Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia

*Ika Ariyani- www.konde.co

Wahid Foundation melakukan survey pada Agustus 2016 terhadap 1023 orang Muslim dewasa.Hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 59,9% dari mereka mengaku memiliki kelompok yang dibenci dengan ciri-ciri yaitu non muslim, Tionghoa, komunis, dan Lesbian,Gay Biseksual dan Transgender (LGBT).

Berawal dari data itulah maka tercetuslah keinginan untuk membuat buku berisi narasi cerita tentang Tionghoa di Indonesia.

Dimulai dari ajakan membuat buku melalui Facebook, ternyata antusiasme yang ingin menulis sebanyak 100 orang, dan telah diseleksi menjadi 73 orang. Penulisnya bukan hanya dari Tionghoa saja, namun berbagai kalangan seperti Pendeta, Ustad, Romo, Jawa, Ambon, Tionghoa, dll.

Karena jika hanya Tionghoa sendiri yang menulis buku agar pembaca lebih mengenal Tionghoa, itu adalah hal biasa, namun jika penulisnya adalah berbagai kalangan, maka akan tercipta berbagai sudut pandang.

Buku ini tidak bercerita mengenai sukacita, namun mengenai sakit dan kepedihan. Setelah tulisan-tulisan tadi terkumpul, untuk mencetak buku ini sehingga bisa terbit, dibukalah donasi melalui media sosial. Gus Aan Anshori dari Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) mengawali acara bedah buku yang dilaksanakan pada Tanggal 10 April 2018 di Universitas Widya Mandala, Surabaya.

Hadir dalam acara bedah buku kali ini yaitu: Adven Sarbani (Dosen di Akse Widya Mandala Surabaya, aktivis gerakan Masyarakat Anti Fitnah (MAFINDO) Surabaya, gusdurian freelance) yang dibesarkan dalam budaya Jawa namun sekolah di sekolah yang mayoritas siswanya Tionghoa.

Kemudian juga hadir Romo A. Widyawan (Dosen Fakultas Filsafat Widya Mandala Surabaya) menyampaikan bahwa buku ini adalah buku narasi yang memiliki daya persuasif.

“Buku ini adalah sebuah narasi yang memiliki daya partisipatif, karena ketika membaca buku ini kita akan merasa bahwa ceritamu dan cerita mereka adalah ceritaku juga sebagai orang Indonesia,”ujar Romo A.Widyawan.

Dengan adanya penulis dari non Tionghoa, maka pengalaman perjumpaan yang dirasakan akan dapat dibagikan kepada pembaca dengan memaknai pergumulan batin, benturan nilai, dan memerdekakan diri dari prasangka, sambil terus mempelajari kajian-kajian tentang Tionghoa di Indonesia yang memang masih sedikit sekali ditemukan sumber referensinya.

“Dengan buku ini agar semua pihak terus menulis cerita dan menyebarkan pemahaman akan keberagaman, terus membangun jembatan, berkegiatan, dan berjejaring.”

Kemudian ada Andrew Michael yang mempertanyakan kenapa Indonesia tidak bisa meniru Malaysia dan Singapura yang hidup rukun berdampingan dalam berbagai etnis yang salah satu contohnya adalah menggunakan 4 bahasa yaitu Melayu, Inggris, Mandarin, dan Tamil yang dimiliki oleh penduduk negaranya untuk ruang publik sehingga mencerminkan keberagaman di negara jiran tersebut. Ia menjelaskan bahwa orang Tionghoa di Indonesia sedikit sekali yang bisa berbahasa Mandarin, karena keturunan Tionghoa di Indonesia adalah Warga Negara Indonesia (WNI) juga yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Sehingga ia mengatakan tidak ada bedanya dengan penduduk Indonesia lainnya.

Lalu hadir juga Erlyn Erawan (Dosen Psikologi Widya Mandala Surabaya) yang juga menceritakan ketakutannya ketika tinggal di Makassar. Masyarakat disana sempat tersulut bara rencana pengganyangan keturunan Tionghoa di tahun 1997.

Kemudian narasumber selanjutnya Abigail Susana, dosen Sekolah Tinggi Teologia yang menceritakan bahwa kakeknya ikut berjuang dalam kemerdekaan dan telah membagikan seluruh harta bendanya hasil kerja kerasnya kepada para pejuang dan penduduk sekitar, bahkan tidak mewariskannya kepada anak cucunya sendiri karena ketika itu keturunan Tionghoa dilarang memiliki aset properti.

Lalu hadir juga Iryanto Susilo (Pendiri Roemah Bhinneka) yang menceritakan bahwa Ia juga tidak ada bedanya dengan orang Indonesia lainnya yang hanya menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan menu masakan di rumahnya pun adalah sayur Lodeh dan Ikan Pindang. Ia juga menyayangkan bahwa masih terdapat orang-orang Tionghoa yang memperlakukan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dengan membedakan menu makanan di rumah, dan berbagai perlakuan tidak baik lainnya yang mengakibatkan timbulnya jarak dengan etnis lain. Ia meminta agar keturunan Tionghoa juga melakukan intropeksi diri, apakah sudah berlaku baik kepada sesama?

Akhir kata diharapkan dengan adanya buku ini, dapat membangun jembatan antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya, bukan membangun tembok, namun membangun jembatan. Dan jangan pernah berhenti melakukan kebajikan, karena kebajikan adalah bahasa universal yang dipahami oleh seluruh dunia.

*Ika Ariyani, aktivis sosial dan keberagaman, kontributor www.konde.co di Surabaya.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!