Film “Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini” atau NKCTHI adalah film yang bercerita tentang keluarga yang punya tipikal normatif patriarki. Laki-laki atau ayah yang berkuasa, ibu yang sabar dan mengalah, serta anak-anak yang harus menuruti kemauan ayah. Potret ini seperti melengkapi problem khas keluarga tradisional Indonesia yang banyak dialami dari dulu hingga kini.
Luviana- www.Konde.co
Konde.co- Film “Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini” atau NKCTHI adalah buah pemikiran penulis, Marchella FP yang tergelitik bertanya pada anak-anak muda tentang problem yang mereka alami sebagai anak dalam keluarga.
Ayah yang berkuasa dan selalu merasa yang paling bertanggungjawab dalam keluarga, ibu yang harus menurut apa kata ayah, anak sulung yang harus bertanggungjawab pada adik-adiknya. Juga cerita tentang anak bungsu yang harus dijaga ketat. Lalu anak tengah yang akhirnya menjauh dari keluarga.
Dari cerita inilah, ia kemudian membuat sebuah buku dengan judul yang sama, yang berisi kutipan di sosial media tentang pendapat anak-anak muda tentang keluarga.
Jahitan cerita inilah yang membuat sutradara, Angga Dwimas Sasongko tertarik dan kemudian membuat film tentang problem keluarga ini.
Film ini bercerita tentang laki-laki yang berkuasa dalam keluarga, dan perempuan yang harus ‘dilindungi’, hingga tak boleh punya keputusan, seperti khas cerita tentang keluarga tradisional Indonesia.
Mengapa keluarga tradisional bisa terbentuk seperti itu? Barangkali ini karena ayah yang selalu menuntut begitu. Maka anak laki-laki kemudian diubah agar menjadi sosok yang sama seperti ayahnya, dan perempuan dituntut harus sama seperti ibunya.
Ayah yang merasa paling bertanggungjawab, memutuskan setiap keputusan keluarga, walau ini artinya ia berkuasa, tak boleh dibantah apa yang dimau.
Si sulung laki-laki selalu diberikan kata-kata seperti ini dari sang ayah:
“Nanti kalau kamu dewasa, kamu yang mengambil kepemimpinan keluarga.”
“Kamu harus belajar untuk menjaga adik-adikmu sejak kecil karena ini tanggungjawabmu nanti.”
Atau anak bungsu yang selalu harus ‘diikuti’ kemanapun mereka pergi. Harus diperintah, namun dijaga seperti gelas, agar jangan sampai pecah.
Lalu ada anak tengah yang tak banyak mendapat perhatian, dianggap sebagai figur yang tak nampak dalam keluarga.
Kondisi ini banyak terjadi dalam keluarga tradisional di Indonesia. Mungkin inilah penyebabnya: laki-laki yang harus dituntut bertanggungjawab pada keluarga sejak kecil sehingga membuat ia selalu dalam kondisi tertekan, merasa berkuasa ketika dewasa dan mempunyai konstruksi yang sama dalam memimpin seperti ayahnya dulu. Padahal inilah ciri patriarki. Memerintah, berkuasa, tak mau dikasih masukan.
Sedangkan gambaran ibu dalam film ini adalah sebagai ibu yang pasrah, ibu yang banyak diam, selalu menangis. Ia mengalah pada keputusan-keputusan yang diambil alih oleh ayah atau suaminya.
Bahkan di awal hingga tengah film, ibu tak bisa membela anak-anaknya yang mendapatkan tekanan yang terus menerus dari ayah anak-anaknya atau suaminya.
NKCTHI bercerita tentang Ajeng sebagai ibu (Niken Anjani, lalu Susan Bachtiar) yang harus kehilangan 1 anak kembarnya, meninggal. Dan harus dirahasiakan karena tak diperbolehkan menceritakan pada siapapun oleh ayah atau suaminya, Narendra (Oka Antara, lalu Donny Damara). Cerita ini ia simpan terus hingga semua menjadi dewasa, padahal ia menyimpan banyak sekali kepedihan dari cerita ini.
Ayah kemudian membentuk keluarga ini sedemikian: ibu harus menurut keputusan ayah, anak sulung Angkasa (Rio Dewanto) yang harus bertanggungjawab dan menjaga adik bungsunya. Anak tengah, Aurora (Sheila Dara Aisha) yang tak mendapatkan perhatian dari keluarga, dan si bungsu, Awan (Rachel Amanda) yang terus-menerus harus dijaga setelah kematian saudara kembarnya ketika bayi.
Perlakuan ini dilakukan sejak anak-anak masih kecil. Di waktu dewasa, Angkasa tumbuh menjadi laki-laki yang tak boleh jauh dari keluarga, setiap hari ia harus mengantar jemput adik bungsunya dan memastikan adiknya baik-baik saja. Ia juga mengesampingkan hubungannya dengan pacarnya karena urusan keluarga yang super rumit ini.
Sedangkan Aurora menjelma menjadi anak tengah yang mandiri, berprestasi dan jauh dari keluarga. Ini karena ia nyaris tak dilibatkan dalam keputusan-keputusan keluarga, tak mendapat perhatian dan akhirnya mengambil keputusan sendiri sejak ia kecil hingga dewasa.
Bahkan sebagai seniman, ketika ia punya kesempatan berpameran tunggal, cita-cita yang bisa dipenuhinya yang ingin ia tunjukkan pada ayahnya, berakhir berantakan karena ayah yang terlalu sibuk memikirkan egonya.
Awan si bungsu, sebenarnya punya sifat pantang menyerah, ingin banyak belajar. Ini bisa dilihat ketika ia di PHK karena dianggap berselisih paham dengan bossnya di kantor. Namun dalam keluarga, ia nyaris menjadi sosok perempuan yang tak boleh punya keputusan sendiri dalam hidupnya, karena semua keputusan dipilihkan oleh ayah.
Ia kemudian mengenal Kale, cowok yang menjadi temannya belajar tentang sakit, pantang menyerah dan menemukan diri sendiri.
Ibu adalah sosok yang selalu mengalah. Diam-diam selalu menangis hanya karena ingin menjaga agar keluarganya harmonis dan tanpa pertengkaran. Ia memilih untuk dekat dengan anak-anaknya secara pribadi, meminta anak-anaknya mengalah untuk putusan suaminya yang sebetulnya tak disukai dalam keluarga.
Sosok ibu semakin menguatkan ciri-ciri keluarga normatif patriarki, sabar dan selalu mengalah demi keutuhan keluarga.
Potret inilah yang tampak dalam NKCTHI yang diproduseri Anggia Kharisma, diproduksi Visinema Pictures dan IDN Times.
Bisa dibilang, ini adalah potret keluarga yang selalu diam ketika ada masalah, tak mau membicarakannya dan menyimpan rahasianya masing-masing agar selalu terlihat harmonis.
Dan ketika semua problem menumpuk, ini seperti menunggu sesuatu yang tak bisa terelakkan, seperti gelas yang pecah berantakan.
Angga Dwimas Sasongko yang ditemui Konde.co dalam pemutaran terbatas di Jogjakarta, 23 Desember 2019 mengatakan bahwa ia memang tertantang untuk menyutradari film ini karena ini merupakan film keluarga yang banyak terjadi di keluarga di Indonesia.
“Ini adalah problem-problem khas keluarga Indonesia. Pertamakali membaca buku Marchella ini saya langsung tertarik karena ini merupakan suara dari banyak orang yang bersuara tentang problem keluarga mereka.”
Setelah sukses memproduksi film “Keluarga Cemara” Angga tertarik menjadikan ini sebagai film kedua yang bertema keluarga.
“Visinema nantinya berencana mengeluarkan 1 film keluarga setiap tahunnya, karena tema keluarga menjadi tema penting, kita di rumah dengan keluarga, hidup setiap hari bersama keluarga. Tujuannya agar bisa menjadi cerita, sharing untuk keluarga,” kata Angga Dwimas.
Pada alur terakhir film, sebenarnya agak menggembirakan ketika Ajeng (ibu) menjadi sosok penyelamat keluarga ketika kondisinya pecah, pertikaian keluarga tak terbendung.
Namun alur ini justru mengecewakan, karena sosok ibu tak tampil kuat, ia kembali menyatukan keluarga, namun tetap mengakui suaminya sebagai sosok terbaik dalam keluarga. Tak mau membuka sifat berkuasa suami yang selama ini membuat keluarga tertekan dan berantakan.
Sebagai film yang menceritakan tentang problem khas keluarga tradisional normatif patriarki, film ini bisa menjadi film rujukan untuk diketahui dan ditonton.
Namun di tengah akting para pemain yang sangat memikat, konflik yang dialami Aurora yang sangat dalam dan menyentuh, sayangnya, film NKCTHI tak menyajikan narasi kritis soal patriarki, atau paling tidak mempertanyakan mengapa laki-laki selalu pengin menjadi sosok yang berkuasa dalam keluarga dan perempuan harus selalu mengalah?.
Hal-hal seperti ini tidak didiskusikan dan tak tergambar dalam film. Sayang memang, film yang sudah berhasil menyajikan potret keluarga khas tradisional di Indonesia, namun tak menampilkan sisi kritis yang bisa menjadi bahan diskusi keluarga Indonesia.
Padahal sisi inilah yang menarik untuk mengurai konstruksi peran yang selama ini dibangun banyak keluarga.