Salahkah Jika Menghakimi Perempuan di Sosial Media?

*Desi Limbong- www.Konde.co

Salahkah jika kita menghakimi perkawinan perempuan di sosial media? Pertanyaan ini begitu mengganggu saya dalam sebulan terakhir ini setelah saya melihat acara-acara infotainment di televisi dan membaca komentar-komentar di sosial media.

Acara Infotainment televisi dalam sebulan ini dihebohkan dengan dugaan kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh istri mantan Gubernur DKI Jakarta, Veronica Tan. Hampir semua media televisi menayangkannya dari kasus tersebut muncul hingga persidangan yang dilakukan pada awal Februari 2018.

Namun yang membuat saya sedih adalah ketika ada suara netizen yang ikut berkomentar yang menurut saya-ketika ada ibu yang sedang berkasus seperti ini- tulisan ini akan semakin memperkeruh kondisi rumah tangganya.

Komentar seperti, “Bu, lagi puber kedua ya?”

“Masih jaman suka sukaan lagi sama orang? Suami di penjara, lupain aja ya bu. Yang penting duit mengalir dari suami.”

Saya tidak bermaksud untuk melakukan klarifikasi, mengajarkan, atau ikut menghakimi. Saya hanya Ibu Rumah Tangga (IRT) jaman now yang masih belum berandroid. Perlu juga diberi garis tebal dan hitam, kalau saya bukan pendukung ataupun simpatisan ibu Veronica Tan ataupun pak Ahok, saya hanya IRT jaman now.

Tulisan ini juga tidak bermaksud menyetujui soal perselingkuhan atau kekerasan dalam rumah tangga yang mungkin terjadi diantara pasangan suami istri. Saya hanya menanggapi komentar netizen yang justru bisa memerahkan telingga dengan kejadian ini. Komentar netizen soal istri yang hanya mengharapkan uang dari suami merupakan stereotype yang semakin menyakitkan dan membuat bertambahnya penghakiman atas sebuah kasus. Istri menjadi bulan-bulanan dan dianggap hanya mengejar uang suaminya.

Padahal menjadi ibu dan istri tak pernah mudah. Terkadang IRT begitu sangat kesepian, ketika anaknya masih kecil ia merasa bahagia sebab ia merasa memiliki seorang teman, yang membutuhkannya (perasaaan dibutuhkan adalah hal yang membuat manusia bangga dengan dirinya), namun ada perubahan hidup, suami hanya berkarir dan tidak mau berbagi pekerjaan mengasuh anak.

Dan saat anak tersebut beranjak dewasa, ia mulai belajar mandiri dan sangat bersemangat dengan kehidupannya sehingga mereka tidak begitu banyak lagi melibatkan ibunya.

Kedua, ketika di awal pernikahan, sepasang suami istri akan berada pada masa saling mengenal dan 3 tahun berjalan mereka belajar menerima kekurangan masing-masing, kondisi mereka seperti di saat masa-masa di mabuk asmara, mereka sering sharing tempat tidur, makanan, kopi, sharing suka dan duka. Tetapi ketika salah satu sangat asyik dengan pekerjaan kemudian merasa puas dengan target-target dan goal yang terpenuhi, mencari-mencari goal baru lagi dan kemudian bekerja dengan sangat giat, istri merasakan ada yang berbeda dengan relasi yang terjadi antara ia dan suaminya.

Ketiga, di awal pernikahan seorang IRT akan merasa sangat senang menjalani kehidupan rumah tangga, ia berperan sebagai seorang istri dan ibu, dan ia lupa bahkan mungkin tidak ada waktu untuk menemukan teman, bahkan komunitas teman-teman perempuannya lagi di luar sana yang dapat menjadi kawan bahkan sahabat (sahabat yang bijak), baik sekedar untuk hang out maupun sharing bahkan curhat. Padahal saat ketika ia merasa kesepian, maka sahabat perempuan dapat menjadi obat penghibur hati.

Maksud saya adalah kita bisa belajar dari kasus ini, untuk melihat dari perspektif yang mendalam, mengunakan pemikiran kita sebagai ciptaan yang diberi pikiran dan hati oleh pencipta. Dugaan melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah satu hal, namun tak baik untuk menghakimi dan menciptakan steretype baru. Dalam rumah tangga, seringkali ada anak-anak yang mesti dipertimbangkan perasaannya sekaligus nasibnya.

Jadi, salahkah jika kita menghakimi perkawinan perempuan di sosial media?. Menurut pendapat saya, tentu kita tak usah menghakimi seperti yang lainnya jika kita tidak tahu persis bagaimana situasi yang sebenarnya terjadi. Jika kita mau belajar untuk mencari tahu fakta-fakta yang terjadi, maka kita jadi lebih bijak dalam menilai, baik itu di sosial media maupun dalam pergaulan kita di dunia nyata.

Jadi, stop melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan stop menghakimi orang lain.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay.com)

*Desi Limbong, ibu rumah tangga dan sedang belajar menulis.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!