Melly Setyawati-www.konde.co.
Di sebuah grup facebook ibu-ibu menyusui, beredar viral tulisan bergambar pesan seorang suami pada istrinya,yang isinya begini:
“Bun ayah brkt kerja ya.. Mau bangunin bunda ga tega.. Nyuci udh (sudah) sama ayah, mask nasi jg udh, bbres (berberes) rumah jg (juga) udh (sudah). Bunda jagain anak2 aja. Sarapannya di meja ya. Ayah td (tadi) udah cium bunda. Love u.”
Seorang ibu yang mengedarkan gambar meme itu lalu bertanya, “Bagaimana kalau suami kita seperti ini ya bun?”.
Ternyata pertanyaan ini langsung banyak yang merespon setuju, dan sangat senang jika suaminya seperti itu. Namun sepertinya upload foto meme tersebut sudah dihapus oleh admin grup.
Ternyata foto meme itu, sudah lama 2 tahun lalu, diupload oleh seorang istri di facebook, setelah mendapatkan sms dari suaminya. Walau masih viral hingga saat ini.
Ini pertanda baik, bahwa ternyata istri (baca: perempuan) sebenarnya telah memikirkan adanya yang tidak adil dalam pembagian peran gender, namun perempuan enggan melawan karena masih kuatnya nilai-nilai yang tabu di dalam masyarakat.
Perempuan telah merindukan pembagian peran yang asyik di dalam rumah tangga. Meskipun diantara kita sendiri juga belum selesai dalam pikiran, mindset. Seperti, secara tidak sengaja kita berpapasan dengan seorang bapak yang menggendong anaknya seorang diri saat hujan, lalu bisa tiba-tiba kita nyeletuk
“Ya ampun, kasihan banget, ibunya dimana yach?”.
Ada setelan otomatis, sebab kita hanya sering melihat perempuan yang menggendong anaknya. Begitupula ketika seorang bapak membawa anaknya ke tempat kerja, bisa teman kerja juga bertanya
“Memang ibunya kemana?”
Meskipun sebenarnya, di wilayah perdesaan, pola pembagian peran gender tidak sekaku yang dibayangkan oleh kita selama ini. Misalkan di dukuh Sempu Klaten, seorang suami biasa membantu istrinya mencuci dan membersihkan rumah, jika tidak melakukannya, bisa menjadi bahan pergunjingan tetangga.
Demikian pula, di desa Karangsari Kulon Progo, suami wajib menyuci baju apabila istrinya sedang sakit atau habis melahirkan dan harus merawat bayi. Peran-peran seperti ini, yang sebenarnya sudah ada di masyarakat. Tetapi mengapa hukum mengukuhkan kekakuan peran gender?
Ternyata, unit pelaksana teknis pemerintah menyadari hal ini, seperti dalam program PKH (Program Keluarga Harapan) di Solo, yang bisa mengambil bantuan dari pemerintah adalah istri. Sebab istri lebih mengutamakan kebutuhan keluarga, daripada suami yang bisa langsung membelanjakan beli rokok. Walaupun tidak semua suami seperti itu, seperti lagunya Almarhum Basofi Sudirman yang berjudul “tidak semua laki-laki”.
Demikian pula, viral status suami bernama Arif Rahutomo di facebook, yang bertuliskan berikut ini:
“Kalau istri saya lagi capek atau lagi males, saya tidak menuntut apa-apa … Piring berantakan, cucian berantakan, rumah amburadul, kami biarkan saja … Kami cuman tidur-tiduran, atau dolan-dolan, atau masing-masing sibuk dengan kerjaan di laptop … Lagi males masak? … Ya beli aja di warung atau order gofood …Kalau piring sih, saya yang mencuci … Setrikaan, serahin aja ke jasa laundry … Wah, tidak rapi donk? … Biarin ah suka-suka … Kok bisa? … Bagi saya, istri bukan pembantu … Kalau saya sendiri males, ngapain nuntut orang lain rajin beberes rumah? … Kamu masih memposisikan istrimu kayak pembantu? … Kamu pria kuno …
*nggleweh_awan
Status Arif sudah terbagikan hampir 22 ribu kali. Ada pembenaran, tidak semua laki-laki berpola pikir menjadikan istri sebagai penjaga kebersihan rumah, pelayan suami, dan seterusnya. Walaupun responnya beragam, ada yang mengatakan istrinya durhaka dan pemalas. Padahal istrinya Arif, adalah seorang perempuan pekerja juga yang harus menghidupi keluarga.
Sungguh kondisi yang tidak adil bagi perempuan dan laki-laki, harus menanggung kehidupan normal ala patriarki. Iya, memang kita tidak harus terjebak pada jenis kelamin sebagai sumber ketidakadilan tetapi mindset pembakuan peran gender.
(Sumber foto : Pixabay)