*Yuliana Martha Tresia- www.Konde.co
Katanya, kata mereka, agama harus diterima apa adanya, tak perlu banyak meragu atau bertanya. Tapi bagaimana jika agama itu tampak sangat laki-laki sekali bagi seorang perempuan? Apakah memang perempuan harus menganut agama laki-laki? Salahkah jika perempuan bertanya mengapa agama tampak sangat laki-laki?
Salahkah perempuan jika bertanya mengapa ada nilai-norma yang mendiskriminasi dan mendiskreditkan perempuan dalam agama yang dikenalnya selama ini? Salahkah perempuan jika bertanya mengapa menstruasi yang biologis itu dipakem menjadi penghalang ibadahnya pada Tuhannya? Salahkah perempuan jika bertanya mengapa hanya laki-laki yang boleh berdiri memimpin umat dan tak boleh perempuan? Salahkah perempuan jika bertanya mengapa tubuhnya, yang setiap detailnya diciptakan begitu baik oleh Tuhannya, disebut-sebut paling bersalah karena mengundang birahi lawan jenisnya sehingga harus ditutup dan disembunyikan sedemikian rupa? Salahkah perempuan jika ia bertanya mengapa kesuciannya ditentukan oleh keadaan selaput dara dan stigma perawan tidak perawan, ketika laki-laki bebas berbuat apa saja dan tak perlu menguatirkan kata orang soal suci tak suci dirinya?
Salahkah perempuan jika bertanya mengapa ia diajar agama harus tunduk kepada laki-laki tapi tak sebaliknya? Salahkah perempuan jika bertanya mengapa agama mengkonstruksikan bahwa laki-laki berada di atas perempuan dan adalah pemimpin perempuan, sementara perempuan tak boleh memimpin laki-laki sama sekali?
Salahkah perempuan jika bertanya mengapa perempuan harus melihat laki-laki sebagai wakil dan gambaran Tuhan dalam relasi gender laki-laki dan perempuan? Salahkah perempuan jika bertanya bagaimana mungkin laki-laki bisa mengangkat derajat perempuan tapi perempuan tak bisa mengangkat derajat laki-laki dalam sistem kasta agama?
Salahkah perempuan jika bertanya mengapa dalam agama yang dikenalnya banyak aturan hukuman-hukuman untuk tingkah laku perempuan, tetapi tidak untuk laki-laki? Salahkah perempuan jika bertanya mengapa ia yang disebut penggoda dan dihakimi sendirian untuk dosa yang dilakukannya bersama laki-laki?
Salahkah perempuan jika bertanya tentang ayat-ayat yang membingungkan, mengapa tertulis jelas di kitab suci yang sejak kecil diimaninya? Salahkah perempuan jika bertanya tentang apakah tafsir yang diketahuinya selama ini sebenarnya kurang tepat menjelaskan esensi pengajaran yang sesungguhnya mengenai laki-laki dan perempuan? Salahkah perempuan jika mencoba mencari tafsir lain yang dapat menolongnya memahami apa yang sedang terjadi?
Salahkah perempuan jika bertanya dan ingin mengetahui apakah Tuhan yang dikenal dan disembahnya adalah sosok patriarkhis, atau mungkin bukan? Karena kepatriarkhian terus saja menempatkan perempuan di posisi nomor dua, di bawah laki-laki. Dan salahkah perempuan jika bertanya mengapa harus ada nomor dua, mengapa harus ada posisi hierarkis atas dan bawah di antara manusia yang seharusnya setara? Salahkah perempuan jika bertanya apakah Tuhan itu patriarkhis atau bukan, karena kepatriarkhian itu sendiri tampak mengingkari keadilan yang katanya merupakan salah satu karakter-Nya yang terutama?
Salahkah perempuan jika bertanya tentang keadilan? Salahkah perempuan jika ia bertanya tentang kesetaraan? Salahkah ia jika mengingini keadilan maupun kesetaraan untuk semua manusia baik laki-laki dan perempuan? Salahkah perempuan jika bertanya apakah mungkin ternyata agama yang selama ini dianutnya, jangan-jangan, tidak mengenal keadilan dan kesetaraan untuk para perempuan?
Salahkah perempuan jika ingin membaca kitab suci melalui tubuh dan pengalamannya sendiri, sehingga tak selalu didikte oleh perspektif, pengalaman, dan tafsir laki-laki? Salahkah perempuan jika ingin melihat Tuhan melampaui batas-batas konstruksi maskulinitas yang sudah tersistemisasi selama ini? Salahkah perempuan jika ingin percaya bahwa Tuhan tidak menciptakan sistem patriarkhi – tapi manusia itu sendiri?
Salahkah perempuan jika ia bertanya dan mempertanyakan ulang tentang imannya? Atau jangan-jangan ia memang tidak boleh bertanya dan tidak seharusnya bertanya? Tapi bagaimana jika sistem patriarkhi dalam agama itu sudah begitu menekan dan menganiaya kedirian perempuannya? Masih tak bolehkah dia bertanya?
Tak logis, kata mereka. Lalu, apakah sistem patriarkhi dalam agama merupakan satu-satunya yang harus dianggap logis dan dapat mewakili semua? Apakah tak bisa agama menyuarakan isi hati perempuan? Apakah tak bisa para pemimpin agama memahami kekhasan pengalaman kaum perempuan? Apakah tak bisa agama mengistimewakan perempuan sama seperti agama mengistimewakan kaum laki-laki?
Bukankah mempertanyakan tak selalu berarti ingin menyangkal atau mengingkari? Mempertanyakan bisa jadi adalah ekspresi keinginan dan kerinduan untuk mengetahui yang sesungguhnya, karena ia, sebagai seorang perempuan, ingin percaya, bahwa Tuhan tak pernah menciptakan kelas-kelas bertingkat bagi jenis kelamin manusia. Tak pernahkah Tuhan?
Depok, Januari 2018. Ditulis sebagai hasil refleksi dan ekspresi hati atas agama(-agama) yang selama ini dikonstruksikan sangat laki-laki dan tampak sangat patriarkhis sekali. Katanya, menurut sejarah manusia, memang nyaris tak ada agama yang tak patriarkhis di dunia. Benarkah tak ada?
*Yuliana Martha Tresia, perempuan sehari-hari menulis perenungannya di www.jasiridvorah.wordpress.com