Poedjiati Tan- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co – Jika kita melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, angka perkawinan usia anak di Indonesia kini mencapai 25,71%.
Dari prosentase ini, sebanyak 12,76%nya disumbang oleh DKI Jakarta. Hal inilah yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan angka perkawinan usia anak tertinggi ke-7 sedunia.
Kelurahan Cipinang Besar Utara adalah salah satu kelurahan di kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur yang mempunyai jumlah penduduk di 2018 sebanyak 58.040 jiwa, terdiri dari 29.907 laki-laki dan 28.133 perempuan. Sedangkan kewilayahannya terbagi dalam 14 Rukun Warga (RW) dengan beberapa RW yang mempunyai tingkat kepadatan hunian cukup tinggi.
Lurah Cipinang Besar Utara, Sri Sundari mengungkapkan, bahwa di kelurahan ini perkawinan anak masih terjadi, kadang tidak tercatat karena menikah siri. Banyak alasan anak-anak tersebut menikah antara lain karena kondisi ekonomi, atau karena pergaulan sehingga hamil.
“Cipinang Besar Utara termasuk wilayah padat penduduk. Ada anak yang menikah karena kondisi ekonomi yang buruk atau pergaulan,” kata Sri Sundari.
Dampak dari perkawinan usia anak begitu komplek. Mereka akan tercabut dari kesempatan menuntaskan pendidikan 12 tahun, mengalami gangguan kesehatan reproduksi, berpotensi terjadi KDRT, berpotensi menambah beban orang tua pengasuhan cucu (anak), rentan meninggal saat melahirkan, rentan bayi meninggal, rentan memiliki anak stunting dan masih banyak kerugian yang dialami oleh anak.
Organisasi kesehatan dunia WHO pada 2014 menyebutkan bahwa perempuan yang melahirkan pada usia 10 – 14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20 – 24 tahun, dan resiko ini meningkat dua kali lipat pada anak usia 15 – 19 tahun.
Kementerian Kesehatan mengonfirmasi kehamilan yang terlalu muda sebagai salah satu penyebab kematian maternal. Kenyataan tersebut menunjukan bahwa perkawinan anak telah melanggar hak anak, antara lain, hak atas pendidikan, kesehatan, tumbuh kembang, dan bebas dari kekerasan seksual. Perkawinan anak juga berdampak turunnya Indek Pembangunan Manusia (IPM).
“Perkawinan usia anak bisa macam-macam alasannya, rata-rata karena alasan ekonomi atau karena sudah hamil duluan. Perkawinan usia anak berdampak buruk untuk masa depan anak, anak tidak bisa sekolah lagi, kesehatanya menjadi rentan, menambah beban keluarga, dan mengulang rantai kemiskinan,” kata Sri Sundari.
Hal inilah yang mendasari Sri Sundari mengeluarkan Surat Edaran Lurah Cipinang Besar Utara No. 586/SE/2018 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak pada 9 Oktober 2018 kemarin, agar semua pihak peduli dan terlibat aktif dalam upaya ini, termasuk orang tua. Surat edaran ini merupakan kebijakan pertama di Jakarta yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mencegah perkawinan usia anak.
“Kalau bisa, anak-anak dapat menikmati masa kanak-kanaknya dan terpenuhi hak-haknya. Dan menjadi tanggung jawab orang tua untuk tidak menikahkan anaknya di usia anak,” harap Sri Sundari.
Sesungguhnya upaya pencegahan perkawinan usia anak ini sudah dilakukan sejak lama, bahkan dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama pada tahun 1999 lalu, para pejuang perempuan Indonesia sudah membahas hal ini. Sampai sekarang, ternyata perempuan Indonesia masih menghadapi persoalan yang sama dan justru semakin serius.
Listyowati, Ketua Yayasan Kalyanamitra menjelaskan dalam pernyataan persnya bahwa, Pemerintah Indonesia harus tegas melarang perkawinan usia anak perlu memprioritaskan revisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena, UU ini masih menjadikan usia 16 tahun sebagai usia minimum kawin bagi perempuan, yang artinya UU ini melegalkan perkawinan anak (Pasal 7, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Perkawinan anak menjadi salah satu indikator dalam Tujuan Kelima dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Indonesia merupakan salah satu negara yang menyetujui SDGs dan berkomitmen untuk menghapuskan perkawinan anak di Indonesia pada tahun 2030. Komitmen internasional ini ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (PerPres) No.59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Berdasar PerPres No.59 Tahun 2017 ini kemudian memandatkan pemerintah-peerintah daerah untuk melakukan upaya pencapaian SDGs tersebut,” ujar Listyowati.
DKI Jakarta saat ini sedang menyusun Rencana Aksi Daera tentang SDGs dan membentuk Kelompok Kerja SDGs. Salah satunya isu prioritas adalah perkawinan anak. Apa yang dilakukan oleh Lurah Cipinang Besar Utara menjadi satu langkah penting yang akan menyumbang capaian Tujuan Kelima dari SDGs.
Di saat bersamaan, Lurah Cipinang Besar Utara bersama dengan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Lembaga Masyarakat Kota (LMK), PKK dan Kalyanamitra menandatangani Surat Kesepakatan Bersama tentang Optimalisasi Peran Layanan Posyandu yang Berkelanjutan dan Responsif Gender. Surat Kesepakatan Bersama lima lembaga ini menjadi langkah sinergis yang akan mendukung keberadaan Surat Edaran Lurah Cipinang Besar Utara No. 586/SE/2018 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak di wilayah CBU.
Diharapkan program, anggaran dan kebijakan dari kelima lembaga ini berangkat dari kepentingan bersama untuk mencegah perkawinan anak.
Adanya peningkatan layanan kesehatan dan sosial di masyarakat akar rumput serta kebijakan terkait, maka jaminan kesejahteraan anak sebagai generasi bangsa yang sehat dan berkualitas di wilayah CBU menjadi suatu kepastian. Meskipun, semua ini masih perlu diuji dan dipantau pelaksanaannya. Niat baik dengan dukungan dan kerja bersama dari semua pihak akan menghasilkan capaian seperti yang diharapkan.
Kali ini, negara harus benar-benar serius dan memprioritaskan segala upaya penghapusan perkawinan anak. Agar Indonesia memiliki generasi yang berkontribusi dalam pembangunan bangsa dimasa depan.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)