*Ratu Fitri- www.Konde.co
Di masyarakat kita, jalur hidup perempuan yang selalu dianggap lazim adalah perempuan yang sekolah, menikah dan punya anak tepat waktu. Bahkan kalau bisa, semua jalur itu ditempuh dengan singkat dan cepat. Jika memilih di luar jalur tersebut, perempuan biasanya akan mendapatkan cibiran oleh orang-orang terdekat.
Beberapa waktu belakangan ini, marak berbagai macam ajakan untuk menikah muda. Motif utama yang digunakan biasanya adalah karena agama. Menikah di usia muda dianggap sebagai solusi untuk keinginan melepas hasrat seksual, sebagai penjaga kehormatan perempuan, bahkan sebagai solusi finansial bagi perempuan.
Bersamaan dengan itu, angka gugatan cerai juga meningkat, dengan gugatan paling banyak diajukan oleh istri. Ironisnya, pernikahan usia muda juga dianggap sebagai penyebab perceraian. Usia pasangan suami istri yang muda, sehingga dianggap mempunyai emosi masih labil, finansial yang belum mapan, hingga perselingkuhan yang diakibatkan oleh hasrat seksual laki-laki suami yang tidak tertahan. Dari sini kemudian banyak perempuan yang takut untuk membangun hubungan rumah tangga karena perselingkuhan dan kekerasan yang mereka alami.
Untuk memasuki babak baru kehidupan, saya setuju bahwa setiap orang perlu untuk beradaptasi dengan banyak mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan baru tersebut. Semisal, mempelajari kehidupan berumahtangga bagi yang sudah memutuskan untuk menikah. Kesemua itu baiknya dipelajari oleh kedua belah pihak, dan oleh siapapun yang memutuskan untuk menikah.
Tapi yang terjadi adalah, seringkali hanya perempuanlah yang dituntut untuk banyak belajar, harus bisa memasak, membersihkan rumah, mencuci, seterika sampai bekerja di publik, semua harus dilakukan oleh perempuan. Dan ketika punya anakpun, perempuan juga harus bisa segalanya: menjaga anak, memastikan anak-anak sehat, mendapat pendidikan dan kesehatan yang baik, sambil terus bekerja di ruang publik.
Perempuan seolah dimiliki semua orang. Dimiliki suami yang meminta ini dan itu, dimiliki oleh masyarakat, oleh negara, oleh kebijakan-kebijakan yang terlalu banyak menuntut. Bagaimana mereka harus tetap langsing setelah punya anak, bagaimana dapur mereka harus selalu rapi, belum lagi jika mereka harus menghadapi sindiran jika ia harus bekerja. Penilaian sepihak oleh pihak luar berupa sindiran ataupun kritik tidak akan melanggengkan sebuah pernikahan dan tidak akan membantu kehidupan lain di luar masa itu.
Buat saya, tidak ada yang salah dalam memilih menikah atau tidak menikah. Ingin berpasangan atau tetap menjadi lajang. Karena persoalannya bukan pada pilihan ini, namun bagaimana pilihan ini harus bisa memberikan ruang bagi perempuan, ruang pada pilihan-pilihannya yang lain. Selama ini, perempuan selalu dipilihkan, dan tak pernah ditanya: apa sebenarnya pilihan perempuan? Disinilah letak persoalannya, karena perkawinan sejatinya adalah ruang untuk berbagi, untuk tetap berkembang, bukan ruang paksaan yang membawa perempuan pada kesulitan panjang.
(Foto/Ilustrasi:Pixabay)
*Ratu Fitri, adalah seorang blogger