“Tolong, ini perempuan. Dahulukan perempuan. Kasih jalan untuk perempuan.”
Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Teriakan itu saya dengar ketika banyak perempuan mahasiswa berjatuhan, pingsan, dengan nafas yang tersengal.
Para mahasiswa laki-laki kemudian membopong beramai-ramai, memberikan jalan, membawa mahasiswi menepi dan memberikan minum, merawat sementara mahasiswi yang berjatuhan.
24 September 2019 kemarin memang mencatatkan sejarah bahwa gedung DPR RI seperti lautan manusia. Juga catatan tentang apa yang dilakukan polisi, membabi buta menembaki mahasiswa dengan gas air mata. Beberapa mahasiswi dan mahasiswa yang pingsan digendong, berlalu lalang, menyeruak di tengah-tengah aksi.
Para mahasiswi memberikan jalan kepada perempuan yang lebih tua untuk diberikan tempat terlebih dahulu.
Sejumlah mahasiswi yang saya temui mengatakan bahwa ini merupakan aksi mereka yang pertama. Mereka melakukannya karena aksi ini adalah aksi bersama untuk memprotes DPR yang tidak berpihak pada rakyat.
Beberapa nampak bergandengan tangan menggandeng mahasiswi lain, beberapa masuk ke gedung-gedung kantor untuk membantu mahasiswi lainnya, menenangkan yang lain. Ini merupakan pengalaman berharga setelah reformasi 1998 lalu. Mereka menggunakan topi, memasang kamera, sambil mengambil foto dan video di beberapa orasi. Beberapa duduk di pinggir jalan sambil melihat jalannya aksi.
“Aksi sambil ambil foto begini, sayangnya belum bisa diupload karena sinyalnya buruk,” ujar seorang mahasiswi berjaket almameter kuning.
“Iya kita kesini untuk demo bareng-bareng yang lain,” ujar mahasiswi lain yang sedang mengambil video ketika polisi sudah mulai menyemprotkan air dari water canon.
Para mahasiswa ini juga membawa poster yang tak kalah satirnya. Lucu dan menyindir. Poster seperti “Tolak revisi KUHP. Tolak revisi skripsi”, “Selangkanku bukan urusanmu.” Atau poster lain “kosongkan warung kopi, penuhi DPR,” memenuhi jalannya aksi.
Aksi di Gedung DPR RI pada Selasa, 24 September 2019 benar-benar membawa luka yang mendalam. Mahasiswa yang sudah datang ke DPR RI, sulit sekali untuk mendapatkan tempat untuk berbicara, harus melakukan aksi besar untuk bertemu anggota DPR. Inilah fakta pertama yang saya temui.
Saya melihat ini semua di tengah teriakan tuntutan mahasiswi dan mahasiswa, juga aliansi masyarakat sipil agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membatalkan UU Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak mengesyahkan RUU Kitab Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), RUU Pertanahan dan undang-undang yang menjerat rakyat di mobil-mobil komando.
Berada diantara barisan buruh KASBI bersama sejumlah aktivis buruh Serikat pekerja media dan industri Kreatif untuk Demokrasi (Serikat SINDIKASI, Trade Union Right Center dan aktivis Lakpesdam NU). Awalnya mau menjangkau mobil komando mahasiswa dan mobil komando aliansi masyarakat sipil untuk keadilan dan demokrasi yang berada di depan, namun banyaknya peserta aksi membuat mobil komando ini sulit dijangkau. Gedung DPR RI sudah dipenuhi ribuan mahasiswa dari pagi.
Sebelumnya para buruh telah melakukan aksi hari tani yang jatuh pada 24 September 2019 di istana sejak pagi hingga siang, mereka memprotes tanah dan kesejahteraan yang tak bisa dinikmati para petani, memprotes undang-undang sumber daya alam yang buta gender dan mengabaikan fakta bahwa kesulitan mengakses air merupakan meningkatkan beban berlapis bagi perempuan. Para petani hanya menjadi buruh tani.
Kasbi masuk ke wilayah sekitar depan DPR setelah dari dalam Gedung DPR RI disemprotkan air dari water canon kepada para mahasiswa yang mundur. Awalnya semua masih cukup tenang. Namun ketika polisi sudah mulai menembakkan gas air mata dan bertubi-tubi, kondisi menjadi rawan. Mobil komando Kasbi yang bergerak maju ketika mahasiswa dipukul mundur, akhirnya mundur secara perlahan.
Diantara para mahasiswa yang mundur terdengar suara tembakan gas air mata yang bertubi-tubi di DPR, masih banyak solidaritas yang terulur. Para mahasiswa membukakan jalan agar lebih lapang bagi para perempuan dan meminta mereka beristirahat dulu. Ada yang membawa motor dan menawari mahasiswi dan perempuan untuk menaikinya.
“Yang perempuan dulu ya, ini chaos banget.”
Mereka juga membantu mahasiswi yang naik turun pagar yang berlari untuk menghindari tembakan gas air mata dari polisi. Ada yang lari ke Gelora Bung Karno (GBK), ada yang lari ke Hotel Mulia Senayan, ada juga yang lari masuk ke Gedung TVRI, masuk di masjid untuk mencari tempat yang aman.
Saya berada diantara mereka yang berteriak, “Awas ada gas airmata, polisi datang. Awas..”
Gas air mata ada dimana-mana, menyembur begitu saja. Sampai kami berlari ke dekat hotel Muliapun, gas air mata ini bisa tercium. Asapnya membumbung tinggi. Banyak yang duduk, lemas, digotong karena pingsan.
Saya hanya sempat mengatakan.
“Jangan lari, mundur pelan-pelan, tapi jangan lari. Kalau lari, semua yang tidak kuat akan jatuh.”
Saya berteriak setelah saya jatuh untuk ketigakalinya diantara para mahasiswa yang badannya sangat besar. Namun mereka juga yang menolong, memberikan jalan agar saya bisa berjalan lagi. Ini membuat saya senang, trenyuh melihat para mahasiswa yang mempunyai kepedulian buat orang lain. Turun ke jalan, memapah yang sakit dan bergandeng tangan ketika ada yang terluka. Para mahasiswa- mahasiswi datang sejak pagi, ada yang menjelang siang. Ada yang naik bis, banyak juga yang menaiki motor.
“Kami dahulukan ibu dan perempuan,” kata sejumlah mahasiswa.
Beberapa mencatat aksi kemarin merupakan aksi besar pertama yang dimotori oleh mahasiswa dan mahasiswi setelah reformasi 1998 lalu. Di tengah isu yang beredar bahwa para mahasiswa dan mahasiswi serta masyarakat sipil dibayar untuk menggulingkan Presiden Jokowi, saya justru tidak mendengar ada teriakan dari para mahasiswa dan mahasiswi untuk menggulingkan Presiden Jokowi. Mereka justru mengatakan bahwa:
“DPR bodoh, DPR bodoh.”
Aliansi masyarakat sipil untuk keadilan dan demokrasi yang terdiri banyak lembaga masyarakat sipil dan didukung oleh gerakan sosial, gerakan buruh lain misalnya, sudah melakukan rapat-rapat panjang sebelum melakukan aksi bersama pada 24 September 2019 kemarin. Poster-poster ajakan untuk melakukan aksi sudah diedarkan sebagai kampanye untuk menolak RUU KUHP, UU KPK. Mereka adalah para aktivis pro-demokrasi yang banyak mengawal persoalan hak asasi manusia selama ini.Isi revisi RKUHP ini memang menimbulkan masalah panjang, misalnya terungkap beberapa pasal di dalam RKUHP yang akan mengkriminalisasi perempuan.
Pada Pasal 417 misalnya menyebutkan semua bentuk persetubuhan di luar perkawinan dapat dijerat sebagai tindak pidana. Pasal ini berpotensi membuka peluang untuk mengkriminalisasi korban pemerkosaan dan dapat melanggengkan perkawinan korban yang tidak ia inginkan. Secara substansi dalam pasal ini negara dianggap terlalu jauh memasuki kehidupan privat warga negaranya. Korban perkosaan selama ini sudah menjadi korban dan kemudian harus dikriminalkan. Ini merupakan kemunduran yang jauh dari semangat perlindungan terhadap perempuan. Wacana ini juga merupakan wacana yang hanya terjadi pada masa kolonial yang menjadikan tubuh perempuan sebagai korban.
Sedangkan dalam Pasal 414 berisi tentang ancaman pidana bagi yang mempromosikan alat kontrasepsi kepada anak dianggap akan bertentangan dengan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Pasal ini akan mempersempit cakupan pendidikan seksual kepada anak-anak dan remaja. Orang-orang yang memperkenalkan alat kontrasepsi sebagai bentuk edukasi seksual juga dapat dijerat karena dianggap turut mempromosikan alat kontrasepsi. Padahal pendidikan kesehatan reproduksi merupakan pendidikan yang wajib diajarkan guru dan orangtua sejak anak-anak di sekolah.
Seorang mahasiswi berjaket almamater biru menawari saya minum dan menawari saya bantuan jika saya membutuhkan. Saya juga melihat fakta lain, perempuan-perempuan muda yang mau berjuang, bersolidaritas bagi yang lain. Mereka mengikuti aksi sambil berfoto, mengambil video, bersolidaritas dengan yang lain dengan cara-cara baru.
Seorang kawan berbisik dengan bangga, para mahasiswa ini memang generasi yang adaptif pada perubahan, dan juga perjuangan. Buktinya, saat ini mereka melakukannya.
(Foto: Alfan Noviar)