“Sejumlah buruh kantoran Tokyo tertidur dalam perjalanan metro. Beberapa diantaranya adalah perempuan. Apakah ini akan mengantarkan mereka dalam sepi, dalam kematian panjang diantara deru mesin pabrik yang biasa mereka gerakkan setiap harinya?.“
*Yab Sarpote- www.Konde.co
“Kinō no yoru wa nanji ni nemashita ka?” tanya saya dengan bahasa Jepang yang compang-camping. Semalam kamu tidur jam berapa?
“Watashi wa, gozen 2-ji ni ne” jawabnya. Jam 2 pagi.
“Shinjirarenai! Anata wa motto nemuru baka desu, Keiichi,” timpal saya. Serius? Kamu harus tidur lebih banyak, Keiichi.
Keiichi tersenyum, lalu meminum 2 cangkir sake. Malam ini dia hampir menghabiskan 1 liter sake sendirian. Dia baru tidur jam 2 pagi hari ini, lalu harus bangun jam 6 pagi untuk bekerja.
“Sudah biasa di Tokyo. Buruh kantoran tidur 4-5 jam hampir setiap hari, apalagi kalau ada acara besar seperti ini,” cerita Keiichi.
Saya menggelengkan kepala.
“Pantas saja banyak buruh kantoran Jepang mati saat bekerja ya?” tanya saya.
“Hai. Di mej kantor, di trotoar, di metro, di stasiun. Sore wa kanashī,” jawabnya. Ini menyedihkan.
“O kinodoku ni” jawab saya. Saya turut sedih.
Hari itu adalah hari ke-5 saya berada di Tokyo. Ada sebuah konferensi industri yang harus saya hadiri selama satu minggu. Majikan saya membayari semua keperluan saya selama di Tokyo. Namun, sebagai gantinya, saya harus bekerja lembur rata-rata 3-4 jam hampir setiap hari untuk mengikuti semua jadwal konferensi.
Saya sendiri baru tidur jam 12 pada malam sebelumnya, dan harus bangun jam 7 pagi hari ini untuk mengejar jadwal metro. Kalau ini saya anggap keterlaluan, entah bagaimana Keiichi yang hampir setiap hari tidur 4-5 jam saja.
Keiichi bukan satu-satunya.
Saya tinggal di sebuah penginapan di Chiyoda-ku. Setiap hari saya menempuh 90 menit perjalanan metro menuju tempat konferensi di pinggiran Tokyo. Setiap hari pula saya berpapasan dengan buruh-buruh kantoran yang bergegas di trotoar, di metro, di stasiun, dan di simpang jalan. Banyak diantaranya perempuan.
Para buruh kantoran ini tampak sangat letih. Mereka tertidur di kereta, di lorong-lorong bawah tanah subway, hingga pingsan di stasiun. Ini adalah hal yang tidak sekali dua kali saya saksikan. Tetapi yang sulit saya pahami, di tengah tekanan kerja tersebut, mereka selalu tampak berusaha teguh dan kuat.
“Profesionalisme sejati. Orang-orang di sini percaya hal ini. Bahkan kalau belum sakit, artinya belum benar-benar berdedikasi,” kata Keiichi.
“Profesionalisme? Lebih terdengar seperti masokisme,” tandas saya.
“Masochism? Dōiu imidesu ka?” tanya Keiichi. Masokisme? Maksudnya apa?
“Masokisme? Ya itu. Keranjingan rasa sakit. Rasa sakit sebagai bukti ‘kesuksesan’ juga termasuk,” jawab saya.
“Ah. Kamoshirenai,” jawab Keiichi. Mungkin saja.
Keiichi bercerita, seringkali banyak aturan tak tertulis dalam hubungan kerja di sini. Misalnya soal jam kerja. Para buruh yang lebih muda biasanya tidak seharusnya pulang lebih awal daripada para senior dan majikannya.
Selain itu juga banyak perjanjian kerja yang tidak jelas soal batas kerja yang wajib dilakukan. Jadi, bekerja melebihi kewajiban perjanjian adalah hal yang lazim bahkan diharapkan oleh majikan, pelanggan, dan sesama pekerja.
“Omotenashidesu,” jelas Keiichi. Ini namanya Omotenashi.
Ada kultur yang mendarah-daging dalam relasi manusia di Jepang, khususnya dalam layanan dan jasa. Omotenashi adalah prinsip untuk selalu memberikan layanan dan jasa yang terbaik bukan karena mengharap imbalan, tetapi niat baik yang tulus.
Dalam hubungan manusia sehari-sehari, tentu ini sangat membahagiakan. Sejak hari pertama di Jepang, tidak jarang saya mendapat bantuan sukarela yang tulus dari orang-orang di sini, entah membantu saya memahami cara kerja metro Tokyo yang paling rumit sedunia, mengajari saya mengisi ulang kartu Suica (kartu metro), atau mengembalikan dompet teman saya yang terjatuh di jalan.
Namun, dalam konteks kerja upahan, para buruh ini tentu saja berakhir dengan eksploitasi kerja yang makin parah, saat mereka harus bekerja lebih keras daripada upah yang mereka terima. Ketulusan untuk membantu sesama jadi lahan basah manipulasi para majikan. Padahal, bukankah majikan alias perusahaan-perusahaan ini tak pernah tulus mengupah para pekerja? Jika mereka tak membawa profit bagi perusahaan, bukankah mereka akan dipecat?
“Tapi orang-orang sangat bangga dengan prinsip ini. Sudah seperti jati diri. Kamu bisa melihatnya sebagai salah satu slogan Olimpiade Tokyo 2020, Omotenashi,” lanjut Keiichi.
“Oh ya ya. Tapi saya dengar sudah jatuh korban bunuh diri selama pembangunan stadion Olimpiade? Sore wa karoshidatta?” tanya saya. “Bukankah itu kasus karoshi?”
“Hai, soreha karoshideshita.” Iya. Itu kasus karoshi.
Karoshi, fenomena yang dikenal luas di Jepang kontemporer ini, secara harafiah berarti “tewas akibat terlalu banyak kerja”. Buruh tewas akibat serangan jantung atau stroke karena stres atau pola makan dan hidup yang tidak sehat akibat terlalu banyak bekerja menjadi fenomena berulang di Jepang.
Dalam kasus pembangunan stadion Olimpiade, jasad seorang buruh subkontraktor berumur 23 tahun ditemukan pada April tahun lalu, di pegunungan Jepang tengah, berminggu-minggu setelah dia hilang. Ditemukan juga surat perpisahan miliknya, menceritakan bahwa dia “secara fisik dan mental dipaksa melampaui batasnya.”
Bulan sebelum bunuh diri tersebut, dia bekerja lembur sebanyak 190 jam, atau rata-rata sekitar 7 jam lembur setiap hari kerja.
“Tragis. Tetapi mengapa bunuh diri di pelosok terpencil di gunung? Mengapa tidak protes?” tanya saya pada Keiichi.
“Ya seperti yang saya bilang tadi. Profesionalisme sejati. Bangga kalau bisa bekerja sekeras mungkin. Malu kalau banyak mengeluh sementara orang-orang bekerja keras dengan tekun dan setia. Ya ini sesuatu yang tidak terlihat, tetapi benar-benar ada. Jadi mungkin lebih baik bunuh diri saat sudah tidak kuat di tempat yang tidak diketahui orang, daripada protes lalu dicap tidak tahu terima kasih dan aneh. Hidup dengan rasa malu mungkin lebih menakutkan daripada bunuh diri atau mati saat bekerja,” jawab Keiichi.
Kudokhusi: Mati dalam Sepi
Hari itu adalah 1 hari sebelum konferensi berakhir. Malam itu saya makan malam bersama Keiichi dan buruh-buruh kantoran lainnya yang mengikuti konferensi. Ada Hirotada dari perusahaan lain yang juga yang banyak berbincang dengan kami. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, malam ini mereka bercerita dengan lepas. Mungkin karena sake yang mereka minum, atau mungkin juga karena kami sudah muak dengan basa-basi bisnis sepanjang waktu.
Mayoritas kami adalah buruh-buruh kantoran yang dikirim untuk menjalin koneksi satu sama lain di pasar global, membuka peluang-peluang bisnis baru, dan ya mencapai deal-deal baru untuk majikan. Ya, apa pun sebutannya, kami adalah pelacur-pelacur kantoran yang dimodali untuk menyeberangi samudera supaya membawa harta karun lebih banyak untuk majikan di rumah.
Maka dari itu, kami bukanlah diri kami saat jam-jam bisnis. Kami semua menggunakan topeng untuk bertahan hidup. Sejumlah buruh kantoran yang pintar memakai topeng tentu mudah bergaul dengan calon-calon kliennya. Senyum mereka mempesona, bahasa Inggris mereka sempurna, etiket bisnis mereka luar biasa. Sementara buruh-buruh kantoran yang terlalu jujur dan tulus seperti Hirotada dan Keiichi seringkali berakhir kebingungan dan kikuk dengan basa-basi dan formalitas bisnis global, lalu memilih untuk mengasingkan diri di sudut-sudut ruang konferensi. Saat-saat terasing inilah, saya menemukan lubang yang sama di hati kami.
“Sangat sulit saat kamu tidak tahu harus mulai dari mana. Semua basa-basi ini,” kata Keiichi.“Jadi ya mari kita bicarakan saja hal-hal yang tidak serius, hal-hal pribadi. Lagipula ini jam makan malam,” sambung Keiichi.
“Watashi wa totemo shiawase ni narimasu,” balas saya. Saya akan senang sekali.
Tak ada yang lebih membahagiakan daripada 2-3 buruh berkumpul untuk membicarakan kehidupan kelasnya.
Seperti tren di banyak tempat di dunia, saya pikir spesialisasi dan restrukturisasi peran kerja ke dalam unit-unit kecil makin mengisolasi rasa senasib-sepenanggungan antar kelas pekerja, khususnya buruh kantoran. Buruh-buruh kantoran makin teratomisasi dari waktu ke waktu, makin terindividualkan satu sama lain, karena tugas-tugas kerja yang makin teratomisasi di seluruh dunia. Seringkali membicarakan hal-hal di luar pekerjaan, apalagi hal-hal yang menyangkut hidupnya sebagai kelas pekerja, adalah hal tabu, tidak pantas.
“Jadi, semua ketidak-pedulian satu sama lain ini, apa juga ada kaitannya dengan Kudokushi,” tanya saya.
“Kamoshirenai,” jawab Keiichi. Mungkin.
Kudokushi yang berarti “mati dalam sepi” adalah fenomena lain yang meningkat di Jepang, khususnya menimpa para lansia berumur 50-60 tahun ke atas. Orang-orang yang mengalami kudokushi biasanya meninggal tanpa diketahui orang-orang bahkan hingga bertahun-tahun. Kejadian pertama yang heboh di berita nasional Jepang adalah jasad seorang berusia 69 tahun yang ditemukan tiga tahun setelah kematiannya.
Jaringan siaran berita nasional Jepang melaporkan bahwa 32.000 lansia di seluruh negeri meninggal dalam sepi pada tahun 2009. Jumlah kudokushi meningkat tiga kali lipat antara tahun 1983 dan 1997, dengan 1.094 laporan kematian di Tokyo pada 1994. Pada 2008, ada lebih dari 2.200 laporan kudokushi di Tokyo. Jumlah serupa juga dilaporkan pada 2011.
Sejumlah hipotesis psikologis mengemukakan bahwa kemunculan dan meningkatnya kudokushi bisa jadi disebabkan oleh ketidak-pedulian sosial dan tekanan hidup dalam kerja modern. Isolasi sosial menjadi pelarian bagi banyak orang sebagai mekanisme untuk menghadapi situasi frustatif, seperti kerja upahan.
Saya teringat para lansia, buruh-buruh tua perempuan yang bekerja sebagai pekerja kebersihan di stasiun Maihama, dekat tempat saya bekerja. Setiap hari saat jam-jam makan siang, saya selalu duduk di kursi stasiun untuk mengamati mereka. Umur mereka mungkin sudah 60 tahun lebih.
Makan malam bersama ditutup pukul setengah sepuluh malam. Seperti saya, dan jutaan buruh-buruh Tokyo setiap hari, Hirotada dan Keiichi pulang dengan metro. Saya mengucapkan salam perpisahan, karena mungkin hari ini hari terakhir saya bertemu dengan mereka.
Dari tempat makan, saya berjalan kaki menuju stasiun. Malam itu Tokyo gerimis. Hujan pertama minggu itu. Di lorong-lorong subway, masih terdengar gema sepatu buruh-buruh kantoran Tokyo berlarian, bergegas pulang.
Metro melesat seperti peluru, mengubah dinding-dinding bawah tanah menjadi mozaik-mozaik acak, mengantarkan buruh-buruh yang lelah yang sekali lagi mencoba mengakali waktu yang sudah lama bukan milik kami. Namun, walaupun semakin jauh metro membawa saya pergi, pikiran saya masih terpaut bersama Keiichi, pada pertanyaan penutup sebelum kami berpisah:
“Sore wa watashitachi no unmeidesu ka? Die alone like a machine?” tanya saya. Apakah ini nasib buruh-buruh kantoran seperti kita? Mati dalam sepi, seperti mesin?
“Shiranai,” jawab Keiichi. Aku tak tahu.
*Tulisan perjalanan yang ditulis oleh Yab Sarpote, seorang buruh kantoran penuh-waktu.
(Foto: Buruh perempuan yang tertidur dalam perjalanan ke tempat kerja dan sedang mengantri tiket perjalanan)
(Tulisan ini pernah dimuat di www.buruh.co, atas kerjasama dengan www.Konde.co)