“Sinta (bukan nama sebenarnya), selalu bimbang jika akan menyeberang jalan di jembatan penyebarangan di kawasan Rawamangun di Jakarta. Jembatan itu jika di malam hari sangat gelap, hanya mendapatkan cahaya lampu yang sangat minim dari lampu kota yang agak jauh letaknya, tak ada penerangan di sekitar jembatan. Padahal ia harus menyeberang jalan hampir setiap malam. Ia selalu takut jika terjadi sesuatu, dirampok, diperkosa. Jika ingin menyeberang, ia harus menunggu perempuan lain yang juga akan melewati jembatan tersebut, agar ia merasa aman.”
Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Seperti apa wajah kota yang ramah terhadap perempuan dan anak? Keluhan Sinta juga dikeluhkan sejumlah perempuan lain di Jakarta. Tak hanya ketika menyeberang jembatan penyeberangan di malam hari, namun juga di jalan ketika sedang menunggu angkutan umum, saat berada dalam angkutan hingga sampai ke rumah.
Saat berada dalam angkutan ketika malam hari, sejumlah perempuan menyatakan bahwa ia akan naik angkutan umum tersebut jika ada perempuan lain berada di dalam angkutan, jika tidak, maka sepanjang perjalanan, mereka hanya merasakan was-was saja. Belum lagi jika melewati jalan di ujung rumah, selalu saja ada laki-laki yang menggoda.
Persoalan inilah yang dialami banyak perempuan di Jakarta. Padahal banyak perempuan di Jakarta yang pulangnya selalu malam, ada yang lebih dari jam 21.00 WIB, namun tak jarang ada yang pulang hingga jam 24.00 WIB. Ini biasanya terjadi pada perempuan pekerja toko, pekerja restoran yang tutup hingga malam hari.
UN Women, Kalyanamitra bersama PT. Transjakarta kemudian melakukan kampanye publik tentang Safe Cities, yaitu kampanye kota yang aman dan bebas dari kekerasan perempuan dan anak. Kampanye ini dilakukan sejak peringatan “16 Days of Activism Against Gender-Based Violence”, sebuah kampanye global dari tanggal 25 November sampai 10 Desember 2017 lalu hingga sekarang.
UN Women mencatat, di Indonesia sebanyak 1 dari 3 perempuan telah mengalami kekerasan. Di tahun 2016 terdapat 259.150 kasus terdapat perempuan, dimana 3092 diantaranya terjadi di ruang publik. Perempuan yang hidup di perkotaan (36,3%) lebih banyak mengalami kekerasan dibandingkan di desa (29,8%).
Jenis pelecehan yang biasa terjadi di ruang publik antaralain pelecehan verbal seperti memberikan komentar, siulan, seruan yang bernada melecehkan. Lalu pelecehan non verbal seperti meraba, menyentuh, melakukan penyerangan seksual, pemerkosaan, menguntit, menatap dengan tujuan seksual dan menunjukkan alat kelamin.
Kelompok rentan yang biasa menjadi korban pelecehan seksual umumnya adalah para perempuan muda, perempuan disabilitas, kelompok minoritas seksual seperti waria, perempuan pekerja seks juga perempuan dari etnis minoritas.
Penyebab pelecehan dan kekerasan seksual ini biasanya terjadi karena infrastruktir dan transportasi publik yang kurang memadai, misalnya kurang atau tidak adanya penerangan yang cukup di jalan, di gang, di trotoar, tidak adanya CCTV di tempat strategis dan transportasi publik yang kurang aman.
Hal lain kekerasan juga kadang terkesan dibiarkan ketika kurangnya respon dari penonton yang hanya mau menyaksikan kekerasan, namun tidak berusaha mencegah kekerasan yang ia lihat. Dan yang lainnya, banyaknya korban kekerasan yang malah justru disalahkan.
Realitas ini kemudian membatasi ruang gerak perempuan. Perempuan menjadi terhambat dalam mengakses fasilitas dasar seperti layanan dasar, menghambat partisipasi perempuan di sekolah, pekerjaan serta kehidupan bermasyarakat. Selain itu perempuan jadi takut menggunakan transportasi publik khususnya di malam hari.
Di Indonesia, inisiatif Safe Cities ini dimulai di Jakarta untuk mengatasi persoalan perempuan karena Jakarta harus menjadi kota yang inklusif untuk perempuan dan anak. Selama ini nilai keamanan untuk kota Jakarta nilainya adalah 2,5 dari 5.
Maka Safe cities ini kemudian akan melakukan evaluasi, mencegah dan merespon kekerasan seksual di ruang publik, termasuk memastikan pendekatan gender dalam perencanaan kota. Salah satu metode yang digunakan adalah metode safety walk. Metode ini digunakan untuk mengeksplorasi elemen di ruang publik yang memberikan konstribusi dalam menciptakan rasa aman.
Maka safety walk kemudian melihat 9 parameter kota yang harus dievaluasi yaitu penerangan, terbuka atau tidaknya suatu tempat, jarak pandang, keramaian, keamanan, jalan setapak, ketersediaan transportasi publik, juga perasaan dan keragaman gender.
Di luar itu, hal yang tak kalah penting yaitu mengajak pemerintah untuk meningkatkan keamanan di transportasi dan fasilitas publik, meningkatkan respon penyedia layanan dan penegah huku dalam menangani kekerasan terhadap perempuan. Selain itu juga meningkatkan kesadaran masyarakat atas sikap untuk menolak kekerasan terhadap perempuan.