Glen Jankowski, Leeds Beckett University
Perawatan tubuh untuk laki-laki telah menjadi industri miliaran dolar di seluruh dunia, berkat semakin banyaknya pria yang menngeluarkan uang demi penampilan mereka. Sabun muka, pelembab, pembersih pori-pori dan perontok rambut sekarang telah banyak ditemukan di di kamar mandi para pria, termasuk kosmetik wajah.
Mengingat bahwa sudah ada laki-laki yang menjadi duta laki-laki untuk Cover Girl, bahwa ada bagian di toko kecantikan khusus produk laki-laki dan bahwa artikel-artikel dalam majalah pria juga telah menyanjung kegunaan produk seperti concealer, nampaknya tahun 2018 dapat menjadi tahun di mana kosmetik wajah untuk laki-laki menjadi hal yang umum.
Selama berpuluh tahun, perusahaan kosmetik telah mencoba menjual produknya untuk laki-laki. Namun tantangannya, sebagaimana semua pegiat pemasaran tahu, adalah bagaimana membuat pria percaya bahwa kosmetik itu jantan. Beberapa perusahaan mencoba memilih nama yang lebih jantan untuk produknya-misalnya merubah citra mascara menjadi manscara, eyeliner menjadi guyliner, alas bedak (foundation) menjadi tinted moisturiser (pelembab berwarna).
Beberapa orang berargumen, bahwa riasan wajah dapat memberikan “manfaat maskulin” untuk pria dengan memberikan kontur untuk mempertegas rahang, yang dapat menarik perhatian perempuan, atau dengan memperbaiki masalah kulit seperti, “sulam janggut” dan “mata sayu”.
Satu dari beberapa cara yang efektif yang membuat para pria membeli kosmetik wajah wajah adalah melalui vlogging soal kosmetik laki-laki. Semakin banyak pria memberikan tutorial merias wajah untuk pria lain (dan terkadang wanita) melalui YouTube dan situs vlogging lainnya. Vlog sangat populer diantara audiensi pemuda. Berdasarkan hasil survei lebih dari setengah orang yang berusia 16 hingga 24 tahun, menonton vlog dalam sebulan terakhir. Banyak dari mereka juga lebih sering menonton vlog dibandingkan dengan menonton BBC atau saluran lainnya.
Iklan tersembunyi
Perhiasan wajah adalah salah satu topik vlogging yang paling populer–dan vlog dengan konten merias wajah oleh youtubers pria seperti Patrick Starrr, James Charles dan Jeffree Star memiliki total 6 juta pelanggan. Sekitar 11% dari penonton mereka adalah laki-laki dan hampir 20% nya berada di bawah 17 tahun.
Vlogging soal kosmetik dapat menjadi bisnis yang menguntungkan bagi laki-laki. Vlogger perias wajah terkenal mendapatkan sepuluh ribu poundsterling (sekitar Rp189 juta) dalam sebulan hanya dari pelanggan nya di youtube. Dan banyak dari vlogger juga memasarkan riasan wajah dan busana nya sendiri.
Perusahaan kosmetik juga akan bekerja keras untuk dapat menampilkan produk mereka dalam video-video semacam ini–baik dengan memberikan produk gratis kepada vlogger atau kontrak resmi dengan para vloger tersebut. Dengan cara seperti ini, ulasan riasan wajah kemungkinan besar berpihak pada perusahaan kosmetik jika perusahaan dari produk yang ditampilkan mendanai video tersebut.
Meskipun beberapa vlogger secara jelas menyatakan video mereka adalah iklan, pemirsa video kerap tidak menyadari adanya penafian tersebut. Sebuah survei yang dilakukan belakangan ini di AS contohnya, menemukan bahwa beberapa penonton vlog menyebutkan bahwa mereka menonton bukan untuk mendapatkan ide-ide mengenai produk kosmetik tapi untuk hiburan.
Iklan palsu
Tentu saja, teknik pencahayaan yang membuat wajah terlihat menarik, sudut kamera yang strategis, dan bahkan “living airbrushing” juga dapat membuat vlogger terlihat lebih menawan secara konvensional dibandingkan penampilan mereka sebenarnya–artinya kemampuan sebenarnya dari kosmetik wajah tersebut sebenarnya terlalu di lebih-lebihkan. Kebohongan semacam ini di masa lalu telah membuat beberapa kampanye media cetak dilarang, tetapi vlog tampaknya bisa menghindar dari peraturan seperti itu.
Dan ini artinya bahwa iklan untuk produk sekarang semakin menjangkau apa yang dulunya adalah pasar yang tidak tersentuh-pria. Pria juga sekarang merasakan beberapa tekanan soal penampilan mereka seperti apa yang wanita alami. Sebagaimana dikatakan oleh feminis Jean Kilbourne tentang pertumbuhan seksualisai tubuh laki-laki dan perempuan dalam iklan:
Ini bukan jenis kesetaraan gender yang orang-orang perjuangkan.
Bagi vlogger laki-laki perias wajah, keluar dari konstruksi peran gender secara tradisional, dalam masyarakat di mana norma dan ekspektasi terhadap gender tertanam kuat, adalah suatu langkah positif. Tetapi ini ada ongkosnya: lebih banyak tekanan bagi laki-laki untuk terlihat menarik (yang dapat diraih).
Meningkatnya Tekanan
Penelitian menunjukkan bahwa seperti perempuan pada umumnya, pria juga semakin tidak puas dengan tubuh mereka. Banyak dari mereka punya hubungan yang problematis dengan makanan dan beralih ke minuman protein-dan bahkan steroid–sebagai upaya nekat dalam memenuhi tekanan-tekanan ini.
Tidak mengherankan jika laki-laki merasakan perasaan seperti ini, mengingat bahwa sebagian besar gambar di majalah populer, situs kencan dan porno adalah pria muda yang berotot–yang hampir selalu miliki rambut tebal.
Namun, penelitian ini juga menunjukkan adanya “standar ganda berbasis gender” di mana pada idealnya pria memiliki sedikit lebih banyak “ruang gerak” dalam penampilan mereka dibandingkan perempuan. Secara khusus, masih ada representasi pria yang lebih realistis daripada wanita di media populer–contohnya pria-pria dengan tipe seperti aktor Sean Connery dan Seth Rogan.
Tapi sangat mungkin kosmetik untuk pria akan menghapus standar penampilan ganda berbasis gender ini dan menghilangkan “ruang gerak” bagi laki-laki. Ini bisa menambah tekanan untuk pria agar tidak saja perlu berotot dan tinggi, tetapi juga tidak memiliki pori – pori, kerutan atau noda kulit.
Jadi meskipun kosmetik untuk pria dapat merepresentasikan cara-cara pria mendobrak norma gender, kosmetik pria juga memberi tekanan tambahan bagi pria untuk terlihat “sempurna”-memiliki kulit tanpa noda, alis yang kuat dan tulang pipi yang tajam. Dan seperti yang banyak wanita tahu, kosmetik memiliki sisi gelap-semakin Anda sering memakainya, semakin Anda yakin Anda tidak bisa tampil menawan tanpanya.
Glen Jankowski, Senior Lecturer in the School of Social Sciences, Leeds Beckett University
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.