Poedjiati Tan- www.Konde.co
Beberapa hari yang lalu saya menjadi saksi seorang sahabat yang sedang bercerai di pengadilan agama. Saya yang tidak pernah mengunjungi pengadilan agama agak terkejut, karena dalam benak saya membayangkan pengadilan agama seperti pengadilan negeri.
Pengadilan
agama di Surabaya ini seperti rumah besar, berjubel orang yang sedang menunggu,
penuh sesak, bahkan sampai harus duduk di lantai. Dari pintu masuk hingga mushola
di belakang semuanya penuh sesak dan sumpek. Menurut data pada 2017, Pengadilan Tinggi Agama Surabaya mencatat angka
tertinggi pertama memutus perkara cerai talak sebanyak 26.342 perkara dan cerai
gugat 58.497 perkara.
Bahkan kata teman saya, bila ingin mendapatkan antrian nomer awal harus datang pagi-pagi. Dia sendiri yang sudah datang jam enam pagi masih dapat nomer 20, dan masuk ke ruang sidang pukul 11 siang. Belum lagi persidangan yang harus berkali-kali dan harus deposit uang untuk proses perceraian.
Melihat berjubelnya orang yang sedang mengurus perceraian, membuat saya berpikir tentang gencarnya ajakan untuk menikah muda dan juga ajakan untuk berpoligami di media sosial akhir-akhir ini.
Dalam sejumlah kampanye ajakan menikah muda tidak pernah menceritakan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Seperti bagaimana repotnya mengurus perceraian, mulai dari antrian yang panjang, mediasi, persidangan yang berkali-kali dan juga biaya yang harus dikeluarkan.
Kampanye menikah muda hanya menonjolkan kesenangan, menikmati hubungan seksual yang halal, dan romansa orang berpacaran yang halal. Bahkan mereka mencantumkan hasil penelitian yang dilakukan di Amerika tentang kebaikan menikah muda.
Seakan-akan menjadi legitimasi bahwa menikah muda itu baik dan sehat. Yang tidak disebutkan dalam artikel tersebut adalah soal kemandirian orang barat. Pada umur 18 tahun, orang barat umumnya sudah mandiri dan keluar dari rumah orang tuanya, sedangkan di Indonesia masih tergantung dengan orang tuanya.
Mereka tidak pernah tahu bagaimana tanggung jawab yang harus dipikul ketika sudah menikah. Bagaimana beban ganda perempuan yang harus dijalani ketika menjadi seorang istri.
Saya pernah mendengar seorang ibu muda yang mengeluh kalau dia punya dua bayi di rumah, satu bayinya yang baru berumur beberapa bulan. Dan ia juga mengeluhkan bahwa ia harus mengurus suami yang tidak mau membantu pekerjaan rumah tangganya. Betapa lelahnya habis melahirkan tapi masih harus melayani suaminya dan menyiapkan semua kebutuhannya.
Dan ketika terjadi perceraian maka beban stigma perempuan juga bertambah, yaitu ada stigma yang dilekatkan sebagai perempuan yang tidak becus mengurus suami dan anak.
Tidak hanya kampanye menikah muda, beberapa hari ini saya juga melihat meme yang seakan-akan menikah adalah sebuah solusi bagi perempuan. Beberapa tulisan dalam meme tersebut adalah:
“Saat wanita lelah bekerja maka ia hanya ingin dinikahi”
Dan meme yang lainnya, “Haus??? Minum..! Lapar.?? Makan..! Bokek.???Nikah.! Biar ada yang menafkahin.
Menikah seperti solusi yang mudah dan menjanjikan kehidupan yang gampang, enak, tidak melelahkan atau repot mencari uang bagi perempuan. Hal ini seperti melemahkan perempuan dan menganggap perempuan tidak perlu mandiri karena bisa menggantungkan dirinya kepada suami.
Menikah atau tidak bagi perempuan adalah keputusan pribadinya, bukan jalan pintas ekonomi ataupun hanya untuk menghalalkan hubungan seks semata. Tetapi pilihan sadar dan bertanggung jawab akan masa depannya sendiri dan anak-anak yang akan dilahirkannya.