Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Undang-Undang Transaksi Elektronik atau UU ITE 11/2008 kembali mengorbankan seseorang yang berani mengemukakan pendapatnya.
Setelah melakukan penangkapan dan memperkarakan Baiq Nuril, seorang guru yang berani menyatakan bahwa kepala sekolahnya telah melakukan pelecehan seksual, Kamis 26 September 2019 sekitar Pukul 23.00 WIB, Dandhy Dwi Laksono, Jurnalis, pendiri Watchdoc dan juga sutradara film Sexy Killers ditangkap Polisi dan dibawa ke Polda Metro Jaya.
Walaupun dilepaskan pada 27 September 2019 pagi ini, Dandhy Laksono tetap dijadikan tersangka dengan tuduhan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45 A ayat (2) UU ITE dan/Atau Pasal 14 dan Pasal 15 KUH Pidana karena alasan status/posting di media twitter mengenai Papua.
Selama ini Dandhy kerap membela dan menyuarakan berita-berita tentang Papua. Yang dilakukan Dandhy adalah bentuk upaya memperbaiki kondisi Hak Asasi Manusia (HAM), dan demokrasi, serta merupakan bagian dari upaya memastikan bahwa masyarakat dan publik luas dapat informasi yang berimbang
Dalam keterangan persnya, LBH Jakarta mengatakan bahwa penangkapan ini menunjukkan perilaku reaktif Kepolisian Republik Indonesia untuk Isu Papua dan sangat berbahaya bagi Perlindungan dan Kebebasan Informasi yang dijamin penuh oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya.
“Penangkapan ini merupakan bentuk pembungkaman bagi pegiat informasi, dan teror bagi pembela hak asasi manusia,” ujar kuasa hukum Dandhy Laksono, Alghiffari Aqsa.
Seperti diketahui pelanggaran HAM di Papua terus terjadi tanpa ada sanksi bagi aparat, dan media/jurnalis pun dihalang-halangi dan tak bebas menjalankan tugas jurnalis di Papua. Orang-orang yang menyuarakan informasi dari Papua seperti Dandhy justru ditangkap dan dipidanakan. Dandhy diperiksa dan didampingi oleh Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, KontraS, Imparsial, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Partai Hijau Indonesia, Amnesty Internasional Indonesia, AMAR Lawfirm.
Aliansi Jurnalis Independen melihat bahwa penangkapan Dhandy ini bertentangan dengan kebebasan bereskpresi dan berpendapat di Indonesia yang dijamin konstitusi di Indonesia. Sedangkan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) yang terdiri sejumlah organisasi buruh melihat ini sebagai preseden buruk dalam demokrasi. Penangkapan ini sebagai upaya pembungkaman kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Dalam pernyataan persnya, Gebrak mendata bahwa Dhandy selama ini melakukan kritik terbuka atas isu Papua di sosial media, twitter termasuk melakukan debat terbuka dengan politikus Partai Demokrasi Perjuangan, PDIP Budiman Sudjatmiko dengan pengikut 71 ribu platform di twitter untuk mengemukakan gagasannya.
“Kami berharap hukum memiliki kedaulatan dan tidak tajam pada kelompok pengkritik pemerintah tapi tumpul terhadap pembela pemerintah,” ujar Damar Panca, juru bicara Gebrak.
Dalam catatan SAFEnet sejak 2008 sampai Mei 2017 tercatat paling tidak ada 37 pengaduan (19,37% dari total 191 pengaduan) yang menyeret perempuan ke ranah hukum dengan pasal-pasal represif di dalam UU ITE. Damar Juniarto, Regional Coordinator SAFEnet menyatakan bahwa kasus-kasus yang menerpa perempuan ini kebanyakan melukai asas keadilan. Kasus ini sebelumnya menimpa banyak perempuan seperti Baiq Nuril, Yusniar, Prita Mulyasari, Ira Simatupang, Ervani Emy Handayani, ibu Wisni Yetti dan banyak perempuan lainnya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 7 Agustus 2019 memberikan Tasrif Award kepada Baiq Nuril, guru honorer di Nusa Tenggara Barat yang dikriminalisasi dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Penghargaan ini diberikan sebagai upaya mendorong kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan nilai-nilai keadilan serta demokrasi di Indonesia. Baiq Nuril yang merupakan korban dinilai berani, teruji komitmen dan integritasnya dalam melawan ketidakadilan dan menegakkan demokrasi. Kasus ini juga memiliki dampak sosial, politik dan hukum yang cukup luas mulai dari pengadilan, hingga DPR dan Presiden.
Kasus Baiq Nuril bermula pada 2013, saat ia merekam kepala sekolah tempat dia bekerja berinisial M, yang menceritakan hubungan seksualnya dengan perempuan lain bukan istrinya. Baiq kemudian menuturkan soal rekaman tersebut ke rekannya. Rekaman tersebut kemudian disebarkan rekannya ke Dinas Pemuda dan Olahraga Mataram dan ke tangan-tangan lain. Tidak terima, M kemudian melaporkan Baiq ke polisi dan kasusnya berlanjut ke persidangan.
Pengadilan Mataram memutus Baiq tidak bersalah, namun di tingkat MA Baiq diputus bersalah dengan menjatuhkan vonis 6 bulan penjara dan denda Rp.500 juta rupiah. Baiq tidak menyerah dengan mengajukan Peninjauan Kembali meski tidak membuahkan hasil.
Hingga pada akhirnya, Presiden Jokowi dengan persetujuan DPR menyetujui memberikan amnesti kepada Baiq Nuril. Pemberian amnesti ini sekaligus diharapkan dapat menjadi pendorong bagi pemerintah dan DPR untuk merevisi pasal-pasal UU ITE yang multitafsir dan overkriminalisasi. Semisal pasal 27 ayat (1) yang memuat unsur kesusilaan dan pasal 28 ayat (2) tentang penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian SARA.
Penghargaan seperti ini penting sebagai upaya mendukung advokasi korban kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia dan dukungan bagi korban untuk berani menyuarakan pendapatnya.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)