*Ajeng Pangesti- www. Konde.co
Bagaimana rasanya ketika kamu dipaksa menjadi orang lain? Contohnya, dipaksa berpenampilan yang tidak kamu inginkan.
Itu pernah terjadi padaku sampai akhirnya aku mengatakan, cukup sudah!
Tulisan ini adalah tentang kisahku, ketika aku “dipaksa” untuk memotong rambut hingga pendek. Padahal, aku seorang perempuan yang tidak pernah punya rambut pendek sejak SMP. Rasanya tidak nyaman bagiku berambut pendek.
Cerita tentang rambutku yang terpaksa kupotong pendek ini hanya merupakan satu dari cerita pemaksaan lainnya.
Tiga tahun lalu, laki-laki yang nyaris secara resmi menjadi mantan suamiku (bentar lagi bro sabar), meminta aku memotong rambut. Ketika itu, rambutku sebahu dan aku merasa tampak cantik dengan rambut sepanjang itu. Tapi, suamiku terus merengek dan mendesak.
“Mengikuti perintah suami itu ibadah loh mah,” ujarnya ketika itu. Hal yang sama juga sering didengungkan keluarga, patuhilah suamimu, itu ibadah.
Akhirnya, dengan berat hati aku mematuhi suamiku. Sampai ketika tiba di salon, jantungku bedetak kencang. Aku mulai ragu, sangat ragu. Tapi aku duduk juga pada akhirnya. Ketika rambut mulai dipotong, mataku berkaca-kaca dan tak sadar air mata mulai menetes. Deras, seperti habis diputus pacar, atau ditolak cinta.
“Mba kenapa nangis?” si mba capster bertanya heran. Mungkin baru kali itu ada pelanggannya menangis ketika dipotong rambut.
“Ga apa-apa mba,” jawabku menutupi kegalauan hati.
“Beneran mau di potong rambutnya mba?” tanyanya, setengah tidak yakin akan memotong rambutku.
Mendengar pertanyaan itu air mataku semakin tidak karuan keluarnya . Sembari menahan sesenggukan, aku mengatakan pada mba-nya “iya mba.”
Padahal saat itu yang aku pikirkan hanya si suami. Ia pasti senang kalau lihat rambutku pendek seperti yang ia mau. Iapun tidak akan mempedulikan betapa aku sangat tersiksa.
Selesai dipotong, aku melihat hasil akhir model rambut yang pendek ini di depan cermin dengan masih diiringi air mata. Setelah itu, aku ke kasir membayar biaya potong rambut yang sangat tidak aku inginkan ini. Bayangkan, aku menggunakan uang hasil kerjaku sendiri untuk memenuhi keinginan suami. Ia tidak memberi sepeserpun untuk biaya potong rambut. Dan yang lebih aku tidak suka melakukannya adalah ketika aku harus melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan.
Dengan gontai aku berjalan menuju rumah. Di rumah, aku memuaskan diri dengan menangis. Setelah air mataku kering, aku mencoba menenangkan diri. Aku berbicara pada diri sendiri,
“Yang penting si suami seneng.”
Aku lalu mengambil handphone, kamera depannya waktu itu baru 1,3 mega pixel, sepersepuluh dari kamera-kamera depan sekarang yang kebanyakan sudah 13 mega pixel. Cekrak! cekrek! Aku mencoba tersenyum imut. Aku upload ke IG agar si suami lihat. Tidak lupa foto itu aku beri efek supaya mataku tidak terlihat sembab. Aku ingin menyampaikan, aku adalah istri yang penurut.
Sekali lagi, cerita tentang pemaksaan potong rambut ini hanyalah 1 diantara cerita lainnya yang biasanya aku pendam sendiri. Cerita yang aku alami inilah yang membuatku kemudian banyak berpikir tentang hubungan kami selanjutnya.
Dua tahun Lalu
Dua tahun lalu, hubungan kami yang retak akhirnya pecah. Dia mulai menyalahkan aku ketika pabrik tempat aku kerja mulai goyang. Akhirnya, pabrik tutup secara sepihak. Di tengah perjuangan bersama serikat pekerjaku, Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Umum Indonesia mengutusku memenuhi undangan Sekolah Buruh Perempuan dari Federasi Buruh Lintas Pabrik. Dari situ aku mulai berkenalan dengan gagasan-gagasan tentang kesetaraan gender.
Dari berbagai pendidikan, aku sadar bahwa tubuhku adalah milikku, otoritasku. Kini setelah aku pikirkan lagi kenapa aku memotong rambutku? Kenapa aku harus menyiksa diriku untuk menyenangkan hati suami? Kenapa aku harus membuang begitu banyak air mata untuk kebahagiaan yang orang? Kenapa harus aku terus yang dikorbankan untuk suami? Kenapa keinginan suami menjadi ibadah? bukankah ibadah itu harusnya merupakan sesuatu yang menenangkan?
Sekarang, tidak ada lagi rambut pendek buatku! Tidak ada lagi acara membahagiakan orang dengan membuat diri tersiksa!
Buat aku, tubuh perempuan, sama seperti tubuh laki-laki, yang semuanya adalah miliknya pribadi.
Perkawinan kami akhirnya hanya berlangsung tiga tahun. Laki-laki yang memaksakan semua kehendaknya pada tubuhku itu akan segera menjadi mantan suamiku setelah persidangan cerai kami berakhir pada akhir November 2018 ini.
Setelah akta cerai terbit, aku ingin menjadikan hari itu sebagai hari dimana aku merayakan tubuhku. Hari ketika akhirnya tubuhku menjadi milikku
*Ajeng Pangesti, aktivis buruh di Jakarta Utara