*Vivi Widyawati- www.Konde.co
Mengapa perempuan yang berani melawan pelecehan seksual yang ia alami, malah menjadi bulan-bulanan di kemudian hari?
Jika hal ini terus terjadi, maka tidak akan ada perempuan yang berani bersuara dan melawan pelecehan yang mereka alami.
Situasi ini dialami penyanyi Via Vallen. Pada awal Juni 2018 lalu, karena digoda seorang pemain bola nasional, Via Vallen diminta untuk datang ke kamar laki-laki tersebut dengan pakaian seksi melalui pesan di instagram. Lalu Via Vallen mengunggah pelecehan ini ke instastory tanpa menyebutkan nama si laki-laki.
Namun mengapa banyak yang kemudian menghujat apa yang dilakukan Via Vallen, dianggap ingin mencari sensasi?
Cyber Harassment atau pelecehan melalui internet bagi perempuan adalah serangan langsung yang merendahkan.
Sudah sepantasnya Via Vallen melawan. Keberanian Via Vallen ini penting untuk diapresiasi dan diikuti. Tidak hanya oleh artis atau perempuan penyanyi, secara umum perempuan tidak jarang jadi korban serangan pelecehan melalui media sosial.
Hasil riset Perempuan Mahardhika yang dilakukan pada 733 buruh perempuan di Kantor Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta pada Agustus- Oktober 2018 menyebutkan, bahwa buruh perempuan yang mengaku mengalami pelecehan melalui media sosial sebanyak 43,2 %.
Pelecehan tersebut dilakukan dengan cara para laki-laki mengirimkan gambar porno, hal ini paling banyak terjadi (28%)/ Laki-laki yang melakukannya adalah laki-laki dari orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal.
SMS seksual dan telepon seksual termasuk banyak yang dialami perempuan, yaitu masing-masing 26,4% dan 17,6% dari yang pernah mengalami cyber harassment.
Karena cyber harrrasment yang banyak terjadi inilah yang membuat buruh perempuan korban pelecehan banyak belum bersuara. Sehingga suara dari Via Vallen adalah bagian kekuatan korban melawan pelecehan. Karena seharusnya jika diberikan ruang keberanian, maka akan semakin banyak perempuan yang bersuara dan lantang melawan pelecehan seksual yang mereka alami.
Secara kultur perempuan yang melawan apalagi melawan pelecehan yang ia alami memang seringkali dianggap tidak sepantasnya. Perempuan lebih pantas jika tunduk, tidak melawan, Jadi perempuan yang berani bersuara kadang dianggap sebagai perempuan yang tidak lumrah atau melawan kultur, karena kultur menyebutkan bahwa perempuan tak boleh melawan laki-laki. Padahal ini adalah mitos-mitos yang kemudian menjerat perempuan.
Mitos lain yang dikritik oleh feminis radikal misalnya secara konstruksi sosial perempuan diidentifikasi sebagai orang yang melakukan sesuatu yang tidak pernah tampak, sedangkan laki-laki melakukan sesuatu yang tampak, maka perempuan yang berani bersuara dianggap tidak semestinya karena biasanya perempuan tak pernah tampak.
Perempuan Mahardhika menganggap harus ada sikap tegas pemerintah, sekaligus mengupayakan mekanisme pengaduan dan pembelaan bagi setiap korban pelecehan di dunia maya. Perempuan harus berani bersuara untuk membangun kesetaraan, untuk melawan pelecehan seksual di manapun dan dalam bentuk apapun.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Vivi Widyawati, Pengurus Perempuan Mahardhika, Jakarta.