Didik Raharyono, yang mengajarkan”, jika sakit
ajak bagian tubuh kita yang sakit bercakap cakap mbak. Insya Allah berkurang
dan sembuh”, ujarnya. Saya belum pernah mempraktekkan ajarannya. Saya merasa
diingatkan lagi tentang itu oleh cerita mbak Gunarti, sedulur sikep  yag hadir di Jambore. “Sebelum berangkat
ke Jerman untuk tolak semen, saya bilang pada perut saya. Kamu baik baik ya
nanti di sana, makannya gak makan nasi, makan roti, kamu baik baik ya. Ternyata
perut saya aman sampai pulang ke Indonesia”, ujarnya. Saya jadi ingat juga
tentang buku Vagina Monologue-nya Eve
Ensler, yang membuat saya bingung setelah membacanya dulu, bagaimana cara
bercakap cakap dengan vagina sendiri?

Saya yakin cara melawan yang serba instan ini salah satunya menyediakan
waktu untuk mengajak tubuh kita bercakap cakap.

Tapi ternyata semua hal yang instan ini tak hanya tentang tubuh. Bayangkan,
tubuh kita saja jarang atau bahkan belum pernah kita ajak bercakap, apalagi
tubuh alam. Alam lingkungan sekitar kita, 
yang tak pernah kita sapa, menyapa air, mengajak bercakap tanaman, angin
dan lainnya. Saat Jambore Perempuan pejuang Tanah air 2017, lewat tembangnya
mbak Gun  mengingatkan kita tentang alam
yang punya hidup.

do eling bumi duwe urip

kayu watu banyu duwe urip

kuwoso mlaku lan timindak

ngelengno manungso kang sok
kuwoso

eling kudu do eling

kabeh mung sak dermo

kabeh duwe mongso

(ingatlah bahwa bumi itu hidup

kayu batu air punya hidup

kuasa berjalan dan bertindak

mengingatkan manusia yang sok kuasa

ingat harus diingat

semua hanya sementara

semua punya waktunya)

Gunarti

Tembang Gunarti mengingatkan alam itu hidup, dia punya hak hidup. Tapi
kita, tidak memperlakukannya begitu. Kita tak memperlakukan air sebagai benda
hidup, itulah sebabnya kita tak peduli dengan banyaknya sampah yang kita
hasilkan dan buang ke air. 



Kita merasa baik baik saja membeli makanan yang
dibungkus styrofoam, yang sampahnya
tak bisa diurai tanah hingga 100 tahun. Kita tak keberatan menambah kantong
plastik saat belanja dan belanja. Semua sampah 
mengandung bahan kimia pabrik itu kita buang ke  ke sungai, ke laut, ke dalam tanah, dibiarkan
meracuni alam. Kita memisahkan atau memutus 
diri kita dengan sampah yang kita hasilkan dan memaksa alam untuk
menampungnya, mencernanya.

Hak hidup alam ini
bukan hanya semata isu Gunarti atau orang Kendeng. Tuntutan pengakuan hak hidup
alam itu  merupakan tuntutan global.
Pada April 2010
digelar ‘World People’s Conference on Climate Change and the Rights of Mother
Earth’ atau Konferensi Rakyat Dunia tentang Perubahan Iklim dan Hak-hak Ibu
Bumi di Bolivia yang menyebutkan, ”Hak setiap ’makhluk’, Ibu Bumi termasuk di
dalamnya sebagai ’living being’ yang kini dibatasi oleh hak-hak dari ’makhluk’
lain. Deklarasi ini juga menegaskan setiap konflik yang terjadi harus
diselesaikan dengan bertujuan mempertahankan integritas, keseimbangan,
kesehatan Ibu Bumi.

Sayangnya yang mendominasi saat ini, justru alam kita perlakukan dengan
dua cara, sebagai komoditas dagang dan sebagai penampung sampah. Keduanya
dilakukan dengan sama brutalnya, bukan lagi dalam skala orang perorang, tapi
skala kolektif dan terpimpin, dipimpin oleh pengurus negara – Pemerintah. Konsesi-konsesi
skala besar diberikan kepada segelintir orang untuk  mengubah hutan dan lahan-lahan produktif
dengan skala cepat menjadi pertambangan skala besar, perkebunan sawit skala
besar, hutan monokultur bahan pembuat bubur kertas dan seterusnya.



JATAM mencatat sekitar 34 persen daratan Indonesia telah
diberikan konsesinya kepada lebih 11 ribu perusahaan tambang (2013). Sekitar 67%  dari 39
juta area pertambangan ada di kawasan hutan, dan 6,3 juta ha diantaranya dalam
kawasan hutan lindung & konservasi. Sementara
Sawit Watch (2014) menyatakan luas perkebunan sawit Indonesia telah
mencapai hampir 13, 3 juta hektar. Akibatnya terjadi alih fungsi lahan
besar-besaran, khususnya lahan hutan dan meningkatkan angka penggundulan hutan.
Bahkan sejak 15 tahun lalu
 Indonesia sudah dinobatkan
memiliki deforestasi tertinggi di dunia.

(bersambung)

*) Siti Maimunah merupakan salah satu inisiator Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air dan peneliti di Sajogyo
Institute

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!