*Ega Melindo- www.Konde.co
Gerak Lawan, sebuah koalisi nasional di Indonesia yang bertujuan melawan praktik neokolonialisme dan imperalisme di Indonesia, mempunyai sejumlah catatan tentang apa yang sudah dilakukan Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) di Indonesia. Catatan ini dikeluarkan di tengah sosialisasi Environmental and Social Framework (ESF) di Indonesia.
Dalam catatannya, Gerak Lawan yang diisi oleh komunitas maupun organisasi yang bergerak untuk petani, buruh migran, nelayan, perempuan, kelompok muda, advokat HAM memandang ESF Bank Dunia tak lain adalah topeng baru untuk praktik usang. Alih-alih mengurangi kemiskinan, Bank Dunia justru menjadi aktor bagi kebijakan dan proyek pembangunan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan merusak lingkungan.
Bank Dunia juga memiliki kekebalan mutlak dan sulit dimintai pertanggungjawabannya atas berbagai krisis yang merupakan dampak dari model pembangunan yang eksploitatif.
Catatan ini juga dilakukan untuk mengingatkan rakyat Indonesia akan jejak perampasan ruang hidup dan hak-hak dasar rakyat di berbagai wilayah akibat model pembangunan yang didorong oleh Bank Dunia dan juga IMF.
Salah satunya yang masih bermasalah selama 33 tahun hingga hari ini adalah kasus Kedung Ombo. Pembangunan waduk yang dimulai sejak tahun 1985 saat rezim Orde Baru yang sentralistik dan militeristik masih berkuasa, dibiayai dari utang Bank Dunia senilai USD 156 juta dan Bank Exim Jepang USD 25,2 juta.
Proyek tersebut telah menggusur setidaknya tanah seluas 7.394 Ha hak milik dari 5.823 KK, yang bermukim di 37 desa di tujuh kecamatan yang berada pada tiga kabupaten yaitu Boyolali, Grobogan dan Sragen, Propinsi Jawa Tengah.
Hingga kini persoalan ganti rugi masih terus ditagih oleh masyarakat korban pembangunan bendungan kepada Bank Dunia dan Pemerintah. Berbagai kasus utang dan intervensi perubahan kebijakan telah mengakibatkan penderitaan rakyat di berbagai sektor. Sigit dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) menceritakan bahwa tahun 1999 merupakan penanda perubahan besar pada sektor air.
Munculnya kebijakan untuk melakukan reformasi sektor sumberdaya air di Indonesia dimulai dengan dorongan oleh Bank Dunia melalui Water Resources Sector Adjustment Loan Project (WATSAL). Melalui proyek utang senilai senilai USD 300 juta, Bank Dunia mendorong perubahan pada aspek pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan layanan. Privatisasi, komersialisasi hingga korporatisasi menjadi agenda utamanya. Akibatnya rakyat miskin di perkotaan hingga petani di pedesaan menanggung penderitaan tidak memiliki akses air yang baik.
Dinda N Yura dari Solidaritas Perempuan menegaskan soal mustahilnya memikirkan penyelamatan sosial lingkungan, apalagi berbicara keadilan gender, ketika sistem ekonomi yang dihasilkan Bank Dunia dan institusi ekonomi global lainnya justru menjadi aktor kehancuran dunia.
Selama hampir 74 tahun, Bank Dunia telah berkontribusi aktif dalam memperlebar ketimpangan, memperkuat pemiskinan serta penindasan dan kekerasan terhadap perempuan.
Perempuan terus digusur, ruang hidupnya dirampas, sumber mata airnya direbut, nilai sosial dan pengetahuannya dihancurkan, tidak hanya akibat proyek infrastruktur yang didanai Bank Dunia, tetapi juga akibat campur tangan Bank Dunia di dalam berbagai kebijakan. Intervensi Bank Dunia di sektor ketenagakerjaan juga semakin memperburuk kondisi buruh di Indonesia, khususnya perempuan buruh migran.
Zainal A Fuad dari Serikat Petani Indonesia menambahkan bahwa selama ini, Bank Dunia dan IMF hanya menguntungkan korporasi dan kapitalis. Bank Dunia telah membajak reforma agraria dan pembangunan pedesaan dengan memaksa negara menerapkan kebijakan neoliberal melalui jebakan utang.
Di sektor agraria, Bank Dunia mendorong penerapan reforma agraria berbasis pasar dengan proyek sertifikasi lahan yang akan berdampak pada penguasaan individu sehingga memudahkan infiltrasi kapital. Melalui proyek Forest Investment Program (FIP) dalam kerangka REDD+, Bank Dunia mendorong legalisasi perampasan lahan petani dan kemitraan dengan korporasi untuk mengelola konservasi hutan. Oleh karena itu, kita sudah harus membangun alternatif. Yaitu World Beyond Banks.
Pada sektor kelautan dan perikanan Marthin Hadiwinata dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, mengungkapkan bahwa Bank Dunia juga turut aktif dalam perampasan sumber-sumber kehidupan nelayan tradisional dan rakyat di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Salah satu bentuk intervensi nyata Bank Dunia dengan mendorong adanya privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil dengan kedok pengaturan pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau kecil. Melalui klaim bahwa pengelolan laut yang dianggap akses terbuka (open access), Bank Dunia menawarkan solusi privatisasi.
Di sisi lain konservasi berbasis hutang telah gagal dengan adanya Laporan BPK Tahun 2012 atas Proyek Coremap-CTI yang menunjukkan kegagalan capaian, adanya korupsi serta tiadanya partisipasi publik.
Catatan ini menunjukkan tentang topeng baru dengan politik usang yang telah dilakukan Bank Dunia dan IMF. Nyatanya, apa yang dilakukan justru menambah persoalan baru.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Ega Melindo, aktif di Solidaritas Perempuan di Jakarta