Drupadi, Perempuan dan Keberaniannya Menggugat Dogma

*Fransisca Ria Susanti- www.Konde.co

Mengapa Drupadi? Karena bagi saya Drupadi adalah inspirasi. Bukan karena pesona keperempuannya, tapi pada keberaniannya menggugat dogma.

Di pendapa Istana Kuru, setelah Yudistira yang mewakili Pandawa kalah dalam permainan dadu melawan Sengkuni dan terpaksa menyerahkan istrinya sendiri untuk jadi babu Kurawa, Drupadi mempertanyakan moralitas para ksatria. Tubuhnya terkapar di tanah, matanya merah, bajunya nyaris koyak, rambutnya acak-acakan. Dursusana menyeretnya dari kaputren Amarta dan menghadapkannya pada tetua Kuru dan para Kurawa, juga di depan Pandawa yang kalah.

Drupadi telah “dimenangkan”, maka Duryudana dan para Kurawa berhak melakukan apa saja. Tapi siapa yang melempar dadu? Berhakkah seorang pelempar dadu mempertaruhkan apa yang bukan miliknya? Ia, seorang perempuan, puteri Kerajaan Pancala, menantu Istana Kuru, istri Pandawa, sepupu ipar Kurawa, “belahan jiwa” Krisna, dipertaruhkan tanpa sepengetahuannya, dan dilecehkan tanpa pembelaan sedikitpun dari kelima suaminya.

Di depan para tetua Kuru, di hadapan Bisma, Drestarata, Karna dan Widura; Drupadi menggugat, sendirian membela dirinya. Lima lelaki Pandawa, anak-anak Kunti yang ia nikahi, hanya bisa tertunduk, meski hati mereka tak bisa terima atas penghinaan tersebut.

Pun saat Duryudana, di hadapan tatapan para lelaki ksatria, berusaha menelanjangi Drupadi. Menarik kain satu lapis yang menutup tubuh perempuan tersebut. Tak ada yang membela. Meski darah Bima menggelegak, pandang Yudistira membuat Bima menahan diri. Mereka ksatria, atas nama etika, mereka harus menepati janji taruhan. Pun jika yang dipertaruhkan tak pernah mereka ajak bicara.

Satu-satunya yang “menyelamatkan” Drupadi hanya Krisna. Sakha-nya, sahabat sejatinya. Seseorang yang menjadi jangkaran jiwanya dan tak pernah meninggalkannya sendirian. Krisna lah yang membuat Duryudana gagal membuka kain yang menutup tubuh Drupadi. Semakin bernafsu ia menarik kain tersebut, semakin panjang lapisan kain yang menutup.

Seorang lagi yang akhirnya meneriakkan “pembelaan” di puncak penghinaan itu adalah Wikarna, saudara Duryudana. Setidaknya ia mencoba bersikap adil dengan memberi jawab atas gugatan Drupadi mengenai moral para ksatria.

Di luar itu, Drupadi benar-benar sendirian. Bahkan yang paling ironis, setelah dipertaruhkan, dia lah yang justru menyelamatkan dan menjadi pembela suami-suaminya, para lelaki bermental lembek yang bersembunyi di balik argumen norma ksatria.

Drupadi lah yang meminta agar Pandawa tetap dibolehkan membawa senjata saat harus menerima “hukuman” pembuangan ke hutan dan penyamaran selama 13 tahun, setelah Yudistira kembali kalah dalam permainan dadu melawan Sengkuni.

Drupadi lah yang mendampingi Pandawa melewati masa pembuangan itu, menemani mereka tanpa protes dengan kesabaran seperti yang dimiliki Kunti.

Namun Drupadi jua yang meniupkan “api” pada Yudistira dan memainkan bandul Bharatayudha. Pada Yudistira, Drupadi meminta, jika hukum pembuangan selesai dilakukan maka saatnya membalas penghinaan anak-anak Drestarata.

Ada saatnya memaafkan, tapi ada pula saatnya melawan. Berkutat pada salah satunya hanya akan membuat kita menjadi manusia yang kesasar, manusia yang kehilangan. Drupadi menginginkan pembalasan dendam. Bukan untuk memenuhi nafsu atau naluri “hewan pembunuh” yang ada dalam darahnya, tapi upaya menempatkan keadilan pada tempatnya.

Tak ada salah satu yang paling mulia di antara pengampunan dan kekuatan atau keberanian. Seseorang yang selalu memaafkan kesalahan akan banyak menderita karena tidak akan ada yang menghormatinya. Orang-orang amoral akan merampas seluruh miliknya.

Namun mereka yang tidak pernah memaafkan juga akan menderita. Mereka akan dikucilkan oleh kawan dan kerabat, dan orang asing pun enggan mendekat. Mereka juga akan kehilangan seluruh miliknya.

Seorang manusia yang mulia adalah ia yang tidak menunjukkan agresi maupun pengampunan berlebihan di setiap kesempatan. Ia harus menggunakan kebijaksanaan dalam bertindak. Seseorang yang telah berjasa harus dimaafkan, bahkan jika suatu kesempatan ia berbuat salah. Namun mereka yang berbuat salah karena sengaja harus dihukum, pun jika yang mereka lakukan adalah hal sepele.

Yudistira bergeming. Bersikukuh bahwa pengampunan yang berarti pengorbanan dan perdamaian adalah hal paling mulia yang bisa menyelamatkan dunia. Tapi bagi Drupadi, sikap keras kepala Yudistira hanya menunjukkan bahwa ia adalah “wayang” yang mempercayai kemutlakan takdir, manusia boneka yang seluruh gerak hidupnya ditentukan oleh seorang dalang, tak memiliki kesadaran dan kehendak sendiri.

Ateiskah Drupadi? Kavita A Sharma dalam bukunya “Perempuan-perempuan Mahabharata” menulis, tudingan ateis disampaikan Yudistira ke Drupadi atas kecamannya terhadap takdir. Namun Drupadi bergeming. Baginya, apa yang ia lakukan adalah upaya mendorong Yudistira bertindak dan berbuat sebagai mahluk yang berkesadaran. Mahluk yang diberi keistimewaan untuk membuat keputusan. Satu-satunya mahluk yang punya kemampuan untuk mempengaruhi masa depannya, meski ia tak bisa mengubah masa lalunya.

Bahwa warna masa depan itu putih, hitam atau abu-abu itu adalah soal lain. Tapi sebagai mahluk yang berkesadaran, manusia tak bisa bisa membiarkan kesadaran itu aus karena tak terpakai dan mengiba pada takdir untuk menciptakan hidupnya.

Bahwa konsekuensi dari sebuah tindakan atau perbuatan kerapkali tidak bisa diramalkan, itulah takdir. Konsekuensi hanya bisa diketahui setelah tindakan dilakukan. Tapi setidaknya ia –mahluk bernama manusia itu- telah menggunakan otoritasnya untuk mengambil keputusan atas hidupnya. Bukan sebagai wayang, tapi sebagai dalang. Sehingga ia tak punya alasan untuk mengutuki takdir dan menjadikan “Tuhan” sebagai kambing hitam.

Maka saat Bharatayudha meletus dan Drupadi kehilangan seluruh anaknya, ia tahu bahwa ini adalah konsekuensi dari sebuah tindakan. Ia lah yang paling terluka. Ia juga yang paling kehilangan. Tapi setidaknya, ia tidak menggugat Tuhannya. Ia hanya perlu memaafkan dirinya.

*Fransisca Ria Susanti, penulis. Tulisan ini pernah dimuat di Sinar Harapan, Jumat 28 Februari 2014

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!