Perempuan Pekerja Seks: Kemana Kami Harus Mengadu?

*Guruh Riyanto- www.Konde.co

Para mantan pekerja seks Dolly dan Kalijodo marah. Penutupan dan pelarangan kegiatan jual beli seks di Kalijodo dan Dolly tersebut mengakibatkan mereka harus beraktivitas secara sembunyi-sembunyi dan sendiri-sendiri. Akibatnya, hasil kerja mereka semakin habis digerus preman sebagai “pelindung” dan mereka juga rentan akan kekerasan.

Karena tidak tahan, mereka berkonsolidasi dan berunjukrasa! Ratusan pekerja seks masuk ke dalam Masjid Istiqlal dan menduduki tempat ibadah ikonik Indonesia tersebut. Di situ, mereka memaki-maki moralitas, agama, dan kemunafikan masyarakat yang mengakibatkan kondisi kerja mereka makin tertindas. Tuntutan mereka satu, negara harus menjamin hak-hak mendasar para pekerja seks!

Peristiwa tadi tentu tidak benar-benar terjadi. Tapi, bayangkan jika peristiwa tersebut benar, seberapa ramai kira-kira media sosial, media arus utama, pemerintah, atau bahkan serikat buruh akan bereaksi?

Karena di Perancis, pendudukan rumah ibadah oleh para pekerja seks pernah benar-benar terjadi.

Pada 2 Juni 1975, lebih seratus pekerja seks mogok kerja dan menduduki gereja Santo Nizer di kota ketiga terbesar Perancis, Lyon. Pendudukan itu berlangsung selama delapan hari! Perancis adalah negara yang dikenal memiliki para penganut Katholik fanatik ketika itu. Para pekerja seks itu meneriakan yel-yel:

“Ketika kami menduduki gereja-gereja,

moralmu diinjak-dinjak,

kalian para kaum fanatik!

Kalian yang mengancam kami dengan neraka,

Kami datang bersantap di altarmu,

di Santo Nizier,”

Sejak 2 Juni 1976, peristiwa pendudukan itu diperingati sebagai hari pekerja seks international (International Sex Workers’ Day). Tuntutatan para pekerja seks di Lyon, Perancis itu terus menggema dan menyuarakan untuk mendesak pemenuhan hak-hak pekerja seks.

Saat ini, pekerja seks tidak hanya mencakup pelacur, tapi juga penari erotis, dan pemain film porno. Pekerja seks adalah siapapun yang melakukan kegiatan seksual untuk tujuan ekonomi.

Penyiksaan dan Pembunuhan Hantui Pekerja Seks 

Sudah 43 tahun sejak para pekerja seks di Lyon menyuarakan hak-hak mendasar itu, tapi kondisi para pekerja seks di berbagai belahan dunia tak kunjung membaik. Pada November 2016, pengadilan Hong Kong menjatuhkan vonis seumur hidup pada bankir asal Inggris, Rurik Jutting, karena membunuh dua pekerja seks asal Indonesia, Seneng Mujiasih dan Sumarti Ningsih. Pembunuhan itu dilakukan setelah Jutting menyiksa keduanya dengan sadis.

Di Indonesia, kematian pekerja seks komersial juga terjadi. Muhammad Prio Santoso mesti mendekam 16 tahun penjara untuk menebus kesalahan karena membunuh pekerja seks, Deudeuh Alfi atau Tata Chubby. Tata Chubby bekerja sendirian, tanpa germo, dan secara sembunyi-sembunyi. Untung ia menyimpan buku catatan tamu yang membantu polisi melacak pelaku.

Ironisnya, kedua pembunuhan itu membuat heboh. Tapi, kehebohan justru terletak pada pendapat nyinyir karena pekerjaan korban adalah pekerja seks. Padahal, mereka adalah korban kekerasan, penyiksaan, dan pembunuhan.

Kondisi di industri film porno tak jauh beda. Pada 5 Desember 2017, depresi akibat kekerasan dalam proses produksi film porno menggiring August Ames gantung diri di sebuauh taman di Camarillo, New York. Film porno kerap diwarnai adegan-adegan yang mengakibatkan para pekerja seks perempuan menjadi korban kekerasan dan menyisakan trauma serta depresi.

Persoalan kekerasan pada para pekerja seks di berbagai belahan dunia itu, termasuk di Indonesia, kerap kali disikapi dengan penuntasan sederhana, tutup tempat prostitusi. Sejauh saya ingat, hanya Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama yang sempat melontarkan rencana melegalkan prostitusi. Selepas itu, banyak kepala daerah, seperti Wali Kota Surabaya, Tri Risma, menjadikan penutupan prostitusi seolah-olah keberhasilan mereka menjaga moral warganya.

Bagaimana Menjamin Hak-hak Pekerja Seks?

Selama berabad-abad, persoalan pekerja seks memang menjadi persoalan yang tampaknya belum mencapai sebuah konsensus di berbagai belahan dunia. Ada berbagai sikap kekuasaan terhadap para pekerja seks. Sebagian besar negara mempidanakan pekerja seks atau bahkan menjatuhkan hukuman mati, seperti di Iran. Meskipun begitu, ada empat kategori hukum yang tidak mempidanakan pekerja seks dan sebagian dianggap lebih mampu menjamin hak-hak pekerja seks.

Pertama, abolisionisme yang mengizinkan orang menjajakan seks tapi mengkriminalkan mucikari atau pihak ketiga. Hukum seperti ini, seperti di Inggris, dirancang untuk menghentikan prostitusi.

Kedua, neo-abolisionisme yang percaya tidak ada orang yang suka rela menjadi pekerja seks. Namun, tidak ada pidana bagi pekerja seks, pidana dijatuhkan pada yang membeli seks dan menjadi perantara seperti di Swedia.

Ketiga, melegalkan pekerja seks dan mengaturnya.

Dengan begitu, ada izin kerja bagi pekerja seks dan pekerja seks dilindungi sebagai “mitra” seperti di Belanda.

Keempat, menghapuskan segala pidana bagi pekerja seks seperti di Selandia Baru. Langkah ini dianggap mampu menghapus stigma pekerja seks dan menciptakan lingkungan yang lebih aman.

Di Indonesia, persoalan pekerja seks seolah-olah masih menjadi ranah moralitas saja dan tabu diperdebatkan. Dengan kata lain, dimensi “kerja” dari pekerja seks seperti tidak dianggap ada. Alhasil, hingga kini bahkan perdebatan mengenai bagaimana mengatur pekerja seks agar tidak bernasib seperti Tata Chubby seperti tak pernah hadir dari panorama perbincangan.

Selain pemerintah, organisasi masyarakat sipil, termasuk serikat buruh, sepertinya masih belum membuka perbincangan mengenai pekerja seks. Masih banyak pertanyaan yang bahkan belum menjadi perdebatan, alih-alih mendapatkan konsensus.

Apakah melegalkan pekerja seks malah mendorong lahirnya perdagangan manusia? Apakah menjadi pekerja seks bisa menjadi pilihan sebagai bagian dari kekuasaan seseorang terhadap tubuhnya?

Ataukah pekerja seks merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat kemanusiaan (alih-alih dengan sederhana melabeli dosa) karena memperdagangkan tubuh dan menjadikan tubuh sebagai konsumsi? Namun, bagaimana dengan pekerjaan seperti model atau bintang film yang juga mengkomoditaskan tubuh manusia yang harus memenuhi standar-standar terentu?

Perlu kiranya mulai memperbincangkan pekerja seks secara terbuka dengan menyingkirkan kaca mata benar dan salah. Mungkin hak untuk menjadi pekerja seks masih menjadi perdebatan, namun saya kira semua setuju bahwa penyiksaan dan kekerasan harus dihapuskan, termasuk ketika itu menyasar para pekerja seks.

Pada 2 Juni 2018, sudah waktunya sedikit memperkenalkan hari pekerja seks internasional dan memperkenalkan bahwa mereka yang entah “memilih” atau “terjerumus” menjadi pekerja seks memiliki hak-hak untuk minimal tidak disiksa, tidak boleh dibunuh, dan wajib mendapat perlindungan seperti manusia atau bahkan pekerja pada umumnya.

Kapankah kita mulai memperbincangkan atau membahas pertanyaan-pertanyaan pekerja seks?

Apapun jawabannya, saya secara pribadi ingin mengucapkan selamat hari pekerja seks internasional dan mendukung penghapusan kekerasan pada mereka dan berharap perlakuan lebih manusiawi pada mereka. 

Atau kita perlu menunggu para pekerja seks di Indonesia marah, terkonsolidasi, dan menduduki rumah ibadah seperti di Perancis?

*Guruh Riyanto, Bekerja sebagai jurnalis dan aktivis perburuhan

Bacaan Lebih Lanjut:

Hukum-hukum Prostitusi di Dunia

https://en.wikipedia.org/wiki/Prostitution_law

Soal kekerasan di industri film porno

https://tirto.id/di-balik-bunuh-diri-august-ames-ada-kekejaman-industri-film-porno-cEaS

Soal pembunuhan dua pekerja seks di Hong Kong

http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-37905592 

(Foto Pendudukan Gereja di Lyon Perancis)

Tulisan ini merupakan bentuk kerja bersama antara www.buruh.co dan www.konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!