“Sebentar lagi aku menikah, tetapi jerawat di wajahku masih banyak, belum lagi jerawat yang tumbuh di punggung. Gimana ya cara menghilangkannya? Waktu pernikahanku sudah semakin dekat lagi.”
*Silmi Novita Nurman- www.Konde.co
Kata-kata itulah yang terlontar dari salah satu kawan perempuan saya di ujung telpon beberapa waktu lalu. Dia kala itu akan melepas masa lajangnya di bulan Januari 2018 lalu. Dia tidak percaya diri dengan apa adanya dirinya.
“Kemarin si abang datang mengantarkan surat nikah, dia mengatakan bahwa jerawatku banyak ya sekarang. Terus aku langsung memotongnya, dengan mengatakan bahwa kalau abang tidak mau menikah dengan saya yang berjerawat ini, silakan menikah dengan perempuan lain! Masih banyak kok perempuan cantik di luar sana. Mumpung masa nikah kita masih tinggal beberapa hari lagi”, tambahnya lagi.
Saya miris sekali mendengar ini, semakin banyak mendengarkan keluhan perempuan seperti ini saya semakin sedih, karena seolah perempuan hanya dicintai jika secara fisik baik, bukan apa adanya dirinya.
Apakah perempuan yang akan menikah pikirannya memang selalu seperti itu? Mereka jadi punya banyak beban: diharuskan untuk tampil cantik, wajah harus mulus tanpa jerawat, kulit harus kinclong seperti habis di amplas. Kalau syarat menikah bagi perempuan harus seperti apa yang saya sebutkan di atas, maka saya mungkin tidak akan menikah karena menurut saya, wajah saya berjerawat dan jauh dari kata cantik yang didefinisikan oleh banyak orang.
Apakah hal yang sama juga dirasakan oleh laki-laki yang akan menikah? Saya yakin tidak.
Dulu, masih pekat sekali diingatan saya hingga kini adalah ketika keluarga pernah berkata ketika saya hendak mengoperasi sedikit benjolan di payudara saya. Dokter mengatakan bahwa benjolan itu dinamakan dengan miom, semacam tumor jinak, harus diangkat jika dibiarkan maka statusnya bisa jadi berubah menjadi kanker. Kemudian saya memutuskan untuk mengoperasinya. Meskipun pada awalnya keluarga saya tidak menyetujui dengan alas an, nanti tidak akan ada laki-laki yang mau menikah sama saya karena payudara saya sudah dijahit.
Bagi saya, ketakutan keluarga saya ini terlalu berlebihan. Lagi-lagi saya bertanya, apakah perempuan ketika hendak menikah benar-benar harus cantik, tidak ada kekurangan sesuatu apapun termasuk tidak ada jahitan di salah satu bagian tubuhnya seperti apa yang saya alami ini?
Tuntutan akan tampil cantik itu belum lagi berakhir. Oleh banyak orang, saya selalu diingatkan bahwa perempuan itu harus bisa menjaga badan, jangan sampai gemuk! nanti kalau gemuk tidak ada laki-laki yang mau. Jangankan mau menikahi, melirik saja tidak.
Duh, kata-kata apalagi ini. Jadi perempuan kok tersiksa banget. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu, mau apalagi, mau bagaimana lagi?.
Lalu apakah laki-laki juga dinasehati begitu oleh orangtuanya? Saya yakin tidak.
Belum lagi syarat yang diajukan agar kita bisa mempunyai pasangan yang berasal dari satu daerah, satu provinsi dan semacamnya biar bisa melihat bobot, bibit dan bebet. Semakin menambah deretan panjang dan syarat yang semakin banyak.
Seperti apa yang saya alami dalam beberapa waktu ini, banyak yang datang ke saya, dalihnya ingin ta’arufan (berkunjung ke rumah orang dan ingin berkenalan). Ketika awal-awal obrolannya enak, perkenalan. Setelah itu mulai ke obrolan yang serius. Apalagi dia mengetahui saya sedang mengambil S2, semangat ta’arufannya mulai mengendor. Ditambah lagi saat saya menanyakan ketika sudah menikah nanti, saya bertanya: boleh tidak saya bekerja di luar rumah?.
Namun ia mengatakan bahwa kalau bisa saya tetap di rumah saja setelah kami menikah. Mulailah kemudian saya bernegosiasi ini dan itu serta merambat ke persoalan lain. Akhirnya ta’arufan tidak bisa dilanjutkan. Hal inilah yang selalu saya pertanyakan: baru berkenalan saja, sebagai perempuan saya sudah diatur untuk tidak boleh melakukan hal-hal yang saya sukai- bekerja di ruang publik. Bagaimana jika menikah nanti?
Menurut saya, hal di atas perlu dibicarakan sebelum menikah dengan calon pasangan kita. terutama dalam pembagian peran dalam rumah tangga dan semacamnya. Jika tidak, nanti akan menjadi persoalan yang tumpang tindih.
Banyaknya tuntutan dan syarat ini dan itu dari orang sekitar terutama oleh calon pasangan membuat saya berpikir ulang untuk menikah. Jika menikah hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, maka ketika kebutuhan itu telah terpenuhi, lalu apa?
Jika menikah adalah menurut orang-orang karena penyempurna agama, lalu banyak orang berbondong-bondong untuk menikah. Tapi, lalu apa? Berbagai persoalan harus dipikir mulai sekarang, apakah kita sama-sama memberikan ruang yang leluasa untuk kita bisa memilih?
Mulai sekarang. Jangan nanti.
Jika tidak, menyesal nanti.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay)
*Silmi Novita Nurman, Perempuan yang selalu gagal ta’arufan. Sebanyak yang datang, sebanyak itu pula yang pergi. Lahir di Kabun Tapakis, Padang Pariaman, Sumatera Barat, 25 tahun lalu. Sekarang sedang menempuh pendidikan master di UIN Sunan Kalijaga pada jurusan Filsafat Islam. Temui saya di Silmi Novita Nurman (fb), @Moratorium_Senja (IG), dan WA 082285341507