Cinta di dalam kebersamaan

*Nena Zakiah – www.konde.co 

Jum’at 18 Mei 2018 adalah pengalaman pertamaku memasuki sebuah gereja, tepatnya di GKI
Diponegoro, Surabaya. Bukan tanpa alasan, tetapi kedatanganku disana adalah
untuk menghadiri acara ‘Suroboyo Guyub’ yang diinisiasi oleh Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro. 

Dan hingga kini, bekas kehangatan dari acara tersebut masih terasa di dadaku.
Bohong sekali jika aku berkata aku tidak terkesan oleh acara tersebut. Aku
sungguh kagum, dan oh, aku menulis ini dengan tetesan air mata yang muncul
tiba-tiba.

Sesuai
undangan di poster, selain mengadakan doa bersama lintas iman, juga untuk mempererat
tali persaudaraan antar umat beragama. Ya bisa dibilang kumpul-kumpul untuk
mengakrabkan diri. 

Mengapa aku tertarik ikut? Pertama, turut mengungkapkan rasa
belasungkawa terhadap kejadian teror bom yang terjadi di Surabaya, 13 Mei 2018
silam. Kedua, ini akan menjadi pengalaman pertamaku memasuki tempat ibadah umat
agama lain (dulu di Bali pernah sebenarnya memasuki Pura, tapi kurasa ini akan menjadi
the whole new thing). This could be new experience for me, so I take
this chance. 

Karena kecil kemungkinan di masa depan aku punya kesempatan
seperti ini lagi. Ketiga, ingin merasakan atmosfer persaudaraan dan simpati
antar warga Surabaya. Ingin tahu, sekuat apa gerakan solidaritas yang ditunjukkan
oleh mereka?.

Acara
dimulai jam 19.30, tapi aku baru sampai jam 20.30. Tentunya acara sudah
dimulai. Aku memarkirkan kendaraan di bangunan disampingnya. Parkiran sangat penuh, dan banyak sekali polisi
dan aparat gabungan yang berjaga-jaga di luar. 

Aku memasuki gereja, dan barang
bawaanku diperiksa. Hal ini wajar sih, sebagai tindakan prosedural dan
pencegahan. Setelah usai, aku mengisi absen di meja dekat pintu masuk gereja. 

Aku hendak memasuki bagian dalam gereja, tapi
amat-sangat penuh orang, sehingga aku hanya bisa berdiri di depan pintu. Aku
datang ketika sang pendeta masih memanggil satu-persatu komunitas yang
berpartisipasi di acara ini. I don’t quite remember, tapi ada dari
media, ada dari komunitas Gusdurian dan Banser NU, ada dari umat agama Hindhu
dan Budha, dan banyak lagi lainnya.

Acara
waktu itu sangat melebur, beberapa kali pendetanya mengeluarkan candaan untuk
meleburkan suasana. Setelah semua komunitas dan organisasi dipanggil, mereka
melanjutkan dengan foto bersama terlebih dahulu, lalu meneriakkan yel-yel penuh
semangat: ” SUROBOYO??” “WANIIII!!!”(Surabaya? Berani)

Setelah
itu, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa. Suasana mendadak hening, senyap
dan kelabu. Seseorang di altar gereja membacakan puisi dengan terisak, membuat
batin kami terkoyak. “Tahan, Nen, tahaan. Jangan nangis dulu deh,”
sugestiku sendiri dalam hati. Berikut adalah cuplikan puisinya:

“Saudaraku…

Darahmu
adalah darah kami.

Nyawamu
adalah nyawa kami.

Kami
tidak akan pernah takut meneruskan dan mengabarkan tentang persaudaraan.

Tentang
kedamaian.

Tentang
indahnya perbedaan.

Tentang
mulianya kebhinekaan.

Kami
tak pernah takut mengabarkannya.

Saudaraku…

Tak
kan pernah surut perjuangan kami untuk mengasihi sesama.

Meski
suara suram di belakang terus menggelegar.

Tak
pantang mundur gerakan kami mengutuk kekerasan yang mengatasnamakan agama
apapun!

Saudaraku…

Berbahagialah
kamu bersama Tuhan diatas sana.”

Setelahnya,
ada ungkapan doa dari umat agama lain, seperti Hindhu dan Budha, lalu ucapan
simpati, belasungkawa dan dukungan terus-menerus mengalir. 

Perasaan kami campur
aduk. Lalu, acara dilanjutkan dengan musisi gereja yang membawakan lagu
Anak-anak Persatuan (kalau nggak salah). Liriknya sungguh dalam, kuat dan penuh
kasih. Apalagi, diiringi dengan musik yang lembut dan suara yang indah dari
penyanyinya.

Semakin
intens, kini lampu dimatikan. Kami berdiri di tengah kegelapan, beberapa ada
yang memegang lilin, ada yang menyalakan flash smartphone, ada juga yang
tidak menyalakan apapun. Musisi gereja kembali menyanyikan satu lagu lagi, lalu
dilanjutkan dengan lagu Satu Nusa Satu Bangsa. 

Di titik inilah, pertahananku
runtuh. Air mata deras membasahi pipiku dalam kegelapan. Orang-orang di
sekelilingku pun terisak pelan. Kami semua menyanyikan lagu Satu Nusa Satu
Bangsa dengan penuh penghayatan, sembari dalam hati bertekad bahwa persatuan
ini haruslah dijaga selamanya. Tidak akan kami membiarkan pihak-pihak yang
berniat jahat untuk merusaknya. We will fight together, sembari
bergandengan tangan.

Jadi,
begini ya rasanya? Kehangatan itu sungguh terasa. Aku merasa diterima dan
disambut dengan ramah, tak peduli atribut apapun yang melekat di tubuhku (anyway,
tentu saja saat itu aku memakai kerudung sebagai simbol agamaku).
Solidaritas warga Surabaya terasa nyata, terlebih penerimaan yang tulus dari
para jemaat gereja.  

I’m just wondering, how could they smiled ketika
mereka sendiri disini menjadi korban teror? Mereka bisa saja masih trauma
dengan apa yang telah terjadi barusan. Mereka bisa saja memilih untuk menutup
diri dari dunia luar dan merasa paranoid. Tapi, mereka menampakkan ajaran
agamanya dengan luar biasa, dengan kasih yang tulus ikhlas dan keterbukaan. I
just don’t know how they did it.

Selepas
acara, dengan sisa-sisa air mata menggenang, kami beranjak pergi. Hampir
semuanya menampakkan mata yang merah usai menangis, tetapi senyum lebar tetap
tersungging di wajahnya. 

Kami bersalaman antara satu dengan yang lain. Beberapa
laki-laki dewasa saling berpelukan. Aku bersalaman dengan ibu-ibu yang ada di
sebelahku, lalu jemaat gereja yang lain sigap membentuk pagar betis untuk
menyalami dan berterima kasih atas kehadiran kami disana. 

“Terima kasih
telah hadir,” ucap mereka, sembari bersalaman denganku. Aku hanya
mengangguk sembari mengiyakan, karena tidak bisa berkata-kata lagi atas
kehangatan yang kuterima malam ini.

Sembari
berjalan keluar, aku menengok ke belakang untuk melihat GKI Diponegoro untuk
terakhir kalinya malam itu. Things will never be the same again. Tentu
saja luka itu masih ada, masih tersisa. Namun setidaknya, doa bersama malam ini
mampu menghapuskan perlahan-lahan luka yang ada. 

Dengan teror ini, persaudaraan
kami kian erat, solidaritas kami kian erat dan tak ada seorang pun yang bisa
menghancurkannya lagi suatu saat nanti. Teroris memang bisa mengambil nyawa
saudara kami, tapi tidak pernah bisa merebut persatuan dan persaudaraan ini.
Selamanya.

*Nena
Zakiah,
Pendaki
gunung danfreelance photographerdi sela-sela waktu. Serta bekerja
sebagai jurnalis media cetak di Surabaya. Mendambakan dunia yang damai, tenang
dan menghargai perbedaan.

(foto : Widyanto Setiawan)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!