*Joy Aprilea Ginting- www.Konde.co
Apakah anda pernah membayangkan jika suami yang di depan istrinya baik-baik saja, namun ternyata di belakang istrinya ia melakukan kekerasan? Cerita tentang perselingkuhan yang dilakukan laki-laki tidak hanya satu atau dua kali saya dengar, namun cerita ini kerap saya dengar:
Han (bukan nama sebenarnya) tidak pernah pulang larut malam dari kantor. Ia terlihat baik-baik saja di depan istrinya, tidak pernah mengabaikan weekend dengan istrinya, tidak pernah chatting, telepon atau online secara sembunyi-sembunyi. Bukan pemabuk, bukan penjudi juga bukan pelaku kekerasan fisik terhadap perempuan. Sebagai laki-laki ia juga memiliki prospek karir yang bagus di perusahaan nya. Ketika sedang bekerja, ia juga tidak pernah absen menelepon istri dan anaknya. Ah, istri mana yang akan meragukan laki-laki seperti Han?
Lain cerita lain yaitu Ai, laki-laki yang berusia 25 tahun. Belum menikah. Punya pacar seumuran. Gaya pacaran mereka no travel alone, bahkan sering ibadah bersama. Hal yang melegakan hati orang tua perempuan pacar Ai adalah ketika ia mengetahui bahwa anaknya mendapat calon suami yang baik.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, di balik semua hubungan baik ini, ternyata laki-laki ini berselingkuh dengan sejumlah perempuan.
Mengunjungi SPA plus sudah tak ubahnya bagai makan siang atau makan malam bagi para laki-laki ini. Untuk meyakinkan pasangan, cukup diberi kabar sebelumnya dan rajin menelepon untuk mengabarkan jika mereka melepas lelah di luar kantor, sedang menghadapi jalanan pulang macet, atau mengabarkan sedang makan di luar saja berama teman-teman kantor. Hal ini yang tidak diketahui pacar atau istri di rumah. Komunikasi sering kali menjadi perantara baik, namun bisa juga hanya menjadi legitimasi bagi laki-laki bahwa mereka selalu mempunyai banyak perhatian dengan keluarga. Padahal, perilaku mereka jauh dari itu.
Lalu, apakah mereka juga tidak berpikir jika ketika di SPA ini mereka juga melakukan sesuatu dengan perempuan, yang hanya dilegitimasi sebagai perempuan yang menemani kesepian para laki-laki ini? Sungguh tak adil bagi semua perempuan. Saya sering geram melihat ini, mendengar cerita-cerita yang berseliweran setiap saat.
Apa yang harus dilakukan perempuan? Mencurigai suami melakukan sesuatu, membuat suami marah. Menanyakan sesuatu, dipikirnya istri terlalu banyak mengurusi suami. Namun kebohongan-kebohongan seperti ini terus berlanjut. Padahal istri Han dan pacar Ai tidak pernah tahu soal ini semua.
Dalam perspektif feminis, inilah yang disebut sebagai rantai kekerasan. Kekerasan yang dilakukan tidak hanya pada istri, namun juga anak, menyumbang pada pertumbuhan dan perkembangan anak yang buruk, kekerasan psikis pada istri. Dan kebohongan ini akan menjadi rantai yang panjang. Trauma, kemarahan, sakit hati.
Saya bertanya, apakah laki-laki suami ini tidak pernah melihat ini sebagai persoalan? Apa yang sebenarnya selama ini dalam pikiran mereka?
*Joy Aprilea Ginting, penulis