Luviana- www.Konde.co
Apa yang lebih baik dari senja?
Inilah yang banyak menjadi pikiran kami, para perempuan, yang banyak bekerja mengambil gambar. Memotret, mengambil video, menulis. Tak ada yang lebih baik dari senja. Inspirasi datang karena senja.
Banyak kejadian menarik juga karena senja, orang yang bergegas pergi dari tempatnya, orang yang pulang. Matahari di waktu senja adalah matahari yang ditunggu banyak orang. Senja di pantai ini, matahari terbenam di pantai itu.
Namun ternyata ada yang menakutkan dari senja.
Pengalaman takut pada senja ini ternyata banyak dialami para perempuan muda, lajang, teman-teman saya ketika SMA dan beranjak kuliah. Beberapa teman lain yang hingga saat ini memilih untuk melajang.
Yang paling menakutkan dari Ri (sebut saja demikian), adalah ketika sabtu, di waktu senja datang. Di hari Sabtu, tiba-tiba banyak yang kemudian ‘memperhatikan’ Ri.
Ri selalu ditanya: sudah sore, sabtu-sabtu begini, kenapa tidak mandi? Biasanya kalau sabtu sore, sudah mandi dan tinggal menunggu pacar datang.
Ri menjadi takut dengan senja. Karena jika senja datang, ia harus berpasangan. Paling tidak berstatus punya pasangan. Jika tidak, maka akan banyak omongan, mencibir.
“Ini yang membuatku benci sama senja.”
Kisah Si tak ada bedanya. Jika senja datang, di hari Sabtu, Si akan cepat pergi kongkow bersama teman-teman perempuannya, sesama lajang. Bukan apa-apa, ia hanya tak mau jika pernyataan: tak punya pacar ini keluar dari mulut tetangganya.
“Kog di rumah saja? Tak punya pacar?”
Perihal senja dan tak punya pacar ini juga menimpa Na, teman kala kuliah dulu. Hingga sekarang ia memilih untuk melajang. Namun ternyata senja tak baik untuk si lajang, katanya berulangkali.
Sudah ribuan senja, ribuan purnama, yang selalu ditanya ketika sabtu senja datang tetap sama: mengapa ia masih melajang? Mengapa tak juga punya pasangan? Mengapa tak juga menikah?.
Ini semua gara-gara Sabtu senja.
Dan betapa tak mudahnya melewati senja ini bagi Ri, Si dan Na.
Maunya Ri, setiap sabtu senja mereka bisa di rumah, baca buku, nonton film, rebahan dan tidur.
Sedangkan maunya Si, setiap Sabtu senja ia masih tetap ingin menghabiskan waktunya untuk mengajar anak-anak di kampungnya. Namun ketika senja, sekolah itu harus usai. Dan ketika sekolah itu usai, di ujung rumah ketika pulang yang ditanya cuma satu hal: kenapa pulang sendiri? Pasangannya mana?
Dan Na, harusnya setiap sabtu, ia bisa menikmati apa saja, ia bebas melakukan apa saja di rumah maupun dimana saja. Namun senja tak pernah menarik baginya. Semua orang meributkan senja, dan inilah aku, korban si senja. Itu katanya dulu. Harusnya aku bisa produktif di saat senja, mengambil gambar, menulis, membaca, apa saja. Tapi nyatanya, aku malah tak menjadi produktif ketika libur Sabtu senja datang.
Belum lagi cerita mereka tentang jika mereka ada di tempat umumpun, orang yang masih mengenali, tetap menanyakan hal yang sama: mengapa sendiriran di Sabtu senja?
Apa yang lebih baik dari senja? Bagi kami, para perempuan yang banyak bekerja memotret, menulis, mengambil gambar, ini merupakan suasana yang paling menarik. Senja selalu datang secara misterius, menemani orang-orang beranjak pulang dan pergi.
Namun, ternyata ini tidak terjadi pada banyak perempuan lain.
Senja telah mendiskriminasi pilihan orang untuk melajang, untuk menikmati kesendirian. Senja jusru membenamkan diri pada kesedihan perempuan.
Apa yang salah dengan senja?
Karena ada banyak orang yang terluka karena senja.