Apakah seorang perempuan harus cantik dan langsing untuk bisa menikmati hidup?
*Hening Sari- www.Konde.co
Bayangan untuk menjadi perempuan seperti itu banyak dipikirkan kawan-kawan saya ketika kami masih bersekolah di SMA dulu. Seolah memang ada tuntutan bahwa menjadi perempuan haruslah cantik. Harus berkulit putih, berambut panjang dan postur badan tinggi. Ini dilakukan agar perempuan menjadi idola.
Jika menjadi idola, maka dengan sendirinya kita bisa menikmati hidup. Itulah bayangan cantik yang menyebar di lingkungan kami, menyebar hingga di pergaulan, menyebar hingga ke kantin, di tempat kami belajar, dan akhirnya menjadi virus di kelas-kelas yang kami ikuti.
Dulu, kami tidak pernah berpikir bahwa di balik mitos tersebut, ternyata tersembunyi agar kita tampil dengan make up terkini, mahal dan tidak terjangkau. Anak- anak SMA seperti saya dulu memang belum banyak terpapar informasi soal maskulinisme, patriarkhi. Jadi dandan modis tetap saja harus dilakukan agar tampil menjadi idola, mengikuti trend masa kini.
Mitos ini kemudian terus mewabah, dan sayangnya hingga kini. Anak-anak mencari idola yang disukainya, dan idolanya haruslah selalu orang yang populer dan dibicarakan banyak orang.
Pernah tidak ya, tercetus untuk berpikir mencari idola yang berbeda?
Namun waktu itu saya juga tidak menyadarinya. Saya menjadi sadar dalam kondisi ini ketika saya mulai kuliah. Jadi, jangan terlalu pusing jika kita agak terlambat menyadari soal mitos-mitos kecantikan dan mitos untuk menjadi idola.
Pada waktu menjadi mahasiswa, saya kemudian dikenalkan dengan bacaan-bacaan pengetahuan baru, bacaan-bacaan kritis yang kemudian mengantarkan saya pada pertanyaan besar: mengapa semua ini bisa terjadi?
Itu adalah sebuah pertanyaan yang kemudian membuat saya mempertanyakan banyak hal. Hal awal yang saya tanyakan adalah: mengapa perempuan harus cantik? Mengapa harus selalu langsing dan berambut panjang? Mengapa harus selalu berpostur tinggi dan putih agar dihargai? Agar diakui keberadaannya oleh laki-laki?
Bagaimana jika ada perempuan yang gemuk dan hitam? Apakah perempuan ini tidak layak untuk menjadi idola? Apakah mereka bisa dicemooh setiap waktu karena ia tidak putih dan tidak kurus? Lalu siapakah yang akan membelanya jika ia dicemooh terus-menerus?
Dan apakah ini tidak sama saja mencemooh perempuan yang satu dan justru adalah upaya untuk memecah belah persatuan para perempuan? Apakah nyaman menjadi seorang perempuan yang bisa memenuhi kriteria itu, namun harus tampil dengan baju dan dandanan yang tak terjangkau? Sudah pasti tidak. Dan apakah nyaman jika tidak lagi bisa memenuhi kriteria ini, lalu ditinggalkan begitu saja? Pasti sangat tidak nyaman.
Dari sinilah saya kemudian belajar tentang apa itu diskriminasi. Diskriminasi yang saya pelajari ternyata dari hal-hal kecil seperti ini. Bagaimana mungkin kita mendiskriminasi para perempuan yang sama-sama manusia? Bagaimana mungkin kita memberikan ruang yang tidak membuat nyaman orang lain?
Dan disinilah saya akhirnya. Saya kemudian banyak belajar bagaimana membuat ruang yang selalu nyaman bagi yang dalam kondisi terpojok, dalam kondisi tertindas. Lalu bagaimana perasaan mereka ketika dalam kondisi miskin, tidak punya apa-apa, namun tidak mampu untuk melawan?
Dan mengapa tidak mampu melawan? Salah satu jawabannya karena mereka tidak mempunyai teman. Banyak teman yang kemudian pergi ketika yang lain harus dibantu. Banyak teman yang tidak mau bergaul dengan si miskin, tidak mau membantu perjuangan si miskin.
Dan disinilah saya.
Dari hal kecil seperti melihat diskriminasi yang terjadi ketika saya sekolah dulu, saya menjadi orang yang tidak mau berpangku tangan ketika ada orang yang dipojokkan, tak berdaya, tak mampu berbuat sesuatu karena ia tak punya sesuatu.
Banyak orang yang kemudian menyadari sesuatu karena beberapa hal: ada yang karena membaca, ada yang karena mempunyai pengalaman traumatik, pengalaman buruk. Disinilah kemudian saya belajar banyak hal, belajar tentang bagaimana memberikan ruang nyaman bagi yang lain, belajar untuk melakukan pembelaan pada mereka yang ditindas, pada perempuan yang tidak dipandang sebagai sesuatu.
Karena, tak perlu harus cantik dan langsing untuk menikmati hidup. Semua orang yang tertindas, tak menjadi idola, dipinggirkan oleh sesuatu, pantas mendapatkan ruang nyaman, ruang hidup yang tidak didiskriminasi oleh orang lain.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Hening Sari, mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jakarta