*Aprelia Amanda- www.Konde.co
Depok, Konde.co- Perempuan seperti ditinggalkan di Kota Depok, dianggap penyakit dan penyebab persoalan. Meningkatnya fundamentalisme agama di Kota Depok seperti sekarang bisa kita lihat dari adanya usulan Peraturan Daerah (Perda) Perda Syariah atau Perda kota religius Depok. Perda ini katanya diambil idenya dari Perda yang diberlakukan di Tasikmalaya. Perda dibuat untuk tujuan agar warganya religius, menggunakan pakaian yang dianggap sopan. Perda ini salah satunya ingin mengatur tubuh seseorang.
Hal lain tentunya ketika ada pemisahan parkir antara perempuan dan laki-laki yang akan melakukan diskriminasi. Aktivis keberagaman Depok, Nur Hikmah mengatakan bahwa adanya rencana Perda ini sama saja sebagai upaya penyeragaman untuk mendistorsi sejarah pembentukan Depok.
Padahal Depok dulu dalam sejarahnya merupakan kota yang penuh keberagaman bukan untuk agama tertentu. Yang dibutuhkan bukan Perda syariah tapi peraturan yang melindungi kebebasan berkeragaman, seperti peraturan kebebasan beragama dan ketertiban umum untuk menghargai satu sama lain.
Depok seperti dikatakan sejarawan JJ Rizal memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan multikulturalisme. Menurut sejarawan JJ Rizal, Depok sepertinya tidak mau mempelajari masa lalu untuk membangun kotanya.
“Depok tidak pulang ke rumah sejarah untuk memahami kotanya akibatnya sesat di masa depan”.
Awal terbentuknya Depok, dibangun oleh Cornelis Chastelin dalam upaya membebaskan budak-budak yang dimilikinya. Cornelis Chastelin membawa budak-budaknya yang mayoritas berasal dari Sulawesi dan Bali ke tanah yang sangat luas yang dibelinya yaitu tanah Depok. Sebagai seorang intelektual, Chastelin mendidik budaknya agar memiliki pengetahuan dan pikiran yang terbuka. Chastelin dan Depok adalah salah satu sejarah perjuangan pembebasan perbudakan di Indonesia. Semua orang apapun latar belakangnya memiliki kebebasan yang sama sebagai manusia. Jadi Depok seharusnya dimaknai sebagai kota kebebasan dari perbudakan, dari diskriminasi dan kekerasan.
Sebagai sejarawan JJ Rizal menyayangkan Pemerintah Kota Depok yang mengabaikan situs-situs sejarah yang didalamnya terkandung nilai-nilai keragaman masayarakat Depok. Padahal arti kata Depok itu sendiri adalah padepokan, tempat untuk merenung dan berpikir. Depok seolah menghianati identitasnya sebagai tempat orang-orang yang berpikir yang artinya terbuka dengan segala macam perbedaan.
Untuk menghidupkan nilai-nilai keragaman di Kota Depok, beragam kelompok masyarakat kemudian bersama-sama membuat acara #DepokBeragam pada Sabtu, 24 Agustus 2019. Acara ini dibuka dengan tarian Cokekan dan Maumere yang ditampilkan oleh Komunitas Indonesia.ID dan Warna Indonesia dilanjutkan dengan jalan-jalan menelusuri situs sejarah yang diberi judul Keberagaman Depok Tempo Doeloe.
Acara Keberagaman Depok Tempo Doeloe dipandu oleh JJ Rizal. Peserta yang hadir diajak berkeliling situs-situs sejarah kota Depok dari Masjid UI, Rumah Pondok Cina, Gedung Gemeente Bastuur (Kotapraja) Depok, Paal Gedachtenis aan Chastelein (Tugus Chastelin), Rumah Presiden Depok, Depoksch Europesche School, Depoksch Lerk, sampai Stichting Cornelis Chastelein, dan diakhiri dengan diskusi.
Nur Hikmah selaku koordinator acara #DepokBeragam menjelaskan acara ini berujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman anak-anak di Depok tentang situs-situs sejarah keberagaman di Depok.
“Kita ingin memperlihatkan Depok merupakan kota yang multikultural dimana semua etnis, suku, dan bangsa ada di Depok dan itulah yang menjadi spirit mendirikan Kota Depok”.
#DepokBeragam adalah upaya untuk membangun harmoni dalam kebinekaan. Nur Hikmah berharap agar anak-anak Depok bisa lebih menghargai perbedaan dan bersikap toleransi. Berdasarkan beberapa survei tingkat intoleransi di kalangan anak muda semakin meningkat, hal ini tidak diharapkan terjadi di Depok.
“Kita ingin Depok menjadi Kota yang sangat plural dan toleran, dan itu harus dijaga oleh anak-anak muda sekarang”, ungkapnya.
Para peserta yang yang ikut menelusuri situs-situs sejarah di Kota Depok berasal dari berbagai usia. Semuanya terlihat sangat antusias dengan pengetahuan-pengetahuan baru.
“Acara Depok Tempo Doele sangat bagus karena kita jadi tahu tentang sejarah Rumah Pondok Cina, Stasiun Depok Lama dan lainnya. Jadi kita generasi selanjutnya dapat memberikan informasi ke teman-teman bagiamana sejarah Kota Depok,” ungkap Nana, peserta Depok Tempo Doeloe.
Melalui acara ini banyak yang akhirnya mengetahui bahwa Depok sangat kaya akan keberagaman. Mengetahui keberagaman yang ada di Depok, Maria sebagai salah satu peserta menanggapi tentang intoleransi yang terjadi di Depok
“Tindakan intoleransi sangat bertentangan dengan sejarah Depok ya. Depok itu identik dengan keberagaman, tindakan intoleransi mematikan keberagaman itu. Harapannya agar tradisi keberagaman dapat diterapkan oleh pemerintah Kota Depok”.
Ini adalah kali kedua acara #DepokBeragam, acara ini akan dilakukan kembali sesuai kebutuhan untuk memberikan edukasi ke masyarakat Depok tentang keberagaman. Untuk meningkatkan toleransi di kota Depok, direncanakan akan ada Festival Keberagaman dan pertemuan berbagai elemen masyarkat untuk mendiskusikan format kebijakan apa yang cocok sebagai payung hukum untuk melindungi kebebasan beragama dan kepercayaan di Kota Depok.
*Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co